Video Palsu Jokowi dan Peran Artificial Intelligence

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Denny JA

Artificial intelligence (AI) segera mewarnai pemilu presiden Indonesia 2024. Sayangnya AI ini tidak hanya mewarnai sisi baik, tapi juga sisi buruk.

Publik semakin tak bisa membedakan mana video yang asli, mana video yang ternyata palsu, misalnya. AI mampu mengubah video yang membuat kita terkecoh.

Sang tokoh yang akan dimanipulasi dalam video, wajahnya sama, suaranya sama, gerak bibirnya sama persis dengan suara yang dikeluarkan.

Ternyata gerak bibir itu dimanipulasi sedemikian rupa. Sehingga geraknya menyampaikan pesan-pesan yang sudah dirancang. Seolah- olah itu memang dikatakan oleh tokoh dalam video itu.

Itulah respon cepat kita membaca berita. Kini beredar satu video Jokowi seolah-olah ia berpidato dengan Bahasa Mandarin.

Video ini beredar dan sempat mengelabui publik luas. Di video itu, memang terlihat wajah Jokowi. Memang itu mimik wajah Jokowi. Memang itu gerak bibir Jokowi. Suara Jokowi juga terdengar seolah asli.

Bahasa yang digunakan Jokowi saja yang berbeda: bahasa Mandarin. Begitu fasihnya Jokowi berbahasa mandarin. Eh… ternyata kemudian hari kita tahu itu video palsu. Hoax!

Bahasa Mandarin itu dirancang oleh artificial intelligence. Gerak bibir Jokowi juga dimanipulasi melalui AI. Ini deepfake video!

Menteri kominfo juga menyatakan. Hoax terkait Pemilu saat ini meningkat hampir 10 kali lipat banyaknya. Bagaimanakah cara untuk mengurangi beredarnya semakin banyak hoax di Pilpres 2024?

Kita mulai dulu dengan studi perbandingan. Ini data dari Reuters, di bulan Mei 2023. Bahwa di seluruh dunia sudah beredar 500.000 video palsu seperti Jokowi itu. Ini jumlah yang minta ampun banyaknya.

Video palsu ini lebih canggih lagi karena ia datang bersamaan dengan booming artificial intelligence. AI begitu hebatnya mampu mengelabui pandangan publik.

Bahkan kasus serupa juga terjadi di Amerika Serikat. Beredar video Hillary Clinton mendukung satu capres dari Partai Demokrat untuk pilpres 2024, yang bukan Joe Biden.

Awalnya pendukung Joe biden sempat tidak nyaman dengan video endorement Hillary. Bagaimana mungkin Hillary Clinton tidak mendukung Joe Biden?

Bukankah Joe biden itu kolega Hillary sejak lama? Mereka memiliki satu pandangan politik yang sama. Ternyata video Hillary itu video palsu. Itu hasil manipulasi deepfake Artificial Inteligence. Banyak lagi contoh lainnya.

Bagaimanakah cara menghadapi serbuan hoax dari artificial intelligence ini? Ada empat tips yang bisa kita kerjakan.

Pertama, selayaknya kita hanya mengedarkan dan menyebarkan berita dari sumber yang kredibel saja. Itu biasanya berita dari media besar, yang sudah memiliki filter yang lebih kuat.

Kedua, perlu diperbanyak dan semakin dipopulerkan rubrik CEK FAKTA. Ini rubrik yang memberikan informasi mana berita yang benar, mana berita yang salah, dari berbagai isu yang hot hari itu.

Memang sebaiknya, aneka media besar memiliki rubrik CEK FAKTA. Sedangkan cek fakta milik pemerintah harus lebih dipopulerkan lagi.

Ketiga: platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok dan Youtube, selayaknya menambah fasilitas. Di sana perlu ada perangkat untuk bisa mengecek cepat.

Sehingga aplikasi itu sudah menyeleksi dan membuang berita yang palsu. Publik akan sangat terbantu.

Keempat, yang lebih penting lagi, adanya edukasi jangka panjang. Ini agar publik semakin lama semakin memiliki pengetahuan critical thinking. Pengetahuan ini memudahkannya untuk membedakan. Yang manakah yang palsu, yang manakah yang benar.

Artificial intelligence memang sudah datang di pilpres Indonesia 2024. Seperti umumnya teknogi, AI datang dengan kemampuan, yang bisa juga digunakan siapapun untuk mengelabui publik.***

- Advertisement -

Berita Terkini