Aparat Hukum Negara Jangan Diskriminasi Krisminilasi Advokat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Mengenai kedudukan dalam menjalankan profesi advokat sebenarnya dalam Pasal 16 UU 18/ 2003 jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013, MK telah memberi pemaknaan bahwa “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.

Penjelasan Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Negara Republik Indonesia sebagaimana ditegaskan oleh ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 adalah “negara hukum”. Para Penyusun UUD 1945 yang biasa disebut sebagai “the founding fathers” bangsa ini menjelaskan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan semata (Machtsstaat). Penyebutan kata “rechtsstaat” dan “machtsstaat” di sini menunjukkan bahwa para pendiri Negara RI mengacu kepada konsep negara hukum atau “rechtsstaat” di Jerman.

Julius Sthal menyebutkan bahwa ada tiga ciri rechtsstaat itu yakni: (a) perlindungan hak asasi manusia; (b) pembagian kekuasaan; dan (c) pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar. AV Dicey merumuskan negara hukum (rule of law) dengan tiga ciri yakni adanya (a) supermasi hukum; (b) persamaan di hadapan hukum; dan (c) proses hukum yang adil (due process of law). Dalam pemahaman tentang negara hukum kontemporer, maka variabel negara hukum yang dirumuskan oleh Stahl dan Dicey itu digabungkan dan pada umumnya diterima para akademisi hukum sebagai ciri dari negara hukum modern.

Penekanan terhadap due process of law sebagai salah satu ciri negara hukum membawa konsekuensi bahwa tindakan-tindakan aparatur penyelenggara Negara bukan saja harus didasarkan atas norma-norma hukum materil yang adil, tetapi juga harus didasarkan pada hukum formil yang mengatur prosedur untuk menegakkan ketentuan-ketentuan hukum materil yang memenuhi syarat-syarat keadilan.

Ketidakfairan, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum dapat menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang serius, karena seseorang dapat dipidana kehilangan kemerdekaan, penyitaan hak milik bahkan kehilangan nyawa akibat penerapan hukum yang secara prosudural tidak memenuhi standard due process of law, kepastian hukum dan keadilan.

Ketentuan-ketentuan tentang prosedur penangkapan, penahanan, penetapan tersangka serta penetapan sebagai terdakwa terhadap Advokat tidak boleh bersifat arbitrer menurut selera penyelenggara kekuasaan Negara. Lebih berbahaya lagi apabila hukum prosedural ini dilakukan secara arbitrer oleh aparatur penyelenggara Negara. Apalagi tindakan-tindakan Advokat dalam menjalankan profesinya telah secara nyata dilindungi oleh Pasal 16 UU 18/ 2003 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013.

Tindakan, langkah dan keputusan aparatur Negara yang bukan didasarkan pada kaidah hukum yang pasti dan adil, tetapi dilakukan berdasarkan selera aparatur Negara itu sendiri dapat berimplikasi pada tereduksinya hak-hak konstitusional seseorang yang dijamin oleh UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang lain. Sebagaimana Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Kemudian pertanyaan yang akan muncul adalah bagaimana seorang advokat yang nyata-nyata telah dilindungi oleh Pasal 16 UU 18/ 2003 dan Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 akan dapat terbebas dari rasa ketakutan untuk berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuat {vide. Pasal Pasal 28G ayat (1) UUD 1945} dalam menjalankan profesinya dengan tenang dan bebas dari “pengaruh” manapun???

Padahal di negara hukum, hukumlah yang menjadi panglima, bukan person-person. Inilah yang di Amerika Serikat disebut oleh Dicey dengan istilah “the rule of law not of man”. Kaidah-kaidah hukum yang tidak pasti pada satu pihak, atau bahkan mungkin ketiadaan kaidah hukum yang mengatur prosedur hukum, bukan saja dapat merusak citra Negara hukum sebagaimana ditegaskan oleh konstitusi, tetapi juga membuka peluang selebar-lebarnya bagi penggunaan kekuasaan (machtsstaat) dan pelanggaran hak asasi manusia.

Padahal, Pasal 28I ayat (5) UUD 1945 mengatur bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Prinsip-prinsip due process of law dengan sendirinya melekat pada setiap manusia, yang melindungi dia dari tindakan sewenang-wenang (arbitrary), menindas (oppresive) dan tindakan pemerintah yang tidak adil (unjust government actions) yang melakukan diskresi secara sepihak. Jika transduksi hukum dan diskresi secara arbitrer dilakukan oleh penyelenggara Negara akan berimplikasi pengingkaran terhadap prinsip fairness maka telah terjadi pelanggaran terhadap due process of law, yang dapat mengakibatkan terrampasnya hak-hak para Advokat.

Pasal 16 UU 18/ 2003 jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013, MK telah memberi pemaknaan bahwa “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan”.

Penjelasan Pasal 16
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.

Prinsip iktikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan yang lain tanpa tipu daya, dan tanpa tipu muslihat, tanpa menggangu pihak lain dan tidak melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lain. Dalam konteks ajaran iktikad baik, kepatutan harus dikaitkan dengan kepatutan yang hidup dalam masyarakat. Iktikad baik tidak hanya dinilai dari iktikad baik menurut anggapan para pihak saja, tetapi iktikad baik menurut anggapan umum yang hidup dalam masyarakat.

Dengan demikian, jika seseorang bertindak dengan iktikad baik, maka ia harus bertindak sesuai dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial yang ada. Iktikad baik merupakan suaru norma yang universal. {Vide. Eric. Holmes, “ Acontextual Study of Commercial Good Faith: Good Faith Disclousure in Contract Formation “, University of Pittsburgh Law Review, Vol. 39 No. 39 (1978), hlm. 420}

Indonesia sebagai Negara Hukum, maka konsekuensi dari hal tersebut adalah hukum yang memegang kekuasaan tertinggi. Dengan demikian bukan hanya rakyat yang harus mematuhi hukum, akan tetapi Negara beserta aparatur Negara juga harus tunduk pada hukum yang berlaku (rechtssouvereiniteit). Sebagai negara hukum, adalah suatu keharusan untuk menghormati dan menegakkan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM), yaitu hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau oleh hukum positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.

Terdapat beberapa prinsip HAM yang berlaku secara universal, seperti prinsip kesetaraan yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan, prinsip non-diskriminasi, yaitu berupa pelarangan adanya perbedaan perlakuan terhadap mereka yang seharusnya diperlakukan sama, dan prinsip kewajiban negara untuk melindungi HAM tersebut, yaitu bahwa suatu negara tidak boleh sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan, sebaliknya negara berkewajiban untuk aktif melindungi dan memastikan terpenuhinya HAM tersebut.

HAM tersebut tidaklah bersifat mutlak melainkan dapat dibatasi menurut ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis”.

Maka dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan termasuk pula dalam penegakan hukum oleh para penegak hukum tentu harus sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum yaitu salah satunya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif. Prinsip negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, UUD 1945 juga mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Prinsip negara hukum menuntut agar sebanyak mungkin orang mengetahui tentang apa yang diperintahkan kepada mereka berdasarkan undang-undang, hal-hal apa yang diberikan kepada mereka berdasarkan undang-undang, dan perilaku apa yang mereka harapkan dari pejabat penyelenggara Negara maupun aparatur Negara dan setiap subjek hukum.

Tuntutan-tuntutan masyarakat untuk pemerintahan demokratis yang berupaya mengadakan reformasi, untuk menggunakan hukum yang mengubah perilaku-perilaku bermasalah dan dalam pengambilan keputusan tidak secara sepihak, hal tersebut menuntut agar menggunakan hukum dalam mendorong perilaku-perilaku yang menjadi sasaran dari peraturan perundang-undangan baik warga masyarakat maupun para pejabat.

Dalam pembangunan tugas utama hukum yaitu mengatur perilaku-perilaku, baik perilaku peran utama maupun dari para pejabat dalam lembaga-lembaga pelaksanaan (penegak hukum). Prinsip negara hukum akan runtuh apabila setiap subjek hukum, para pejabat, pelaksana permerintahan dan para penegak hukum tidak mematuhi hukum. Tanpa itu demokrasi berada dalam posisi yang sangat lemah, karena sesuai dengan prinsip Negara Hukum (Rule of Law), yaitu pemerintahan harus berdasarkan hukum, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konsekuensi yang timbul dari penegasan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tersebut, antara lain:

Tegaknya “supremasi hukum”, hukum di atas segala-galanya (the law is supreme), oleh karena itu, segala tindakan dalam segala aspek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat tunduk dan harus berdasar hukum (rule of law). Dengan demikian berdasar ketentuan ini Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh “hukum”. Bukan oleh “manusia”. Ungkapan tersebut menjadi prinsip dasar yang dipopulerkan dalam kalimat: “a government of laws and not of men”. Peran Rule of law dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, merupakan “landasan” tata tertib kehidupan dari segala bentuk “pemaksaan” yang tidak sesuai dengan hukum.

Boleh dilakukan upaya atau tindakan paksa oleh kekuasaan Negara kepada seseorang baik yang menyangkut dengan masalah perdata maupun pidana. Akan tetapi tindakan upaya paksa dalam bentuk apapun yang dilakukan penguasa harus sesuai dengan proses yang ditentukan hukum (due process of law) berdasar prinsip: Perlakuan yang sama di depan hukum (equal treatment/equal dealing before the law); dan perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection of the law) dan sebagaimana yang ditentukan dalam konstitusi Pasal 28D ayat (1) serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G ayat (1) UUD 1945)

Bahwa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga negara, hak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya (Pasal 28A), hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum {Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 28D ayat (1)}, berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi {Pasal 28G ayat (1) UUD 1945}, hak untuk mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan {Pasal 28H ayat (2)}.

Bahwa tindakan dugaan kriminalisasi serta dugaan tidak mengindahkan ketentuan dalam Pasal 16 UU 18/2003 jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013 telah merampas hak konstitusional beberapa Advokat pada khususnya dan pada umumnya para Advokat.

Bahwa tentang perlindungan hukum bagi kepentingan para Advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 28I ayat (5) menyatakan bahwa “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”, jo.

Pasal 16 UU 18/ 2003 jo Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013 MK yaitu bahwa tindakan beberapa Penyelenggara Negara telah dengan sengaja atau secara tidak langsung dapat dikualifikasikan sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandig geiden), sehingga hal itu secara nyata dan jelas melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional para Advokat pada umumnya yang dilindungi oleh UU, dan dengan sengaja tidak menghormati prinsip-prinsip dasar negara hukum yang demokratis;

Bahwa apabila setiap Penyelenggara Negara maupun Aparatur Negara mengindahkan ideologi dan falsafah bangsa secara makro serta kaidah-kaidah dan asas-asas hukum secara mikro maka setiap Advokat pun memiliki hak imunitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 UU 18/ 2003 jo. Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013.

Kemudian pertanyaannya adalah, apakah Advokat dapat dikatakan beriktikad tidak baik apabila Advokat telah bekerja secara profesional dan tidak melanggar kode etik sebagaimana yang telah diputuskan oleh Dewan Kehormatan??? kemudian secara sepihak beberapa Aparat Penyelenggara Negara menyimpulkan bahwa beberapa Advokat merupakan orang yang tidak beriktikad baik. Bahwa quad non tindakan beberapa Aparat Penyelenggara Negara tidak mencerminkan asas keadilan dan keseimbangan yang berlaku universal, sehingga berdampak negatif terhadap beberapa Advokat pada khususnya dan para Advokat pada umumnya, hal tersebut tidak sesuai dengan penalaran hukum yang logic rational dan tidak ada relevansi ratio legis (spirit of law), tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum (nietrechtzekerheids) maupun proses hukum yang adil (due process of law). Padahal Advokat dalam menjalankan profesinya telah dijamin oleh Pasal 16 UU 18/2003 jo Putusan MK No. 26/PUU-XI/2013.

Kami berpendapat bahwa proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam persidangan yang tersangka dan atau terdakwanya adalah seorang Advokat haruslah dilakukan dengan mempertimbangkan Keputusan dan atau Putusan Etik Dewan Kehormatan Advokat, apakah Advokat tersebut telah melanggar Kode Etik atau tidak, sehingga pemeriksaan dapat dilakukan secara adil dan berimbang dengan menjunjung tinggi hak-hak konstitusional Advokat yang dijamin oleh UU.

Proses pemeriksaan terhadap Advokat akan berlangsung secara adil dan berimbang serta penghormatan atas asas keadilan, keseimbangan akan terwujud, jika setiap Penyelenggara negara menghormati dan menghargai proses dan pengambilan keputusan dalam persidangan etik Dewan Kehormatan. Prinsip keseimbangan itu dijamin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik PBB yang telah diratifikasi oleh Pemerintah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005, mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, keadaan ideal dari manusia yang bebas dari penikmatan kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan, hanya dapat dicapai apabila diciptakan kondisi di mana semua orang dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, juga hak-hak sipil dan politiknya. Bagaimana para Advokat akan akan bebas dari penikmatan kebebasan dari ketakutan jika beberapa aparat penegak hukum/ aparat penyelenggara negara tidak mengindahkan Keputusan Sidang Etik Dewan Kehormatan dan melakukan diskresi secara subjektif???

Bahwa hendaknya setiap penyelenggara negara, aparat hukum dan penyelenggara pemerintahan mengindahkan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga negara dan asas keadilan (gerechtigkeit) dan kepastian hukum (rechtssicherheit) serta kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keseimbangan (evenwicht). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila terjadi konflik antara keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit), dan keseimbangan (evenwicht) serta kemanfaatan (zweckmassigkeit), maka rasa keadilannyalah yang harus didahulukan;

Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999, Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku;

Dalam Pembukaan UUD 1945, kita menemukan kata-kata “perikemanusiaan dan perikeadilan”, “adil dan makmur”, “adil dan beradab” serta kata “keadilan sosial” bagi seluruh rakyat Indonesia. Seorang ahli filsafat hukum Islam dari abad ke-13, Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla mengatakan bahwa inti dari syari’ah (hukum) adalah keadilan. Karena itu, menurut beliau, norma hukum yang bertentangan dengan norma keadilan sebagai norma moral dan filosofis, sesungguhnya tidak layak untuk dianggap sebagai norma hukum yang mengikat.

Ada banyak definisi tentang adil. Dalam kesempatan ini, kami mengutip sabda Rasululah Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, yang menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang apakah yang dimaksud dengan adil. Rasulullah menjawab: “Adil itu, berikan kepada seseorang apa yang menjadi haknya, dan cabutlah dari seseorang apa yang bukan menjadi haknya”. Kami ingin mengutipkan sebuah kaidah keagamaan yang termaktub di dalam Al-Qur’an Surah An Nisaa’ ayat 135 yang mengatakan yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.

Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” dalam tafsir tersebut maksud “ia” orang yang tergugat atau yang terdakwa. Kaidah yang termaktub di dalam Al-Qur’an ini dipercayai oleh lebih satu milyar kaum Muslimin di dunia ini sebagai suatu kaidah moral yang bersifat universal.

Kedudukan kaidah moral yang bersifat universal itu — seperti dikatakan filsuf Islam Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin – lebih tinggi kedudukannya daripada kaidah hukum, karena Kaidah hukum merupakan kaidah yang terakhir setelah adanya Norma Agama, Norma Kesusilaan, Norma Kesopanan, kemudian barulah muncul kaidah hukum.
Dikaitkan dengan Hadits Rasulullah tadi serta dikaitkan dengan Putusan Etik Dewan Kehormatan Advokat, orang tersebut berhak untuk dibebaskan, karena pembebasan tersebut adalah haknya, dan langkah pembebasan itu adalah KEADILAN.

Penegakkan hukum (law enforcement) itu berarti penegakkan keadilan (justice enforcement) dan kebenaran. Disini, konsep negara hukum diberi arti materiil sehingga acuan utamanya bukan hanya hukum yang tertulis seperti yang dianut di dalam paham legisme melainkan hukum yang adil. Kepastian hukum di sini haruslah diletakkan di dalam kerangka penegakan keadilan (justice enforcement), sehingga jika antara keduanya tidak sejalan, maka keadilanlah yang harus dimenangkan, sebab hukum itu adalah alat untuk menegakkan keadilan substansial (materiil) di dalam masyarakat, bukan alat untuk mencari menang secara formal.

Bahwa pembatasan sebagaimana Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tetap mengandung syarat terpenuhinya rasa adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi, sehingga apabila dihubungkan dengan Pasal 16 UU 18/ 2003 jo. Putusan MK No. 26/ PUU-XI/ 2013 jo. Putusan Persidangan Etik Dewan Kehormatan Advokat menyatakan bahwa Advokat tertentu tidak melanggar kode etik dalam menjalankan profesinya serta telah beriktikad baik maka jelas-jelas mereduksi prinsip keadilan sebagaimana bunyi lengkapnya sebagai berikut:

“Dalam menjanlankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokrasi”.

Apabila Advokat meminta hak Advokat atas hak imunitas tersebut maka hal tersebut tidak bertentangan dengan tuntutan yang adil, tidak pula membahayakan moral, bertentangan dengan nilai-nilai agama, maupun mengganggu keamanan dan ketertiban umum, sehingga tindakan diskresi dan atau tidak mengindahkan Keputusan Dewan Kehormatan Etik Advokat yang menentukan adanya pelanggaran etik Advokat terhadap Pasal 16 UU 18/ 2003 sepanjang frasa “iktikad baik” tidak dilakukan dalam rangka maksud “untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Dalam konteks ini Kami berpendapat bahwa kehadiran Pasal 16 UU 18/ 2003 jo Putusan MK No. 26/ PUU-XI/ 2013 dapat dianggap bertentangan dengan apa yang hendak dituju oleh Pembuat UU, yaitu memberikan perlindungan kepada para Advokat. Kalau kemudian dalam praktik ternyata ada yang tidak terlindungi, maka tujuan dari UU a quo tidak tercapai. Dengan demikian, apabila ada praktik yang menunjukkan pengabaian terhadap keadilan seseorang, keadilan para Advokat.

Kemudian terganjal karena adanya diskresi-diskresi secara arbitrer tanpa mengindahkan Keputusan yang telah diputuskan oleh Dewan Kehormatan Advokat, maka hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, terdapat kerancuan berpikir, seolah-olah Pasal 16 UU 18/ 2003 jo Putusan MK No. 26/ PUU-XI/ 2013 dianggap tidak ada.

Pasal 69 ayat (2) UU 39/ 1999 menjamin Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya. Selanjutnya Pasal 74 UU 39/ 1999 juga menyatakan bahwa, “Tidak satu ketentuan pun dalam Undang-undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam Undang-undang ini”. Bahwa dengan adanya diskresi-diskresi tersebut sangat dapat dimungkinkan dan berdasarkan penalaran yang wajar bahwa Advokat akan merasa telah dirampas hak-haknya.

Oleh: DR (cand) Djafar Ruliansyah Lubis SH MH (Advokat/Praktisi Hukum)
Waketum DPP GAAS

- Advertisement -

Berita Terkini