Caleg “Hetel”

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Dalam terjemahan bebas, kata “hetel” dalam bahasa Simalungun sejajar dengan kata “centil” atau “genit” dalam bahasa Indonesia. Kata hetel ini sejajar dengan kata cunihin (Sunda) atau mentel (Jawa dan Toba) biasanya dipahami dalam pengertian negatif. Ini berbeda dengan penggunaan kata genit atau centil yang digunakan oleh masyarakat perkotaan. Kata ini kerap diasosiasikan secara negatif, misalnya “Gila tuh cewek. Genit banget. Masa suami orang aja mau diembat?”

Sementara dalam bahasa Simalungun kata ini lebih renyah terdengar. Misalnya,”Hetel tumang dassa ham botou.” berarti kamu “Kamu kok centil banget sih”. Lantas siapa saja yang sering disebut hetel atau si hetel khususnya menjelang Pemilu 2024 mendatang? Artinya, masyarakat Batak umumnya, dan masyarakat Simalungun khususnya memahami kata hetel dalam pengertian positif. Tak heran ketika kata hetel atau mentel justru lebih berarti cerdas atau kreatif.
Beginilah si hetel menampilkan dirinya. Si hetel selalu berusaha tampil apik, cantik atau gagah dan elegan. Tak mudah bagi si hetel untuk menampakkan diri di depan khalayak bila ia tak berdandan menarik dan memesona. Begitulah gadis si hetel sangat mencintai cermin, persis seperti ia mencintai kecantikannya atau kegantengannya sendiri. Si hetel akan merasa dizolimi bila dituduh tak punya pasangan, pacar atau suami. Ia akan selalu merasa diri paling ‘laris’ dibanding gadis lain, terutama sebayanya. Hebatnya, ia memang punya modal untuk penampilan primanya itu.
Tak mudah bagi si hetel menerima kenyataan bahwa ia tak dicintai atau diperlakukan spesial oleh seseorang. Baginya, pria yang berhasil menaklukkan dirinya adalah pria terhebat, terganteng sedunia. Minimal itu versinya sendiri. Dengan ciri-ciri ini tak lantas berarti bahwa seorang si hetel berbahaya. Oh ya, jangan lupa, sifat hetel ini juga sering melekat erat dalam diri seorang pria yang tampil rada feminim.
Menjelang kontestasi Pemilu 2024, capres dan caleg banyak yang mendadak tampil hetel. Banyak dari para pengejar kekuasaan politik itu berubah total dari kebiasaan sehari-harinya: dari sosok yang tadinya pelit tiba-tiba menjadi murah hati, yang biasanya berkata kasar tiba-tiba menjadi kalem dan pendiam, dan seterunya.
Para pengejar kekuasaan tiba-tiba menjadi hetel, tapi dalam arti negatif. Politisi hetel ini menghadirkan diri dengan rasa percaya diri yang meyakinkan. Si capres atau caleg tiba-tiba tampil pede alias memiliki self-confidence yang tidak biasa. Seperti gadis hetel, para politisi itu tiba-tiba menjadi suka bergaul dan berteman dengan semua orang. Mereka secara ajaib menjadi gadis si hetel yang ingin disenangi dan digandrungi publik, terutama di daerah pemilihan (dapil)-nya. Justru Begitulah ia dengan cerdas memainkan karakter hetel-nya sebagai modal dalam mengambil hati calon pemilihnya.
Syangnya, karena pa-hetel-hu (kecentilan, terlalu genit dan cenderung nakal) maka para caleg hetel itu justru akan dijauhi masyarakat. Apalagi politisi hetel tadi sampai lupa diri hingga samasekali kehilangan karakter aslinya. Sebab politisi hetel itu selalu rawan menjadi orang yang over-confidence, yang dalam bahasa Toba disebut pallobian (berlebihan).
Demikian juga para capres, cakada, atau caleg yang tidak hati-hati akan rentan menjadi orang yang reteng dan remeng (cerewet) atau heppot (gegabah). Jadi untuk bagi para bakal calon pejabat publik, hetel boleh saja, tettapi jangan sampai pahetelhu (kegenitan). Mereka sah saja menjadi sosok yang hetel selama musim kampanye. Namun jangan sampai ia memadukan kehetelan-nya itu dengan keremengan. Bila itu yang dilakukan, maka mereka hanya akan mengenalmu sebagai politisi hetel na heppot jala na hetel atau politisi yang gegabah! Padahal pra orang tua kita selalu mengingatkan kita – meminjam bahasa Sunda, “Tong gagabah atuh !” atau Jangan gegabah gitu dong!
Kampanye mah kampanye aja. Maksimalkan kemampuan Anda, dan bukan pertama-tama menjelek-jelekkan konstestan lain. Kenalkan diri Anda secara kreatif dan unik, dan bukan malah berpura-pura menjadi orang lain. Berkampanyelah dengan tetap menjaga etika, bukan malah mengobral janji dan serta merta melupakannya. Anda membutuhkan suara pemilih, maka jauh sebelum pemilu sebaiknya anda sadar diri dan melihat kembali apa yang telah Anda lakukan kepada masyarakat selama ini.
Salah satu kejelekan gadis hetel adalah selalu mengutamakan penampilan (performance) demi menutupi karakter orisinalnya. Demikian juga politisi yang hanya bermodalkan uang melimpah. Mereka akan duduk santai setelah menyuruh timnya membagi-bagikan uang kepada para calon pemiihnya (money politic). Ini biasanya dilakukan sebelum fajar menyingsing di hari pencoblosan suara di TPS.
Padahal di masa perkenalan hingga masa kampanye, mulut Anda dengan hetel selalu mengulang kalimat ini, “Pinomat, au lang ra korupsi.”(paling tidak aku tidak mau korupsi). Anda tahu tapi mungkin tak menyadari bahwa mengajak orang untuk tidak korupsi haruslah dimulai dari diri sendiri. Rasanya sudah bosan menyaksikan langsung atau melalui media massa, betapa banyak pejabat yang korupsi. Kenyataannya, setelah terpilih dan menjadi penguasa politik mereka justru menjadi pelaku utama korupsi. Mereka bukannya tidak pernah mendengar nasihat, ajakan, juga berbagai program pencegahan korupsi dari KPK, bahkan berbagai penangkapan para koruptor yang semarak di media massa. Namun kedua usaha ini seakan sia-sia belaka.
Perputaran roda kekuasaan atau pergantian dari pemimpin lama ke pemimpin baru tak banyak membantu menghilangkan praktik korupsi. Tak hanya di Indonesia. Di seluruh negara di dunia ini pun perilaku korupsi tetap ada. Hanya saja kadar dan caranya saja yang berbeda. Kalua di negara-negara maju, para penguasa tak menghisap darah sekejam penguasa di Indonesia. Pertanyaannya, masih perlukah isu korupsi menjadi materi kampanye? Faktanya, perbaikan sistem, tatanan, undang-undang, hingga berbagai peraturan anti-korupsi lainnya tak pernah berhasil mengurangi jumlah koruptor? Demikian juga hukuman penjara untuk para koruptor tak sertamerta menghapus praktik korupsi di negeri ini. Sebaliknya, para pelaku korupsi justru semakin bertambah jumlahnya dan dengan gagah berani mempertontonkan keangkuhan mereka di tengah rakyat yang telah membayar gajinya.
Lihatlah, betapa para koruptor yang sedang ditahan atau dipenjarakan hampir selalu mendapat remisi karena uang hasil korupsinya dipake untuk membangun tempat ibadah di penjara. Bahkan ketika si koruptor yang sedang dipenjara menciptakan lapangan kerja “pengrajin batu akik” di sana maka pembebasan akan segera menghampirinya. Kok bisa ya? Pasti karena sistem hukum yang membiarkan tiap putusan pengadilan hanya berdasarkan harga perkara. Tapi bukan hanya itu intinya. Kenyataannya, semua tindakan korupsi terjadi hanya karena manusia tak mampu menguasai hasratnya. Selama hal itu tak dilakukan maka korupsi dan praktik suap tak mungkin bisa berkurang apalagi sirna dari bumi Indonesia.
Pada kenyataannya kekuasaan dan korupsi adalah ‘dua sahabat intim’. Keduanya saling melengkapi dan saling mencintai. Korupsi itu berjalan di atas dua cinta yang saling memberi. Korupsi itu bahkan ibarat pengesahan cinta dua orang atau dua pihak, yakni pihak yang disuap dan pihak yang menyuap. Tragisnya, korupsi pun tak pernah bisa tuntas oleh keberasaan agama. Sebab korupsi malah lebih subur di negara-negara yang bernafaskan keagamaan atau di negara yang “mengimani” Tuhan. Hal ini terjadi justru karena bagi orang beragama, anugerah Tuhan selalu dipahami dalam konteks anugerah dari manusia lain. Demikian juga ucapan syukur kepada Tuhan tak jarang dipahami dan diimani sebagai ucapan terimakasih kepada orang-orang yang memberinya ‘lebih’. Hanya saja si koruptor tak mau ambil pusing mencaritahu darimana sumber pemberian tersebut.
Tampaknya pola beriman seperti inilah yang menyebabkan mengapa justru kementerian agama yang paling rawan korupsi. Sebab, para pemuka agama sudah terbiasa mengkorupsi uang Tuhan untuk keperluan pekerjaan dan hidup mereka. Maka, selagi ada agama maka praktik korupsi pasti tetap subur. Sebab, kolekte, perpuluhan atau infaq tak pernah diberikan kepada pemuka agama dengan bukti transaksi. Demikian juga penggunaan ‘uang rohani’ hasil kolekte atau infaq itu selalu dijalankan oleh pemuka agama sesuai dengan keterbatasan pemahamannya tentang siapa saja orang miskin atau siapa saja orang yang membutuhkan bantuan Tuhan.
Lantas siapa yang akan mengawasi para alim ulama dan pengelola lembaga agama tersebut? Tuhan kah? Tapi Tuhan versi siapa? Pastinya Tuhan versi mereka sendiri. Lagi, pertanyaannya adalah “Apakah korupsi bisa dihapuskan dari kehidupan manusia?” Tentu tidak! Korupsi hanya bisa diminimalisir lewat berbagai perbaikan sistem dan lewat tindakan penyadaran SDM bahwa korupsi itu sama dengan drakula, penghisap darah orang lain demi melanjutkan hidupnya. Akhirnya, demi tujuan meminimalisir korupsi tersebut, setiap orang harus membangun tekad dan niatnya sendiri untuk tidak korupsi dan mengatakan, “Pinomat, au lang ra korupsi” yang artinya paling tidak aku tidak mau korupsi, kawan!

Penulis : Lusius Sinurat

- Advertisement -

Berita Terkini