Politik HMI Adalah Moral Force (Bagian 2)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM

HMI Harus Menegakkan Khitahnya?

HMI perlu membumikan nilai-nilai kebenaran universal dalam menghadapi krisis moral ketika wawasan keumatan mulai menghilang dari setiap jejak langkah perjuangan kader. Dalam ingatan kolektif bangsa, kita tahu bahwa ketika seorang Lafran Pane mendirikan HMI, ada harapan besar yang terpatri dalam wajahnya. Sebab pada saat HMI di deklarasikan, adanya bentuk pengakuan bahwa sebagai kader umat dan kader bangsa HMI tidak menjadi under bouw sebuah partai politik maupun non praksis politik kekuasaan.

Ketika kita kembali membuka lembaran sejarah keberadaan HMI, wajar jika panglima besar Jenderal Soedirman saat itu mengatakan “HMI bukan hanya sekedar harapan Mahasiswa Islam, tetapi juga sebagai Harapan Masyarakat Indonesia”, sebab dalam internal keberadaan HMI itu sendiri berhimpunnya pemikiran-pemikiran revolusioner dengan berbagai variasi keilmuan.

Himpunan Mahasiswa Islam mengalami hiruk pikuk yang sangat luar biasa, hal ini yang kemudian coba digugat dan dikritik oleh Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa bubarkan saja HMI. Pernyataan yang cukup menggelitik pemikiran kita sebenarnya. Upaya menjaga hubungan antar negara dalam tafsirannya Cak Nur, di usia yang sudah matang ini HMI sudah saatnya memantapkan langkah dalam memobilisasi kader dalam mengejawantahkan Mision HMI, bukan sibuk dengan godaan politik kekuasaan.

Dalam manifestasi jalan lurus HMI sejatinya sudah diboncengi oleh kepentingan politik praksis, kita tahu bahwa kejayaan HMI di dasarkan pada kulturnya yakni mengembangkan budaya membaca dan kajian-kajian ilmiah yang menjadi telaah kritis dan pola konsumtif kader-kader HMI.

Namun melihat gerakan HMI kekinian terlalu euforia dengan bergaining struktural. Mungkin karena hampir sebagian besar pejabat negara ini alumni HMI sehingga kebanggaan ini membuat HMI terlalu dekat dengan kepentingan politik kekuasaan.

Himpunan sudah tidak lagi sebagai wadah ataupun ruang transaksi dan transformasi gagasan melainkan merupakan produk transaksi kekuasaan sehingga nihil ruangan independensi HMI.

Kita tahu bahwa prinsip non praktis politis bukan berarti menggambarkan bahwa HMI buta akan politik, melainkan adanya bentuk pengakuan bahwa sikap independensi menjadi kekuatan moral dalam melihat dan menggugat persoalan keumatan dan kebangsaan sehingga HMI tidak melindungi kepentingan elit kekuasaan secara sepihak.

Dalam situasi seperti ini, dapat mengindikasikan bahwa budaya konsumtif struktur politik kader semakin marak-maraknya dipelihara dan menggurita sehingga memberikan ruang terhadap pola komando yang kaku. Ada semacam badai politik besar yang kian menghancurkan Himpunan.

HMI bukanlah organisasi massa yang harus bertengger dan bertarung dipanggung kepentingan publik terhadap upaya pemenuhan syahwat politik, namun secara esensial, HMI adalah organisasi kemahasiswaan dengan berjubel komitmen, bergerak dalam khittah perjuangan dalam mengembangkan dengan satu tujuan yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”.

74 tahun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengabdi, sebuah sejarah panjang mewarnai berbagai arus dinamika perjuangannya. Organisasi Mahasiswa Islam dengan semangat pembaharuan dan sebuah komitmen besar tentang keislaman dan ke-Indonesiaan serta arti perjuangan ideologi bangsa.

Komitmen tersebut menjadi landasan kebersamaan dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Kendati dalam perjalanannya mengalami banyak perubahan dalam rumusan tujuan HMI, tetap saja, janji-janji itu memiliki nilai-nilai universal yang tetap relevan. Kini, 74 tahun setelah janji itu diucapkan. Terbersit pertanyaan, apakah kalian kader-kader HMI sebagai generasi penerus akan tetap menjaga komitmen untuk melanjutkan janji perjuangan?

Disadari atau tidak, organisasi bukan lagi sebagai alat perjuangan Ideologi. Jauh dari apa yang tertulis dalam buku sejarah pergerakan HMI era-70 an. HMI tidak lagi menjadi representasi gerakan intelektual Mahasiswa Islam. Melainkan, tumpul bersamaan dengan dominasi pragmatisme politik kekuasaan yang mewabah kedalam jantung organisasi. Keadaan ini membuat sebagian kader-kader HMI kian pragmatis dan mudah kehilangan jati diri sebagai kader umat yang wajib menjaga independensinya. baik etis ataupun organisatoris. Realita ini terbukti dari kecenderungan perpecahan yang menghabiskan banyak energi, apalagi ketika menjelang momentum peralihan kekuasaan politik.

HMI sebagai alat perjuangan dengan kebesaran sejarahnya, hingga kini belum mampu memfungsikan diri untuk menjembatani jurang pemisah antara masyarakat dan penguasa, antara si miskin dan pemilik modal. Bahkan tidak jarang menjadi alat melegitimasi kekuasaan. Belum lagi bicara soal konflik internal di tubuh HMI, serta cara pandang dengan kalkulasi menang kalah.

Hasilnya, tradisi intelektual kurang terpelihara dengan baik. Kurangnya ruang bagi pertarungan ide dan gagasan yang memancing kreatifitas pemikiran kader, kurangnya minat baca dan minimnya kader HMI yang mengikuti forum forum intelektual di lingkungannya. Rupanya, bertemu alumni dan lobi-lobi politik lebih menarik ketimbang menghadiri forum-forum diskusi yang mungkin membosankan. Ini adalah kesadaran bersama. Kini, kalian dan kita telah dihadapkan pada realita perbedaan yang terjadi di HMI.

Menjaga Independensi Himpunan

Penulis menekankan arti pentingnya menjaga Independensi bagi kader HMI dalam mengemban misi perjuangannya untuk menegakkan prinsip kebenaran dan mewujudkan tatanan sosial yang berkeadilan. Tidak penting siapa yang berkuasa, asalkan kebijakannya tidak menyeleweng pada dua prinsip tersebut, maka HMI akan mendukungnya. Sebaliknya, jika penguasa berbuat dzalim, maka HMI akan ada di garis paling depan untuk melawannya.

“HMI akan tetap setia pada khittah dan karakternya sebagai organisasi mahasiswa yang independen. Independensi inilah yang menjadi energi moral bagi HMI dalam menjalankan misi organisasi. Independensi organisatoris akan mencegah HMI menjadi underbouw dari organisasi politik manapun juga. Adapun independensi etis akan menuntun HMI untuk tetap setia dalam memperjuangkan kebenaran”. (Agussalim Sitompul, 2002)

Lantas sejauh mana menjaga nilai-nilai independesi itu kita pegang teguh dalam upaya memperjuangkan misi himpunan? Terlebih saat ini HMI tengah melaksanakan kongresnya yang ke-31 di kota Surabaya yang sudah menjadi sebuah kebiasaan banyak pihak-pihak yang terlibat secara aktif dalam pertarungan merebut kekuasaan pucuk pimpinan nomor wahid di himpunan ini.

Kemudian, tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak dari alumni HMI yang berafiliasi dengan partai politik tertentu atau bisa dibilang di semua partai politik ada alumni HMI nya sehingga terjadi kerawanan adanya kepentingan politik praktis yang ditumpangkan pada arena Kongres, Musda dan Konfercab. Baik secara langsung atau melalui perantara, mereka hadir untuk mengintervensi utusan dan para kandidat, atau sebaliknya utusan dan kandidat lah yang mendatangi mereka. Keduanya dimungkinkan terjadi di dalam arena Kongres, Musda hingga konferensi Cabang.

HMI dan alumni yang berafiliasi dengan partai politik dan pemerintahan dianggap wajar selama tidak mengganggu nilai-nilai idealisme dan independensi himpunan, tapi jika relasi itu berlangsung dalam kadar yang tidak wajar, maka akan sangat berbahaya bagi eksistensi himpunan saat ini dan di kemudian hari. Sebagai kader yang akan meninggalkan jejak (trace) sejarah di masa yang akan datang, alangkah menyedihkan terasa jika sampai kita dicap sebagai pengkhianat independensi, apalagi dilabeli penjajah himpunan, di pagi buta kita berteriak dan berkampanye di ajang politik praktis, sore hari menjelang senja, kita merumuskan narasi pembenaran untuk kemudian melempar klarifikasi dengan memasang senyum wajah seolah tanpa dosa.

Independensi dan HMI merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, ia menyatu dalam satu kesatuan yang utuh, tak terpisah maupun terbagi. Namun demikian, hal itu tidak mencabut posisi HMI dalam relasi sosial dan politik, HMI tidak anti sosial tidak juga anti politik. Bagi HMI, kekuasaan atau politik bukanlah wilayah yang haram. Politik justru mulia, jika dijalankan di atas etika dan bertujuan untuk menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Lantaran itu, HMI akan mendukung kekuasaan pemerintah yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Sebaliknya, HMI akan tampil ke depan menentang kekuasaan yang korup dan menyeleweng.

Itulah sikap HMI dalam memandang politik dan kekuasaan. Ia akan selalu bersikap objektif dalam menilai sesuatu, dan bertindak dengan prinsip-prinsip yang berkesesuaian dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Darinya watak dasar HMI itu moderat, baik dalam pandangan teologis, sosial maupun politik.

Namun demikian, kita selalu dihadapkan pada dua pilihan dilematis; idealis mempertahankan independensi, atau pragmatis dengan taruhan independensi yang tergadai. Itulah tantangan terberat kita dalam menghadapi realitas perjuangan. Sebagai kader himpunan yang baik dan benar, tentunya dalam keadaan apapun, idealisme dan independensi HMI harus tetap kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Tidak ada pembenaran apapun bagi siapa saja yang berani menggadaikan nilai independensi himpunan.

Maka, di ajang kontestasi Kongres, Musyawarah Daerah, hingga konferensi cabang, kader HMI akan kembali diuji akankah kita menitipkan nasib masa depan himpunan ini kepada sosok calon pemimpin pragmatis yang tidak mampu menjaga idealisme dan independensi, jawabannya ada di tangan utusan forum Kongres, dan Musda.

Kekuatan Moral adalah Politik HMI

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam perjalanan sejarah yang panjang untuk mencatatkan prestasinya bagi kepentingan bangsa Indonesia. Suatu organisasi kemahasiswaan Islam yang terlahir dari rahim suci ibu pertiwi dengan suatu komitmen ke-islaman, ke-Indonesiaan dan intelektual.

Ditengah kritisisme dan pesimisme banyak kalangan termasuk para aktivis dan alumninya akan masa depan HMI, penulis secara pribadi masih menyimpan sejumlah optimisme bahwa HMI akan tetap menjadi anak kandungnya umat (rakyat) bangsa Indonesia sepanjang masih memiliki visi, misi dan tujuan yang tidak pernah berubah dari cita-cita awal didirikannya HMI.

Lantaran sebagai organisasi kemahasiswaan Islam tertua di Indonesia, HMI memang bukan sebagai organisasi politik, akan tetapi HMI memiliki kekuatan politik melalui independensinya. Dalam perspektif semacam itu kekhawatiran terhadap intervensi kekuatan politik dan ekonomi alumninya, atau kekuatan kekuasaan politik kenegaraan tampaknya tidak perlu untuk dirisaukan. HMI memiliki kekuatan politik bukan pada proses dukung mendukung atau tolak menolak berdasarkan kalkulasi dan perhitungan politik kekuasaan, lebih dari sekedar itu HMI masih memiliki komitmen yang kuat bagi tumbuh suburnya masyarakat madani atau civil society di Indonesia.

Dalam mewujudkan tujuan HMI, harus memiliki kekuatan Independensi yang bersumber pada nilai-nilai ruhani dan spritualitas yang tinggi bahwa hakekat kemanusiaan setiap manusia akan selalu cenderung kepada nilai-nilai kebenaran (hanief). Kecendrungan setiap manusia kepada nilai-nilai kebenaran itu pula yang meletakkan posisi independensi HMI berdasarkan nilai-nilai perjuangannya pada nilai-nilai kebenaran yang paling hakiki dalam merealisasikan moral politiknya, sebagaimana di dalam Al-Qur’an, “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, mereka ialah orang-orang yang beruntung,” (QS. Ali Imran: 104).

“Kamu ialah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (ialah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.” (QS. At-Taubah: 71)

Dengan sandaran yang bersifat transendental itulah maka HMI memiliki kekuatan politik, tepatnya moral politik yang besar untuk mendorong hadirnya kehidupan masyarakat madani (civil society) di Indonesia.

Dalam tinjauan yang sangat teoritis kekuatan moral politik HMI juga mesti mendorong hadirnya komunikasi politik yang makin terbuka sebagai suatu syarat hadirnya masyarakat madani (civil society) sebagaimana Gramsci mensyaratkan dua syarat bagi terbentuknya masyarakat madani (civil society), yaitu pertama, sangat tergantung pada tersedia atau tidaknya sebuah ruang atau pentas bagi pertarungan ide, gagasan atau ideologi. Karenanya masalah demokrasi dan masyarakat madani (civil society) tidak bisa dipisahkan dari komunikasi politik.

Kedua, prasyarat bagi kehidupan masyarakat madani (civil society) adalah lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal. Sebaliknya, feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif masyarakat dibuka. Untuk membuka semuanya ini, perlu diciptakan suatu medan komunikasi terbuka, termasuk komunikasi politik.

Bagi aktivis, kader HMI sudah semstinya mendorong kekuatan politik moral HMI untuk merealisasikan independensinya pada kekuatan untuk dukung mendukung dan menyeru pada yang ma’ruf dan kebajikan dan tolak menolak pada kemungkaran, beriman dan mentaati Allah serta Rasulnya. Bukan pada prakmatisme politik yang bukan menjadi jati diri HMI.

Tantangan Masa Depan HMI?

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dalam merealisasikan politik moralnya, HMI menghadapi berbagai tantangan dan problematikanya di sepanjang perjalanan sejarah HMI. Tantangan dan problematika itu bukan saja datang dari kekuatan tarik-menarik kekuasaan politik kenegaraan akan tetapi juga dari tarik-menarik kekuatan di dalam internal HMI pada prakmatisme politik dan idealisme. Masa depan HMI ditentukan oleh seberapa besar HMI mampu menghadapi tantangan dan problematika yang dihadapi dengan senantiasa menjaga nilai-nilai independensinya.

HMI akan mampu membumikan kembali nilai-nilai intelektual sepanjang HMI senantiasa menjadikan setiap perkaderannya menjadi tempat tumbuh suburnya budaya mendengar, dengan pengembangan budaya dialog, berdiskusi dan berdebat baik secara formal maupun informal. Mengembangkan budaya membaca baik dalam makna yang tekstual maupun konstektual dalam membaca perkembangan zaman yang makin pesat dan maju, sehingga kader-kader HMI memiliki wawasan intelektual yang luas dan memiliki analisis yang memberi solusi bagi kepentingan sebuah kemajuan. Dan mengembangkan budaya menulis untuk menyusun ide dan gagasan secara konseptual yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan Umat (rakyat) bangsa Indonesia.

Pertanyaan yang paling krusial yang mesti kita kemukakan adalah, dapatkah HMI terus menerus menjaga Independensi nya untuk mewujudkan harapan dan cita-cita suci itu sebagai suatu kekuatan moral politik di tanah air?

Optimisme tampaknya mesti terus kita bumikan dan sandarkan kepada jiwa-jiwa kader HMI agar mampu menjadi moral politik untuk tumbuhnya masyarakat madani di Indonesia.

Kepada aktivis dan kader-kader HMI seluruh Indonesia tidak berlebihan kalau kita titipkan optimisme itu kepada mereka. Kita ingin HMI tetap menjadi “Harapan Masyarakat Indonesia”, sebagaimana harapan Jenderal Soedirman pada dies natalis HMI yang pertama.

Oleh : Nasky Putra Tandjung (NPT)

- Advertisement -

Berita Terkini