Politik HMI Adalah Moral Force 

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Mahasiswa adalah sebuah lapisan masyarakat terdidik yang menikmati kesempatan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sesuai dengan perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju kematangan dan berproses menemukan jati diri, dan sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, alam pikiran mahasiswa berorientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran. Karena orientasi idealis dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian ahli memasukkannya kedalam kelompok cendikiawan.

Orientasi pada nilai-nilai ideal dan kebenaran membuat mahasiswa peka dan peduli terhadap persoalan-persoalan di lingkungannya terutama yang menyangkut bentuk-bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Kepedulian itu diekspresikan dalam bentuk-bentuk protes, menggugat hingga demonstrasi. Konsep ini kemudian tidak bisa dipisahkan dari mereka dan menempatkannya sebagi pendekar sosial. Karena sebagai pendekar sosial gerakan mahasiswa bersifat massal, maka dampak politik mahasiswa sering tidak terhindarkan dalam berbagai komunitas masyarakat atau negara.

Dalam konteks inilah, mahasiswa sering berperan mewarnai perkembangan masyarakat, perubahan sosial dan kehidupan politik. Gerakan sosial politik mahasiswa umumnya berperan sebagai pembawa suara kebenaran dan kontrol sosial terhadap lingkungan sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Beberapa negara yang pemerintahannya korup dan otoriter telah jatuh karena gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan mahasiswa seperti penggulingan Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958 dan Ayub Khan di Pakistan tahun 1969 dan Soekarno tahun 1966 dan Soeharto tahun 1998.

Sepanjang pemerintahan orde lama, gerakan mahasiswa telah membuktikan dirinya sebagai ” the moral force dan agen of social change “.

Problematika Orientasi Mahasiswa Sekarang?

Arah dan kecenderungan gerakan mahasiswa sebagai social movement lahir dari konteks sosial politiknya sendiri. Semakin kuat sebuah pemerintahan atau rezim politik menyelewengkan kekuasaannya semakin kuat pula arus gerakan perlawanan mahasiswa. Ketika kekuasaan otoriter sudah tumbang, tantangan-tantangan luar dan koreksi sosial politik negara berkurang, gerakan mahasiswa pun melunak. Walaupun agenda reformasi masih belum selesai, tantangan mereka pun berubah bukan lagi tantangan-tantangan eksternal negara melainkan bergeser menjadi konflik internal antar mereka sendiri. Dalam banyak hal, konflik mahasiswa telah bergeser ke orientasi primordial, kelompok dan golongan serta kepentingan-kepentingan praktis lainnya.

Di perguruan tinggi konflik antar ideologi mahasiswa dan antar-kelompok menggantikan orientasi perjuangan sosial mahasiswa. Karena tidak menemukan media konflik yang lain atau common enemy maka organisasi-organisasi dari lingkungannya sendiri menjadi media satu-satunya sebagai wadah agregasi politik yang kemudian memunculkan benturan kepentingan yang ironis bagi dunia kemahasiswaan. Konflik-konflik primordial itu berkepanjangan dan diwariskan ke generasi berikutnya.

Orientasi pragmatis dan material telah menggiring banyak mahasiswa pada aktivitas-aktivitas yang kurang relevansinya dengan kehidupan nyata, kurang peka dengan lingkungan sosial, dengan nasib orang-orang lemah dan dengan kehidupan politik yang menghalalkan segala cara. Kebudayaan global dan culture di sisi lain sebagiannya telah menggiring orientasi dunia mahasiswa padahal yang bersifat selebritis, perayaan dan hura-hura. Aktifitas selebritis dan culture yang seharusnya dikritisi malah menguat seperti parade band, pemilihan putri kampus, dan valentine day.

Dunia mahasiswa sebagai kaum intelektual berubah jadi dunia ABG. Kualitas pemakaian bahasa indonesia pun umumnya mengalami degradasi yang parah. Bahasa komunikasi mahasiswa pun kini terdengar parah akibat lebih kuatnya kecenderungan masa culture dan budaya selebritis yang ironisnya dihayati sebagai simbol modernitas pergaulan.

Gerakan Moral Force Mahasiswa

UNTUK mengembalikan mahasiswa kepada ‘habitat’ nya kembali sebagai entitas gerakan moral dan aktor perubahan sosial politik. Pada setiap dinamika kebangsaan yang terjadi di tanah air mahasiswa memang hampir tidak pernah absen untuk turut berperan aktif di dalamnya. Itu semua merupakan entitas nyata darma mahasiswa terhadap bangsa dan negara. Apalagi sebagai kaum intelektual mahasiswa juga menyandang gelar sebagai agen perubahan (agent of change).

Dalam hal ini ada dua tanggung jawab besar yang harus diemban oleh seorang mahasiswa, yaitu tanggung jawab akademik dan tanggung jawab sosial. Tanggung jawab akademik terkait dengan tanggung jawab pengembangan dunia keilmuwan serta penerapannya dalam masyarakat. Tanggung jawab akademik menuntut mahasiswa untuk belajar sesuai dengan bidang keilmuwan yang diambilnya.

Sedangkan tanggung jawab sosial mahasiswa tidak bisa dipisahkan dengan peran mahasiswa sebagai agent of change . Dalam menjalankan peran sebagai agen of change, idealnya tugas seorang mahasiswa tidak hanya menyerukan gerakan perubahan semata, namun juga gerakan-gerakan pembaharuan yang inovatif dalam wujud nyata. Dan untuk mencapai semua itu tidak bisa dilepaskan dari ranah politik. Kita pun masih ingat dengan jelas betapa melalui kekuatan politik para mahasiswa berhasil menumbangkan hegemoni dan rezim otoriter yang berkuasa waktu itu.

Maka jika ditanya haruskah mahasiswa berpolitik? menurut pandangan penulis pribadi, ya, mahasiswa memang perlu berpolitik. Politik ala mahasiswa tentu harus dibedakan dengan politik ala anggota dewan yang rata-rata hanya berorientasi kekuasaan dan kesejahteraan kelompoknya semata. Politik ala mahasiswa idealnya berorientasi pada gerakan politik nilai dan moral.

Mahasiswa sebagai aktor utama gerakan politik nilai dan moral dapat memainkan dua peran penting sekaligus, yaitu control social dan social pressure . Posisi mahasiswa sebagai kontrol sosial terkait tanggung jawab mahasiswa dalam ikut serta mengawasi dan mengawal jalannya demokrasi serta kepemimpinan politik. Dalam hal ini bukan berarti mahasiswa haus akan kekuasaan, namun lebih pada memainkan peran agar demokrasi dan politik tetap berjalan pada rel yang semestinya.

Sedangkan sebagai social pressure mahasiswa memainkan peran menjadi tekanan sosial atas segala ketidakadilan serta kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.

Menurut pandangan penulis seorang mahasiswa perlu “berpolitik”. Di samping sebagai sebuah pembelajaran, berpolitik dalam artian gerakan nilai-nilai dan moral yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini sangat diperlukan untuk mengawal jalannya demokrasi di tanah air. Gerakan politik nilai dan moral ini bisa diwujudkan melalui beberapa hal, misalnya orasi budaya, demonstrasi yang beretika, kritik melalui tulisan di media online dan cetak.

Di samping itu penulis beranggapan bahwa gerakan politik ala mahasiswa idealnya merupakan gerakan yang berbasis moral dan intelektual. Sehingga harus cerdas serta tetap mengedepankan etika.

Perjalanan Panjang Perjuangan HMI

Sejatinya, keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah tonggak sejarah revolusi mentalitas bangsa Indonesia. Hal ini pada prinsipnya merupakan khittah perjuangan setiap kader-kader dimana realitas keberadaan HMI tentu diyakini sebagai wadah atau laboratorium intelektual dalam mengembangkan dan membuka ruang sosial terhadap pengembangan cita-cita negara sebagai mana platform perjuangannya yakni melihat persoalan kebangsaan dan keumatan.

Dalam konteks sejarah HMI, mencoba memanggungkan Indonesia dengan berbagai tradisi serta aktualisasi perwujudannya, di hadapan publik indonesia yang dalam gerakan perjuangannya mengakumulasikan semua komponen bangsa.

HMI sebagai organisasi perjuangan, pada prinsipnya menjadi hal yang paling mendasar terhadap kerangka pemenuhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Semakin menguatnya persoalan trans identitas dan trans kultural dalam beberapa kurun terakhir menjadi polemik di negeri ini. Menyelusuri ruang kehidupan Himpunan Mahasiswa Islam dalam beberapa tahun terakhir mengalami situasi paradoks, hal ini menggambarkan bahwa adanya kondisi dilematis sehingga menjadi tantangan kian membesar dewasa ini dalam mengaktualisasikan marwah organisasi sebagaimana termaktub dalam konstitusi yakni, konstruksi independensi organisatoris dan independensi etis dalam setiap pergerakan kader HMI.

Bersambung…

Oleh : Nasky Putra Tandjung (NPT)

- Advertisement -

Berita Terkini