KH. Imaduddin Utsman Antara Kejujuran Ilmiah dan Tirani Sejarah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Saya ingin memulai tulisan ini dengan dua model penelitian yang diakui validitasnya secara umum.

Pertama, dunia penelitian ilmiah. Dalam dunia penelitian ilmiah saat ini, yang sangat prinsip adalah heuristik. Yaitu prosedur pengumpulan sumber penelitian. Dalam penelitian sejarah, seorang peneliti bisa mengkaji beberapa macam sumber yaitu; sumber tulisan lewat naskah-naskah terkait, sumber lisan yaitu kesaksian pelaku atau juga saksi dari sebuah peristiwa, sumber benda bisa dalam bentuk artefak dan fosil, sumber audio-visual misalnya berupa rekaman, gambar, atau barang-barang yang digunakan.

Kedua, model penelitian silsilah sanad. Sebuah riwayat akan valid dan bernilai shohih jika sanadnya muttashil, bersambung, serta memiliki kompetensi yang mumpuni atau dalam bahasa mustholah haditsnya adalah dhabith, hafidz, dan adil.
Mengenai hal ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Dalam tulisan ini akan diangkat beberapa saja yang terkait langsung dengan tema tulisan. Diantaranya adalah; seorang periwayat harus sezaman dengan gurunya (rujukannya/narasumbernya). Biasanya cara ini dilihat dari tahun wafatnya. Sang periwayat juga dapat dipastikan bertemu dengan narasumber yang dirujuk. Biasanya cara ini dilacak lewat makanur-rihlah atau tempat yang disinggahi. Mendengar langsung riwayatnya dari narasumber. Kalau tidak mendengar lansung biasanya dihukumi mursal (khafi). Juga dilihat dari sighat periwayatnya apakah “jazam” yaitu pasti, seperti penegasan; “saya mendengar, saya menyaksikan. Atau sighat tamridl misalnya; diceritakan kepada saya, telah sampai kepada saya dan lain-lain. Tentu kualitas jazm diatas tamridl.

Penelitian atau kajian nasab yang dilakukan Kyai Imaduddin Utsman Al-Bantani (Kyai Imad) menyimpulkan tidak terkonfirmasinya nama Ubaidillah (383 H) sebagai anak dari Ahmad bin Isa. Padahal para habaib yang ada di Indonesia mengklaim sebagai keturunan Alwi (400 H) bin Ubaidillah. Makanya mereka menisbatkan diri sebagai Ba-Alawi.

Tentu jika pisau analisanya adalah metode penelitian ilmiah (modern) klaim nasab habaib ini bermasalah. Tidak ada sumber otentik baik tulisan, artefak, lisan, benda, maupun peristiwa yang bisa mengkonfirmasi keberadaan Ubaidillah sebagai keturunan Ahmad bin Isa.
Diketahui nama Ubaidillah baru muncul dalam catatan nasab yang ditulis pada abad ke 10 dan sekitarnya. Artinya dari abad ke 5 sampai ke 9 nama Ubaidillah belum ada.

Kemudian, kalau pisau analisanya metode pelacakan sanad dalam ilmu mustholah, klaim nasab habaib juga tidak terkonfirmasi. Seperti yang saya sampaikan pada tulisan terdahulu bawa mata-rantai periwayatannya terputus atau mungqothi’. Tepatnya mu’dhal yaitu munqothi’ fi akhiris-sanad.
Padahal untuk sebuah keabsahan periwayatan, seorang periwayat harus sezaman dan mendengar langsung dari narasumbernya. Kalau tidak maka kualitas riwayatnya termasuk mursal.
Mengakui keberadaan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan referensi abad ke 9 atau 10 atau 11 masuk kategori dhoif. Apalagi referensi tersebut tidak bisa menghadirkan artefak, benda, audio abad ke 4 atau ke 5 untuk menguatkan kajiannya.

Penulis berbicara validitas metodologi sesuai standart penelitian ilmiah dan ilmu mustholah dengan tidak meragukan kredibilitas sosok Ibnu Hajar, As-Sakhowi dan lain-lain.

Jadi bukan untuk mendestorsi keberadaan habaib di Indonesia. Tidak juga untuk melahirkan syubhat terhadap tatanan sosial habaib. Tidak sama sekali. Penulis murni fokus metodologi.

Sampai disini kita harus fair bahwa secara ilmiah baik metodologi klasik maupun modern, penelitian Kyai Imad tidak terbantahkan.

Namun, seperti sudah diduga, serangan datang dari berbagai penjuru ke Kyai Imad. Mulai dari tuduhan pemecah belah umat, penebar kebencian, syi’ah, pansor, takut diskusi, setelah jadi NU dendam kepada habaib dan fpi, termasuk serangan terhadap portal web tempat Kyai menjawab beberapa pertanyaan. Benarkah semua itu?
Berikut gambaran singkat yang bisa penulis ketengahkan :

Apakah Kyai Imad tidak mau diskusi? Justru Kyai selalu terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kesempatan Kyai Imad menyisipkan waktu untuk mendiskusikan hasil penelitiannya walaupun ada beberapa yang dipending panitia.

Apakah Kyai Imad siap tabayun? Pasti untuk tabayun selalu siap dilakukan. Terbukti pengasuh pesantren sekabupaten Tangerang melakukan tabayun dan diskusi seputar penelitiannya pada bulan Romadlan 1444 H. Proses tabayun yang berlangsung alot dengan beragam pertanyaan berbasis kutub turors khas kyai dan pesantren. Setelah dihujani pertanyaan, justru berakhir manis dengan dukungan penuh seluruh pengasuh pesantren yang hadir.

Apakah Kyai Imad tidak siap direvisi? Beberapakali Kyai Imad sampaikan bahwa kritik, analisa, revisi selalu terbuka untuk penelitiannya. Bahkan Kyai Imad sendiri menyampaikan ; akan “taslim” jika memang ada temuan baru yang secara ilmiah bisa dipertanggung jawabkan.

Persoalannya, para penyanggah selama ini belum masuk kepada substansi masalah, yaitu tidak terkonfirmasinya (terputusnya) nasab Ubaidillah sebagai putra anak dari Ahmad bin Isa. Semua referenai yang diajukan penyanggah baru berdasar asumsi, analisa, pandangan para pentahqiq kitab-kitab nasab. Atau baru berupa klaim muallif kitab tertentu; bahwa memiliki guru yang tersambung dengan nama-nama dari klan ba-Alawi. Kadang juga para penyanggah bermodal pujian muallif kitab terhadap nasab klan ba Alawi. Dan seterusnya dan seterusnya.

Belum ada dari puluhan penyanggah yang bisa membuktikan baik tulisan, bukti fisik, artefak, syawahid, qorinah yang ada diabad-abad sekitar Ubaidillah hidup. Sehingga secara ilmiah tertolak sanggahannya.

Apakah penelitian Kyai Imad pemecah belah dan penebar kebencian? Penulis pikir tidak seperti itu. Kalau saja kita mau terbuka, memperluas wawasan dan cakrawala, maka kita akan paham bahwa penelitian Kyai Imad murni untuk kepentian ilmiah dan kejujuran pengetahuan. Justru kebencian muncul dari penyanggah yang berlebihan, terutama dari oknum habaib sendiri yang langsung melebelkan Kyai Imad munafik, syiah, pemecah belah umat dan lain-lain. Darisini sebenarnya kegaduhan itu mulai.

Keterbukaan Kyai Imad, bahkan, ditunjukkan dengan kesediaannya menerima penegasan baru bahwa;

Yang pertama mengangkat nama Ubaidillah bin Ahmad adalah Habib Ali bin Abu Bakar Sakran. Dan penegasan ini merupakan komplementer dari hasil penelitian sebelumnya. Artinya Kyai Imad tetap membuka revisi hasil penelitiannya, asalkan referensial dan bisa dipertanggung jawabkan.

Habib Ali al-Sakran menulis sebuah kitab yang diberi nama Al-Burqatul Mutsiqoh (selanjutnya disebut al-Burqah). Dalam kitab itulah untuk pertama kali nama Ubaidillah disebut sebagai Anak Ahmad bin Isa dengan argument bahwa Ubaidillah ini adalah nama lain Abdullah yang disebut oleh Al-Jundi (w. 730 H.).

Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari Habib Ali al-Sakran tersebut. Diantara kitab-kitab itu seperti: ،al-Dlau’ al-Lami’ karya al-Sakhowi (w. 902 H.), kitab Qiladat al-Dahr fi Wafayat A’yan al-Dahr karya Abu Muhammad al-Thayyib Ba Makhramah (w. 947 H.), kitab Tsabat Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.), kitab Tuhfat al-Tholib karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996 H), kitab al-Raudl Al-Jaliy karya Murtadlo al-Zabidi (w. 1205 H).

Wa ‘ala kulli hal, kelemahan tesa Habib Ali bin Abu Bakar Sakran ini berkesimpulan lewat asumsi. Atau dalam bahasa ushul fiqhnya masih menggunakan logika “Amrun I’tibariyun bi Dzihni”. Asumsi ini akan bisa dikategorikan ilmiah dan selaras dengan metodologi penelitian, baik modern maupun klasik jika disertai qorinah sebagai syawahidnya. Qorinahnya bisa berupa temuan artefak, fakta audio, kesaksian dan lain-lain.

Tidak ada satu peristiwapun yang tanpa hikmah. Allah hadirkan segala kejadian dengan berbagai ibroh. Hikmah dan ibroh dari diskursus ini, kita disadarkan bahwa Walisongo adalah dzurriyah Rosul. Poro kyai, ajengan, gus, lora raden, sultan, tubagus, puang dan lain-lain adalah mutiara yang selama ini terabaikan. Padahal dari mereka nusantara punya hutang budi. Dari mereka memancar ilmu dan kebajikan. Dari mereka mengalir darah walinsongo. Lahumul Fatihan.

Penulis : Khotimi Bahri (Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta Waktum Barisan Ksatria Nusantara)

- Advertisement -

Berita Terkini