Perang Ekonomi Amerika versus Tiongkok

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Joe Biden hari ini dijadwalkan melakukan pembicaraan dengan Xi Jinping. Amerika berspekulasi bahwa mereka bisa mempengaruhi Xi Jinping untuk menekan Vladimir Putin agar segera menghentikan “operasi khusus”-nya di Ukrania. Sebuah kesimpulan yang tentu saja amat prematur dan mustahil untuk dilakukan oleh Xi Jinping.

Xi Jinping sendiri tentu sangat senang dengan keinginan Joe Biden untuk melakukan pembicaraan tersebut. Minimal Xi Jinping bisa memanfaatkan peluang tersebut untuk menekan Amerika agar tidak lagi memberikan bantuan militer kepada Taiwan. Minimal tidak lagi menjual senjata mereka kepada Taiwan.

Bagi Xi Jinping,itulah yang paling utama daripada membicarakan masalah operasi khusus Rusia ke Ukrania. Tiongkok sendiri menolak untuk turut serta memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia.

Mudah dipahami mengingat Tiongkok sangat bergantung kepada pasokan listrik dari Rusia, dan dalam banyak hal ekonomi China sangat dipengaruhi hubungan baik mereka dengan Rusia. Selain bermaksud menegoisasikan perihal Taiwan kepada Amerika, Xi Jinping juga diperkirakan akan membicarakan sejumlah berbagai kepentingan ekonominya dengan Amerika, seperti masalah sanksi ekonomi yang sedang diterapkan Amerika kepada sejumlah perusahaan Tiongkok yang memiliki afiliasi dengan Partai Komunis Tiongkok.

Sementara itu dipihak Amerika dan sekutunya NATO, sangat berkepentingan untuk memastikan bahwa Tiongkok tidak membantu Rusia, jika sekiranya NATO yang saat ini sedang menyiagakan pasukannya di perbatasan Ukrania tidak terhindarkan untuk menyerang Rusia untuk menangkap Vladimir Putin yang telah di capnya sebagai “penjahat perang”.

Dengan situasi itu, sejauh ini, dapat dikatakan bahwa pembicaraan Xi dan Biden itu tidak akan banyak membawa kesuksesan bagi kedua belah pihak. Amerika dipastikan (untuk sementara waktu) tidak mungkin menegosiasikan Taiwan agar dengan mudah diambil oleh Beijing seperti keinginan Xi Jinping. Dilain pihak, Xi Jinping tidak adakan mengambil langkah gagabah melawan Rusia dimana ekonomi China sangat ditentukan oleh berbagai sumber mineral dan energy dari Rusia.

Sebenarnya peran Tiongkok dalam memediasi Rusia dan Ukrani agar menemukan jalan damai, tidak diperlukan. Pembicaraan antara pemimpin Rusia dan Ukrani telah mengalami banyak kemajuan. Ukrania misalnya telah setuju untuk tidak bergabung dengan NATO, bahkan setuju untuk memposisikan negara mereka seperti Swedia yang “netral”.

Meskipun perihal Donbas nampaknya belum sepenuhnya dapat mereka sepakati, namun pembicaraan ke arah itu juga telah mengalami kemajuan. Sejauh ini, peran Erdogan jauh lebih mendalam daripada peran Xi Jinping dalam menjembatani pembicaraan damai antara Rusia dengan Ukrania. Meskipun Turki adalah salah satu anggota NATO, tapi sejauh ini di bawah kepemimpinan Erdogan, Turki mampu menjalin kemitraan strategis dengan berbagai negara tanpa peduli dengan sikap politik mainstream dari NATO.

Tiongkok memang nampak bersikap pragmatis di tengah konflik yang sedang terjadi antara Rusia dan Ukrania. Tiongkok sesungguhnya pula menunggu NATO dan Rusia agar terlibat dalam peperangan. Karena dengan demikian, tanpa harus kerja keras, Tiongkok dapat menuai manfaat besar bagi kemajuan ekonominya mengungguli bukan hanya Rusia tapi juga Amerika sekaligus.

Sikap politik negara-negara utama penghasil minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran terkait perang antara Ukrania dan Rusia juga dimanfaatkan dengan maksimal oleh Xi Jinping. Jika Tiongkok dan Arab Saudi dapat menyetujui kerjasama pembelian minyak secara bilateral, menggunakan mata uang lokal masing-masing, tanpa harus menggunakan dollar, tentu hal itu akan sangat membantu penguatan mata uang Yuan berhadapan dengan Dollar.

Kecenderungan menghindari penggunaan dollar dalam transaksi perdagangan memang sedang meningkat dalam satu dasawarsa terakhir. Iran dengan Rusia, Turki dengan Rusia, Tiongkok dengan Rusia misalnya tidak lagi menggunakan dollar dalam transaksi perdagangan mereka.

Bagaimana pun, pembicaraan antara Biden dan Xi tetap dinanti-nanti berbagai pihak, karena dalam politik selalu ada kemungkinan yang akan terjadi, di luar apa yang tertera di atas kertas. Kita tunggu saja, apa hasil pembicaraan antara Xi Jinping dengan Biden.

Apakah hasil pembicaraan tersebut meyakinkan bagi Amerika dan NATO untuk menyerang Rusia? Bagaimana dengan nasib Taiwan? Apakah Amerika akan turut pada kemauan Xi Jinping? Apakah Amerika mau melepas Taiwan, untuk memperoleh jaminan dari Tiongkok bahwa Xi Jinping akan berada di barisan Amerika dan sekutunya memberi sanksi dan atau minimal “diam” jika NATO menyerbu Rusia?

Kita tunggu saja. Bagaimana dengan Indonesia? Non-Blok! Titik!!

Oleh : Hasanuddin – Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini