Orang Rempang: Pasukan Pertikaman Kesultanan Melayu

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Setelah era Kerajaan Bintan-Temasik (abad ke-12 sampai akhir abad ke-14), berdiri pula Kesultanan Melayu Melaka. Pada masa itulah putra-putra Kepulauan Riau yang mulanya berkhidmat di Kerajaan Bintan-Temasik kembali bersinar. Ketika Melaka diperintahi oleh Raja Abdullah atau Sultan Mansyur Syah (1458-1477) melejitlah nama-nama Laksemana Hang Tuah (putra Melayu yang berasal dari Sungai Duyung, Lingga, dan sahabat-sahabatnya asal Bintan, yakni Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi. Mereka adalah putra-putra terbaik Kerajaan Bintan (di Kepulauan Riau) kala itu.

Para prajurit yang sangat setia bersama mereka adalah orang-orang atau rakyat terlatih yang mendiami kawasan sepanjang Kepulauan Riau dan Selat Melaka. Mereka berasal dari Kepulauan Bintan, Bulang, Rempang, Galang, dan Kepulauan Batam lainnya, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, Pulau Tujuh, Riau Daratan, Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Singapura, dan Malaysia sekarang. Merekalah para prajurit yang sangat dibanggakan oleh para Sultan Melayu semenjak dahulu.

Masa Sultan Mansyur Syah itu penjagaan Bintan, seluruh Kepulauan Riau, dan Singapura diserahkan tanggung jawabnya kepada Laksemana Hang Tuah. Setelah beliau wafat, tugas itu diteruskan kepada menantunya dan putra Hang Jebat, yakni Hang Nadim, dan seterusnya kepada anak-cucu mereka. Generasi anak-cucu Hang Tuah dan Hang Jebat itu diberi gelar Datuk Kaya dan Datuk Petinggi. Pasukannya terdiri atas laskar gagah berani yang diperikan di atas.

Ketika Peringgi atau Portugis baru menjejakkan kakinya di Melaka pada 1509, mereka mendapati Kemaharajaan Melayu Melaka memang luar biasa perkembangannya. Negerinya ramai dan berlimpah kemakmuran. Bersamaan dengan itu raswah pun sangat semarak. Kesemuanya tertera dalam berita-berita Cina dan kronika Portugis. Dalam catatannya, Tome Pires menulis, “Siapa yang memiliki Melaka, dialah yang menentukan hidup-matinya Venesia.”

Tak diragukan lagi, itulah puncanya Melaka diserang Peringgi pada 25 Juli 1511. Pihak penceroboh itu mengerahkan kekuatan 1.600 serdadu dengan 15 kapal besar yang dipimpin oleh Admiral D’Alburqueque.

Namun, tak mudah untuk menaklukkan Melaka. Baru pada 15 Agustus tahun itu juga Melaka dapat dikuasai oleh musuh setelah mereka mendatangkan bantuan dari jajahan Portugis di Goa (India).
Roboh sudah Kota Melaka. Sultan Mahmud Syah I, Sultan terakhir Melaka, memindahkan pusat pemerintahan yang juga menjadi benteng pertahanan. Ke mana lagi kalau bukan ke Bintan, tempat asal Kerajaan Melayu dahulu, yaitu di Kopak yang diperkuat dengan benteng pelindung di Kota Kara. Dari situlah Laksemana Hang Nadim melancarkan serangan terhadap Portugis di Melaka sehingga Peringgi harus menderita kerugian besar.

Pada Oktober 1512 Kota Kara diserang Portugis di bawah pimpinan Jorge d’Alburqueque dan Jorge de Brito dengan kekuatan 600 serdadu. Tak puas dengan itu, penjajah itu datang lagi pada 1523 dan 1524.

Dalam suatu serangan penghabisan, Kota Kara dihancurkan dan Kopak dibumihanguskan. Kesemuanya itu dilakukan setelah lebih dulu Pedo Mascarenhas yang memimpin 1.000 serdadu menyerang Bengkalis, salah satu tempat pertahanan Sultan Mahmud Syah I, pada 23 Oktober 1526. Dari sana mereka terus ke Pulau Bulang, Rempang, Galang, dan akhirnya ke Bintan.

Sultan Mahmud Syah I beredar ke Pekan Tua, Pelalawan, Riau Daratan sekarang. Dan, pada 1528 Baginda mangkat di permastautinan terakhirnya itu, kembali ke rahmatullah.

***

Melaka jatuh, berdiri pula Kesultanan Johor-Riau pada 1528 untuk menggantikan Kesultanan Melaka. Setelah pusat pemerintahan Kesultanan Melayu itu dipindahkan ke Hulu Riau (Tanjungpinang) pada 1678, kerajaan itu dikenal pula dengan nama Kesultanan Riau-Johor atau lengkapnya Riau-Lingga-Johor-Pahang.

Setelah bangsa asing Barat datang ke wilayah Kesultanan Melayu, mulai dikenal istilah Bajak Laut. Istilah yang terkesan negatif itu dilekatkan kepada prajurit Melayu oleh kuasa asing (Portugis, Inggris, dan Belanda) tersebut. Mereka sesungguhnya adalah rakyat biasa yang terdiri atas Orang Melayu dan orang-orang yang biasa disebut Orang Laut, Orang Lanun, Suku Laut, Orang Selat, dan lain-lain yang menghuni seluruh wilayah Kepulauan Riau seperti Kepulauan Bintan, Bulang, Rempang, Galang, pulau-pulau di seluruh Batam, Kepulauan Karimun, Kepulauan Lingga, Pulau Tujuh, pesisir, selat-selat, dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur, dan Semenanjung Malaysia bagian selatan, termasuk Singapura.

Mereka telah dikenal luas sejak Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Melaka, sampailah ke masa Kesultanan Riau-Lingga. Orang Portugis menyebut mereka Celates dan orang Belanda menyebut mereka Slatter yang berarti ‘Orang Selat’. Mereka telah bermastautin di tempat-tempat itu sejak zaman Kerajaan Bintan-Temasik, yakni abad ke-12.

Mereka berperan penting dalam menjaga laut, mengusir dan mengacau musuh kerajaan (terutama Portugis, Belanda, dan Inggris serta sekutunya). Sebaliknya, mereka memandu dan mengawal kapal-kapal para pedagang yang berbisnis secara resmi ke pelabuhan-pelabuhan Kerajaan-Kerajaan Melayu. Wilayah operasional yang menjadi tanggung jawab mereka di sepanjang Selat Melaka sampai ke perbatasan Laut Jawa terus ke Laut Natuna Utara.

Dalam situasi normal, bukan masa perang, mereka bekerja sebagai layaknya rakyat biasa umumnya. Bidang pekerjaan yang mereka geluti adalah nelayan, pedagang antarpulau (pemasok barang keperluan sehari-hari penduduk), pemandu pelayaran, pembuat senjata, dan pembuat perahu atau kapal tradisional. Para prajurit pemberani itu berperan penting dalam dua bidang utama bagi Kesultanan Melayu, yakni bidang ekonomi-perdagangan dan pertahanan-keamanan. Oleh sebab itu, mereka menjadi kebanggaan para Sultan Melayu.

Di atas itu, mereka dikenal sebagai Pasukan Pertikaman atau Prajurit Terdepan Kesultanan Melayu yang gagah berani dan paling setia kepada Raja-Raja Melayu. Pemimpin mereka ada yang menduduki jabatan Panglima dan Panglima Besar. Mereka umumnya dipimpin oleh pembesar kerajaan yang berpangkat Laksemana, yakni pemimpin tertinggi Laskar Laut Diraja Melayu seperti yang pernah disandang oleh Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Nadim, Megat Seri Rama (Laksemana Bentan), dan lain-lain.
Dalam semua perlawanan terhadap bangsa asing yang hendak menjajah, pasukan Bajak Laut memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga Kesultanan Melayu. Mereka ada yang memang dibina oleh kesultanan setempat dan atau didatangkan dari daerah dan kawasan lain untuk membantu Kesultanan Melayu di Kepulauan Riau dan Semenanjung Melayu.

“Syahadan apabila mangkatlah Sultan Alauddin Riayat Syah itu, maka menggantikan kerajaannya puteranya yang bergelar Sultan Muzaffir Syah. Adalah umurnya waktu ia menjadi raja, iaitu sembilan belas tahun. Adalah baginda itu baik adabnya [huruf miring oleh pen.] dengan orang tua-tua, tiada ia membicarakan suatu pekerjaan melainkan muafakat dengan Datuk Bendahara dan Seri Nara Diraja serta Temenggung Sedewa Raja serta orang yang tua-tua sekalian. Dan masa kerajaannyalah tiada boleh Feringgi ke laut-laut lagi dengan sebuah dua, melainkan didapatlah oleh perompak Johor. Syahadan pada masa Sultan Muzaffir Syah inilah membuat kubu di Seluyut, lalu dibuat negeri sekali,” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 9-10).

Tokoh yang diperikan di atas adalah Sultan Muzaffir Syah (1564-1570), Sultan ke-2 Kesultanan Johor-Pahang-Riau-Lingga. Baginda dikenal sangat beradab, sangat dicintai oleh rakyatnya. Pada masa pemerintahannya, Portugis tak mampu menguasai Kesultanan Johor- Riau karena akan dihadang oleh barisan rakyat Melayu. Barisan rakyat mengubah wujud mereka menjadi bajak laut yang senantiasa bersedia dan sangat setia menghadang kekuatan Portugis di laut-laut wilayah takluk Kesultanan Johor-Riau.

Setelah kedatangan bangsa Belanda, permusuhan Kesultanan Riau-Lingga dengan bangsa asing itu dimulai sejak 1757di bawah pimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I (1722-1760). Situasi perang lalu berdamai dan berperang lagi terus terjadi sampailah pada kemuncak perangnya.

“… Maka kapal itupun keras juga hendak masuk. Maka lalulah berperang semula dengan kubu yang di Teluk Keriting itu. Maka azamatlah bunyinya meriam kapal itu. Maka seketika berperang itu maka kubu Teluk Keriting pun hendak tewas sebab ubat bedilnya habis. Maka menyuruhlah Yang Dipertuan Muda itu mengantarkan ubat (peluru, pen.) sebuah sampan. Adalah yang mengantarkan ubat bedil itu Syahbandar Bopeng, adalah budak yang mengayuhkannya, kepala satu budak anak baik-baik namanya Encik Kalak.

Maka sampan itupun dibedil oleh kapal dari laut dengan peluru penaburnya, maka sampan itupun tenggelam. Maka lepaslah satu tong ubat bedil itu dipikul oleh orang sampan itu naik ke darat kepada kubu Teluk Keriting itu. Maka dapatlah lima kali tembak, maka dengan takdir Allah taala kapal itupun terbakar, meletub berterbangan geladak kapal itu ke udara dan segala orang-orangnya pun habislah mati diterbangkan oleh ubat bedil yang meletub itu. Syahadan adalah pada suatu kaul, orangnya ada delapan ratus yang mati dan ada satu komesarisnya yang mati bersama-sama kapal itu….” (Ahmad & Haji dalam Matheson (Ed.) 1982, 204).

Nukilan di atas adalah suasana Perang Riau I yang berlangsung di perairan Tanjungpinang. Pasukan Kesultanan Riau-Lingga dipimpin oleh Yang Dipertuan Muda IV Raja Haji Fisabilillah (1777-1784). Dalam Perang Riau I itu, Raja Haji membentuk Koalisi Nusantara yang terdiri atas pasukan Baginda yang memang telah ada di Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang (lihat uraian di atas, kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur seperti Asahan, Batubara, Siak, Inderagiri, Jambi, Kalimantan, dan Sulawesi. Pasukan bantuan dari kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa tak dapat bersama karena tertahan di Batavia oleh penjagaan yang ketat oleh Belanda.

Selama Perang Riau I (1782-1784), pasukan Bajak Laut terus mengawal wilayah kekuasaan Kesultanan Riau-Lingga di bawah pimpinan Raja Haji. Mereka menjadi Pasukan Pertikaman Kesultanan Riau-Lingga. Perang yang dimenangi oleh pasukan Raja Haji pada 6 Januari 1784 itu tak serta-merta menghentikan pertempuran karena ada sisa pasukan Belanda dan pemimpinnya yang selamat berhasil melarikan diri ke Melaka.

Pasukan Kesultanan Riau-Lingga terus memburu atau meluru pasukan Belanda. Raja Haji bersama Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) dan pasukannya, termasuk para bajak laut yang gagah berani, mengejar armada Belanda ke Melaka (Netscher 1870, 187-189). Dalam perang yang berakhir di Teluk Ketapang, Melaka, itu Raja Haji gugur sebagai syuhada, 18 Juni 1784.

Setelah mengalahkan Raja Haji, mulai 22 Juni 1784 Belanda datang lagi ke Tanjungpinang. Sejak itu, terjadilah Perang Riau II, yang dipimpin langsung oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Perang Riau II mencapai puncaknya pada 10-13 Mei 1787.

Dalam perang ini, Sultan Mahmud, di samping menggunakan pasukan Baginda dalam Perang Riau I, yakni pasukan Riau-Lingga dan kerajaan-kerajaan sahabat, juga dibantu oleh pasukan dari Sulu (Filipina Selatan) dan Tempasuk (Kalimantan Utara) yang dipimpin oleh Raja Ismail. Bantuan dari luar itu berupa 90 kapal perang dan 7.000 tentara. Sebelum itu, Sultan Mahmud Riayat Syah memang telah berkirim surat kepada Raja Tempasuk.

Pasukan yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah dan Raja Ismail itu disebut Lanun atau Bajak Laut oleh Belanda. Perang itu telah menghancurkan garnizun Belanda di Tanjungpinang dan menewaskan tentara mereka. Lagi-lagi, pemimpin dan pasukan Belanda yang selamat melarikan diri ke markas mereka di Melaka. Perang Riau II dimenangi secara gemilang oleh pasukan Kesultanan Riau-Lingga di bawah pimpinan Sultan Mahmud Riayat Syah yang dibantu oleh sekutunya.
Setelah menang dalam Perang Riau II, Sultan Mahmud Riayat Syah mengubah strategi melawan Belanda. Baginda menggunakan strategi Perang Gerilya Laut.
Untuk menerapkan strategi baru itu, Sultan Mahmud Syah III memindahkan pusat pemerintahan ke Daik-Lingga pada 24 Juli 1787. Baginda menyebarkan pasukannya.

Dua ratus kapal bersama Baginda pindah ke Daik-Lingga dan 150 kapal yang terdiri atas rakyat terlatih dipindahkan ke Bulang, Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Karimun, Pulau Tujuh, Inderagiri, Jambi, Singapura, Johor, dan Pahang.

Bulang, Rempang, dan Galang dijadikan basis pertahanan terbesar Kesultanan Riau-Lingga sejak itu. Kekuatan tentaranya terdiri atas 8.000 tentara patroli laut, 20.000 pasukan darat, 42.000 pasukan siaga di seluruh kawasan kesultanan, dan 24.000 tentara yang khusus menjaga wilayah Lingga, tempat Sultan Mahmud Riayat Syah bertahta. Pemimpin para prajurit yang gagah perkasa itu yang ditunjuk oleh Sultan adalah Engku Muda Muhammad dan panglima perangnya adalah Panglima Raman. Dua pemimpin laskar laut Melayu itu sangat ditakuti oleh Belanda dan Inggris. Bersama Sultan Mahmud Riayat Syah, mereka disebut pemimpin bajak laut oleh Belanda.
Gubernur Belanda di Melaka mengakui, “Pasukan Belanda tak mampu mengalahkan pasukan Sultan Mahmud Riayat Syah di perairan Kepulauan Riau.” Oleh sebab itu, bangsa Eropa menyebutkan, “Sultan Mahmud Riayat Syah adalah pemimpin Melayu yang paling cerdas dan visioner.”

Fenomena bajak laut (perlanunan) di kawasan Selat Melaka dan Kepulauan Riau memang sangat menarik. Aktivitas bajak laut sudah ada sejak berabad-abad lampau sampai masa kejatuhan Melaka pada 1511. Akan tetapi, banyak laporan yang menyebutkan bahwa ramainya perompakan terhadap Belanda dan sekutunya, justeru, terjadi pada periode sepertiga akhir abad ke-18.

Ada beberapa alasan munculnya bajak laut di wilayah ini. Yang terutama adalah dampak penguasaan politik bangsa Eropa, terutama Belanda, di kawasan Kepulauan Riau dan pantai timur Sumatera. Keadaan itu kemudian disusul dengan monopoli perdagangan oleh bangsa Belanda.

Kerakusan VOC-Belanda menguasai perdagangan berakibat hilangnya tradisi perdagangan bebas dengan bangsa lain yang sebelumnya diterapkan oleh Kesultanan Melayu. Dalam perlawanan itulah, peran para bajak laut (istilah bangsa Eropa) atau prajurit terlatih Melayu sungguh mengagumkan. Di antara pemimpin mereka yang terkenal adalah Panglima Raman. Tokoh patriotik asal Rempang-Galang itu bukan tak mungkin suatu masa kelak akan tercatat sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Bersama saudara-saudaranya di sepanjang pesisir Kepulauan Riau dan Selat Melaka, orang Rempang dan Galang bukanlah orang sebarang orang.***

Tanjungpinang, Senin, 18 September 2023

Penulis : Abdul Malik (budayawan dan akademisi)

- Advertisement -

Berita Terkini