Jangan Lelah Jangan Berhenti, Jalan Demokrasi Masih Panjang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Pejuang demokrasi itu bukan soal menang-kalah, melainkan pada proses asas demokrasi tersebut. Ini soal benar salahnya. Dalam pengambilan keputusan apapun yang menggunakan sistem demokrasi, suara terbanyak dinyatakan menang dan yang minoritas suaranya wajib mengikuti (berbesar hati menerima hasil). Begitupun yang dianggap suara mayoritas harus menghormati atau menghargai adanya perbedaan pendapat (pilihan).

Itu esensi demokrasi. Dalam proses hitung cepat (quick count) hasil pemungutan suara pemilu sementara, kubu 02 diketahui leading dari paslon lainnya, diucapkan selamat. Begitupun PDI Perjuangan untuk sementara unggul dari partai politik lainnya. Selamat pula buat PDI Perjuangan karena jika memang sesuai hingga nanti pengumuman real count, maka partai ini tercatat hatrik menguasai parlemen sejak reformasi.

Tidak ada rasa sakit hati ataupun marah jika memang hasilnya demikian. Meski secara bijak, bak pertandingan sepak bola, peluit akhir belum berbunyi. Jadi segala kemungkinan masih bisa terjadi (walau sulit). Seluruh pihak hendaknya bisa bersabar menunggu hasil pengumuman KPU. Sembari menunggu hasil tabulasi suara yang kemungkinan hingga tanggal 22 Maret.

Karena proses penghitungan rekapitulasi suara bersifat berjenjang, sepanjang itu pula sangat mungkin terjadi pelanggaran yang bisa dilaporkan. Pelanggaran dalam proses penghitungan suara tersebut yang pada pengalaman terdahulu kerap dijadikan sengketa pemilu di MK. Terlebih bila terindikasi pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Cara-cara yang tidak benar untuk memenangkan pemilu tentu tidak dibenarkan karena bertentangan dengan prinsip demokrasi itu sendiri. Pemilu 2024 di awalnya sudah mendapat banyak sorotan negatif baik oleh publik, maupun dunia internasional. Istilah ‘nepo baby’ menjadi viral dan sebenarnya hal itu sangat memalukan . Demokrasi Indonesia disamakan dengan Filipina yang juga terjadi jaringan ‘nepo baby’.

Ferdinand Marcos Jr atau yang kerap disapa ‘Bong-bong’ terpilih dalam pemilu beberapa waktu lalu. Ia didampingi Sara Duterte yang merupakan anak presiden petahana, Rodrigo Duterte. Kolaborasi rezim diktator Ferdinand Marcos dengan presiden petahana (melalui generasi berikutnya), sangat mirip yang terjadi di Indonesia. Atau politik dinasti Indonesia dicap meniru Filipina.

Kekuasaan yang dipaksa dengan melanggar hukum dan asas demokrasi (tidak adil tidak netral) merupakan kombinasi yang buruk bagi kehidupan bernegara ke depannya. Mengapa? Karena kolaborasi yang terjadi hanya diikat semata oleh kepentingan yang sama yakni kekuasaan. Ini yang terjadi kemudian di Filipina. Duterte mengancam akan menggulingkan Bong-bong.

Hal ini karena Bong-bong dinyatakan ingin mengubah konstitusi soal masa jabatan presiden. Seperti diketahui paska diktator Marcos lengser, masa jabatan presiden dibatasi hanya satu periode atau 6 tahun. Ada dugaan Bong-bong ingin melanggengkan kekuasaan dengan mengubah UU. Duterte anggap Bong-bong ingkar janji untuk bergantian berkuasa dengan anaknya, Sara.

Andai Prabowo-Gibran menang pemilu, akankah cerita sama di Filipina terjadi di Indonesia? Prabowo dianggap meneruskan generasi rezim Suharto (orba), meski hanya anak menantu yang kolab dengan Gibran yang anak Jokowi, presiden berkuasa. Mungkinkah ikatan mereka benar-benar demi rakyat atau demi kekuasaan? Ini yang dikhawatirkan banyak orang jika benar Prabowo yang berkuasa kelak.

Tidak mungkinkah terjadi perebutan kekuasaan di pertengahan jalan nanti? Atau sudah ada deal atau kesepakatan bersama adanya transisi di tengah jalan dengan damai? Jika benar begitu, tentu akan melukai hati dan perasaan rakyat yang telah memilih. Tanpa sepengetahuan rakyat, elite penguasa mengatur deal-deal politik, seolah bangsa ini milik segelintir elite saja, rakyat tidak perlu dilibatkan.

Sekali lagi, pejuang demokrasi itu menjaga cara dan arah dalam proses politik kebangsaan. Sebenarnya bukan soal sosok, siapa yang menjadi.leader, tapi bagaimana leader tersebut mencapai posisinya. Dua hal yang masih menjadi PR besar yakni soal legitimasi hasil pemilu (karena banyak cacat hukumnya), serta nasib bangsa ke depan jika hanya dikuasi elite dalam oligarki. Kondisi ini yang akan menjadi tantangan ke depan.

Perjuangan demokrasi itu sendiri masih panjang dan mungkin tak akan berakhir. Jangan pernah lelah jangan pernah menyerah. Meski kadang dinyatakan kalah namun track yang ditapaki sudah sesuai dengan bangun demokrasi yang seharusnya. Demokrasi bukan mencari kemenangan tapi meluruskan yang menyimpang. Untuk itu terus kepalkan tangan dan teriakkan ‘Patria o muerte’!

- Advertisement -

Berita Terkini