Melindungi Demokrasi dari Demagog

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sebagaimana yang kita ketahui bahwa, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos yang berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti pemerintahan atau kekuasaan. Secara bahasa, demos-cratein atau demos-cratos berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat.

Konsep demokrasi lahir dari Yunani Kuno yang dipraktekkan dalam hidup bernegara antara abad ke-4 SM-abad ke-6 M. Aristoteles (384 SM – 322 SM) mengemukakan bahwa demokrasi adalah suatu kebebasan. Kebebasan ini menjadi sebuah prinsip demokrasi, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya.

Nurcholish Madjid (1939-2005) menegaskan, suatu masyarakat disebut demokratis jika di dalamnya terdapat proses yagn sejati kea rah demokratisasi, yaitu pemberian hak dan kebebasan yang semakin besar kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan atau kedaulatan yang sebenarnya.

Kondisi demokrasi yang sangat menyehatkan rakyat adalah kebebasan berpikir, berpendapat dan bertindak sehingga melahirkan inovasi dan pengembangan politik di masyarakat itu sendiri. Akan tetapi bukan memaknai kebebasan yang tidak terukur, bukan bebas sebebas-bebasnya. Tidak berlebihan jika kita katakana demokrasi memiliki batasan untuk menciptakan situasi yang harmonis, bukan yang anarkis. Sehingga kebebasan itu haru memiliki acuan atau pun ukuran.

Kebebasan yang tidak terukur sering dimanfaatkan para demagog politik. Lalu apa itu demagog? Menurut Buya Syafii Maarif, demagog adalah pemimpin atau penghasut politik yang pandai membakar naluri massa/gerombolan untuk meraih tujuan-tujuan tertentu.

Demagogi adalah perbuatan menghasut itu sendiri. Dalam suasana terhina, kalah, dan perasaan malu, seorang demagog akan sangat lihai dan piawai membakar dan menghasut massa untuk mengubah iklim politik yang tak menentu agar berpihak kepadanya.

Demagog Elit Politik

Sebagaimana yang dijelaskan oleh seorang analis politik Exposit Strategic Arif Susanto (Demokrasi tanpa Demagog, Media Indonesia, 15/03/2018), demagog adalah para politikus yang memanfaatkan prasangka, kebencian, pendakuan sepihak, argumen tak berdasar, maupun janji-janji muluk supaya dengan mudah memperoleh dukungan emosional massa. Pelanggaran etika komunikasi dipandang tidak serius oleh demagog, yang berorientasi lebih pada akumulasi kekuasaan. Ironisnya, demagog modern memanfaatkan prosedur elektoral dan kebebasan untuk mencangkokkan kepentingan kekuasaannya.

Demagogi sudah merasuki pikiran elit politik, kita diperlihatkan kekuasaan saat ini terlihat kaku dan terbawa perasaan, gegabah dan tidak pasti sehingga menimbulkan  spekulasi di masyarakat. Di media TV, media sosial dan lainnya cara demagog sangat merusak mental dan kepercayaan kita terhadap demokrasi. Mereka berlindung atas nama demokrasi tapi polarisasi kekuasaan oligarki terus menggempur.

Di tengah-tengah derasnya arus informasi dari berbagai media informasi teknologi, serta lemahnya literasi politik masyarakat, kekuasaan demagog mendapatkan legitimasi semu dari dukungan populer atas kampanye politiknya yang membakar. Pada saat bersamaan, lembaga-lembaga politik mengalami delegitimasi akibat ketidakmampuan mereka menyelesaikan problem sosial. Mereka (kaum demagog) menyebarkan segala macam bahan informasi yang dapat menghasut masyarakat sesuai dengan misi mereka. Mereka terkesan merawat, menjaga dan menghidupkan demokrasi, akan tetapi itu adalah sebuah upaya mengambil hati atau dukungan publik.

Untuk itu, menurut saya diperlukan filterisasi atas informasi yang berterbangan. Demokrasi akan rentan goyang apabila rakyatnya tidak memiliki nalar kritis setiap informasi yang didapatkan. Menurut Arif Susanto yang mengutip dari pendapat Sigmund Neumann (1904-1962), demagog tidak pernah menyukai kebebasan dan kritisisme. Dia hanya memanfaatkan kebebasan berikut tumpulnya penalaran untuk memperoleh dukungan; dan kala kekuasaan telah digenggamnya, dia tidak segan untuk memberangus kebebasan. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa kepentingan demagog itu berjarak jauh dari kepentingan massa, dan bahwa kehadiran demagog adalah suatu ancaman bagi tatanan demokrasi.

Haris Fadhillah, dalam artikelnya yang berjudul “Demokrasi dan Demagog” mengatakan bahwa, Seorang demagog hampir selalu meraih popularitas dengan jalan mengekploitasi prasangka dan ketidakpedulian di kalangan masyarakat awam. Demagog sangat pintar memanfaatkan kelemahan utama demokrasi: suara terbanyak. Karena itu, negara demokrasi di mana mayoritas warganya tidak terdidik, adalah ladang subur para demagog. Semakin gampang rakyatnya dibodohi, semakin mudah demagog menjadi pimpinan mereka.

Senjata andalan demagog paling utama adalah: Kambing Hitam. Menyalahkan kelompok lain sebagai penyebab masalah yang dialami adalah teknik mumpuni demagog. Biasanya yang disalahkan adalah etnis tertentu, pemeluk agama tertentu, kelas sosial negara tertentu, atau siapa saja yang paling bisa menyentuh emosi massa target suara. Sebagai contoh misalnya ketika Hitler menyalahkan Yahudi karena kekalahan Jerman di perang dunia I.

Penutup

Di akhir pembicaraan ini, perlu sedikit kita menjawab sebuah pertanyaan; bagaimana caranya kita mencegah demagog tersebut?
Fadhillah memberi sedikit jawaban dalam tulisannya; karena demagog memanfaatkan prasangka dan ketidakpedulian, maka cara paling utama mengatasinya adalah melalui pendidikan (penulis: perlu pendidikan demokrasi dan sosialisasi cerdas serta kritis bermedsos). Kita harus warga negara yang cerdas, tidak mudah untuk dipecah-belah.

Kemudian, seperti yang saya katakan sebelumnya, kita harus memiliki filterisasi terhadap informasi yang kita dengar, dan memiliki nalar kritis terhadap semua informasi yang ada. Mengutip pendapat dari Cak Nur (nama sapaan akrab Nurcholish Madjid), kita harus ada semangat berpikir. Dengan semangat berpikir inilah kita menilai kejadian-kejadian yang sekarang ini mendominasi suasana politik di negara kita. Gerakan-gerakan kaum demagog selalu perlu untuk kita lawan antisipasi demi terwujudnya demokrasi (penulis: Demokrasi Pancasila) yang sehat di tanah air kita.[]

Oleh: Abdul Rahman
Penulis adalah Ketua Umum HMI Badko Sumut Periode 2021-2023

- Advertisement -

Berita Terkini