Mencari Keadilan Ditengah Kemajemukan

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Indonesia sebagai negara yang besar, yang terbentang dari sabang sampai merauke hadir dengan keberagaman yang begitu kompleks. Keragaman Agama, suku, ras dan adat istiadat menjadikan indonesia sebagai negara yang kaya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, terdapat 1.340 suku bangsa yang tersebar di seluruh Indonesia. Semua suku bangsa itu hidup dengan tradisi, budaya, serta bahasa nya masing-masing. Hidup dalam kerukunan serta hidup dalam kebersamaan. Sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” walaupun berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Keberagaman yang ada merupakan anugerah yang luar biasa yang diberikan tuhan kepada bangsa ini. Keberagaman mengajarkan kepada manusia tentang bagaimana saling menghormati serta menghargai satu sama lain, sehingga kekuatan dan kedaulatan bangsa Indonesia tetap terjaga. Namun, ditengah kemajemukan yang ada terdapat beberapa permasalahan yang muncul, salah satunya adalah “Keadilan”.

Keadilan sendiri berasal dari kata adil. Seorang filsuf yaitu Aristoteles menjelaskan bahwa “Adil itu adalah memberikan sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan apa yang menjadi haknya, tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak”. Sementara W.J.S Poerwadarminto mengatakan bahwa “adil itu seimbang, tidak berat sebelah dan tidak sewenang-wenang”. Berdasarkan dari beberapa pandangan ahli tadi, bisa kita ambil kesimpulan bahwa, adil itu meletakkan sesuatu pada tempatnya, memberikan sesuatu kepada yang berhak menerimanya. Adil bukan semata-mata persamaan jumlah, tetapi menilik kepada porsi dan takarannya masing-masing. Misal, siswa Sekolah Dasar akan berbeda porsi biaya yang dikeluarkan orang tuanya dibandingkan siswa Sekolah Menengah Pertama. Ini bukan berarti tidak adil, tetapi yang dilihat disini adalah aspek kebutuhannya.

Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Indonesia memiliki dasar negara yang menjadi role model bagi pemerintah dan masyarakatnya untuk berbuat dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari yakni Pancasila. 5 sila yang disusun oleh Founding Father Indonesia (Soekarno, Soepomo,dan Mr. Mohammad Yamin) dalam sidang BPUPKI 29 Mei hingga 1 Juni tahun 1945, dan diresmikan pada 18 Agustus 1945. Dalam 5 sila tersebut, terdapat 2 sila yang membahas tentang keadilan. Yakni sila ke 2 “Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan sila ke 5 “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Fery Irawan Febriansyah (Dosen STAI Muhammadiyah Tulungagung) dalam jurnalnya “Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai Dasar Filosofis dan Ideologis Bangsa” mengatakan, sila ke 2 pancasila ini menjadi dasar dari perlindungan hak asasi yaitu memanusiakan manusia serta beradab tanpa mengurangi haknya sedikitpun. Ketika sila ke 2 ini dijalankan dan diterapkan sebagaimana mestinya, penindasan terhadap kaum mustad’ifin tidak akan pernah terjadi. Seorang individu akan menghormati individu lainnya sebagai seorang manusia.

Dalam sila ke 5 pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dimaknai dengan seluruh rakyat Indonesia baik di pedesaan maupun di perkotaan mempunyai hak untuk mendapatkan keadilan dalam berbagai aspek. Baik itu dalam aspek ekonomi, kesehatan, politik, hukum dan sebagainya. Tidak ada kesenjangan antara simiskin dan sikaya, orang-orang yang memiliki jabatan dengan yang tidak memiliki jabatan semuanya mendapat perlakuan yang sama.

Kedua sila dalam Pancasila tersebut setidaknya sudah memberikan jaminan keadilan kepada rakyatnya. Namun, keadilan yang hakiki itu belum pernah tercapai di negara yang majemuk ini. Kita sepakat bahwa, konsep keadilan itu berbeda-beda. Tapi, setidaknya kita berusaha untuk mewujudkan keadilan itu. Bagaimana caranya? Salah satunya adalah dengan membuat sebuah kebijakan atau produk hukum yang dalam pelaksanaannya mengarahkan pemerintah dan masyarakatnya kepada keadilan.

Hukum adalah alat untuk mencapai suatu keadilan. Maka pembenahan hukum secara tertulis (Undang-undang) baik dari tingkat teratas (Pusat / Negara) hingga tingkat terbawah (daerah) harus dilakukan. Produk hukum yang dibuat haruslah menjadi produk hukum yang membela rakyat bawah, dan dapat diterima oleh semua kalangan. Bukan produk hukum yang seolah-olah menjadi alat untuk menindas rakyat kecil. Seperti beberapa waktu yang lalu kita dihebohkan dengan Undang-Undang cipta Kerja (Omnibus Law) dan RKHUP yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang beberapa pasal didalamnya dianggap bermasalah dan tidak berpihak kepada rakyat.

Kemudian kita mendengar juga mengenai Undang-Undang No. 17 tahun 2022 Tentang Provinsi Sumatera Barat yang beberapa pasalnya menimbulkan kontroversi. Seperti Pasal 5 huruf c UU Sumbar berbunyi, “Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.” Pasal ini diduga tidak mengakomodir karakteristik adat istiadat dan budaya masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai yang juga bagian dari Sumatera Barat. Sehingga menimbulkan protes dari Mahasiswa yang berasal dari kepulauan Mentawai.

Pihak yang berwenang dalam penyusunan dan pengesahan Undang-Undang harus mengkaji seluruh aspek terkait dampak dari produk hukum yang disahkan. Para ahli dan masyarakat harus dilibatkan dalam perumusan dan perencanaan setiap kebijakan yang ada. Sehingga tidak terjadi gejolak dan ketimpangan setelah kebijakan itu disahkan.

Selain produk hukum yang harus dibenahi, penanaman nilai-nilai keadilan pada anak bangsa harus dimulai sejak dini. Baik dalam lingkungan keluarga sebagai lingkungan terkecil, lingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Jika nilai-nilai keadilan ditanamkan sejak dini, maka itu akan menjadi modal awal bagi mereka untuk menjadi seorang pemimpin dimasa depan. Kita tentu berharap, generasi selanjutnya akan menjadi generasi emas yang akan membawa bangsa yang besar ini menjadi bangsa yang menjunjung tinggi keadilan, bukan bangsa yang pilih kasih kepada rakyatnya.

Oleh : Zulfadli Akbar (Anggota Biasa HmI Cabang Padang)

- Advertisement -

Berita Terkini