Erosi Demokrasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Dalam perjalanan sejarah sistem pemerintahan di negara-negara yang menganut demokrasi, sistem tersebut hancur disebabkan oleh sebuah kudeta yang dimotori kelompok militer sehingga menimbulkan sistem pemerintahan baru yang menggantikan demokrasi yang berpaham otoritarianisme. Gerakan kudeta tersebut banyak kita temukan di beberapa negara benua Amerika, Eropa dan juga di sebagian negara benua Asia. Akan tetapi gerakan ini sudah mulai ditinggalkan, karena mungkin dianggap sudah tidak relevan lagi mengingat sistem demokrasi sudah banyak diminati, bahkan gerakan sekali pukul (kudeta) itu sudah termasuk gerakan “kolot” dalam mencapai puncak kekuasaan.

Saat ini, gerakan menumbangkan demokrasi bukan berarti hilang, akan tetapi masuk ke dalam demokrasi tersebut (membajak) kemudian melemahkannya dari dalam secara perlahan. Sehingga tidak terasa otoritarinisme baru secara halus menggantikannya. Sebelum berkuasanya pemimpin otoriter, terlebih dahulu melakukan sebuah gerakan-gerakan yang mengikis segala perangkat demokrasi dalam sebuah demokrasi sejati. Mengenai pengikisn nilai-nilai dan norma-norma sejatinya demokrasi ini, Steven Levitsky & Daniel Ziblatt dalam bukunya yang sangat terkenal; How Democracies Die (Bagaimna Demokrasi Mati, edisi Bahasa Indonesia) menyebutkan dengan istilah “Erosi Demokrasi”. Dan fokus pembicaraan kita pun dalam tulisan singkat ini adalah bagaimana dan seperti apa yang dimaksud Erosi Demokrasi itu?

Erosi Demokrasi

Steven Levitsky & Daniel Ziblatt (2019) berpendapat bahwa, Erosi demokrasi terjadi selangkah demi selangkah, kadang sangat kecil langkahnya. Tiap langkah kecil tampak tak penting, terlihat tidak benar-benar mengancam demokrasi. Pelaku yang mengancam demokrasi secara perlahan ini adalah pemerintah itu sendiri karena ingin menguatkan dan memperpanjang kekuasaannya. Langkahnya sering berkesan legal; disetujui oleh parlemen atau dianggap konstitusional oleh mahkamah kehakiman.

Banyak menerapkan sebuah aturan atau kebijakan dengan dalih demi satu tujuan publik yang sah, terkesan terpuji, seperti melawan korupsi, melawan teroris, “membersihkan” pemilu, memperbaiki mutu demokrasi, atau meningkatkan keamanan nasional. (Menurut saya ada juga yang berdalih menjaga dan meningkatkan stabilitas keadaan ekonomi.) Semuanya ini hanyalah modus untuk melemahkan sistem demokrasi yang tidak mau membatasinya. Subjek yang melakukan pelemahan demokrasi ini adalah mereka yang sedang menjabat lewat sistem demokrasi di saat awal kenaikannya.

Steven dan Daniel mencontohkan beberapa subjek yang mengerosi demokrasi dengan berbagai cara saat berkuasa, seperti Hugo Chaves di Venezuela yang awalnya demokratis kemudian secara perlahan berubah menjadi otoritarian, Alberto Fujimori di Peru, Perdana Menteri Silvio Berlusconi di Italia, Presiden Rafael Correa di Ekuador, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Putin di Rusia, dan beberapa tejabat tinggi di negara-negara demokrasi lainnya, seperti Hungaria, Polandia, Chile dan Thailand. Bahkan Donald Trump masuk dalam catatan sebagai Presiden Amerika Serikat yang mengikis nilai-nilai demokrasi.

Sungguh tidak dapat dibayangkan di Amerika Serikat sendiri yang sudah mapan sistem demokrasinya masih mengalami–meminjam bahasa Larry Diamond–memasuki masa resesi demokrasi. Tidak menutup kemungkinan bahwa di negara kita ini; Indonsia, akan mengalaminya jika demokrasi tidak benar-benar dijaga dengan baik oleh kita semua.

Gerakan menumbangkan demokrasi secara perlahan ini (Erosi demokrasi) dilakukan berbagai macam cara, seperti menguasai dan mengendalikan segala sektor untuk melancarkan misinya. Pemerintah yang terkesn demokratis tersebut menempatkan setiap loyalisnya di berbagai lembaga pemerintahan atau pun juga dalam lembaga kehakiman dan parlemen.

Setiap pihak oposisi (politikus) maupun pihak yang bukan politikus akan diintervensi secara perlahan agar supaya tidak menghambat jalan yang sedang dirintisnya untu berkuasa lebih lama. Bagi pihak oposisi yang melawan akan disuap, jika tidak mau disuap maka ditangkap dan dipenjarakan. Segala macam delik dan cara akan dilakukan. Hal ini dilakukan pejabat tinggi negara yang disebutkan Steven dan Daniel dalam buku tersebut. Tujuan mengintervensi pihak parlemen, baik pihak oposisi maupun loyalis, adalah supaya memuluskan jalannya lewat sebuah undang-undang yang dibentuk.

Tidak hanya di dalam parlemen, dalam kekuasaan kehakiman juga ditempatkan loyalis-loyalis untuk melindungi dan dapat menjerat setiap orang yang menghambat kekuasaan otoritariannya. Jika ada hakim-hakim yang tidak pro dengannya, atau tidak mau menerima suap, mereka siap-siap untuk dijebak, bahkan tidak sedikit yang mengalami tekanan fisik. Jika pun masih ada hakim yang menentang sang otoritarian, mereka tetap kalah dalam voting keputusan sebab loyalis sang otoritarian lebih mendominasi dalam mahkamah kehakiman.

Untuk menekan pihak opisisi di luar pemerintahan, seperti pemilik pers, baik itu majalah, surat kabar harin, dan televisi akan tetap diberi suap atau dengan bahas halusnya diberi bantuan asal tidak mengkritisi dan tidak mengurusi politik. Jika ada yang tetap melawan maka akan disetting sebuah kasus pajak perushaan media tersebut. Dan dituduh sebagai perusak “sistem demokrasi” sehingga harus dibubarkan serta membayar denda. Pers yang menjadi pilar keempat demokrasi ikut lumpuh dalam menjaga sejatinya demokrasi.

Kemudian jika ada seseorang dan atau sekelompok orang yang dirasa menghambat jalannya kekuasaan otoriter dalam “demokrasi” maka akan dituduh sebagai musuh negara. Ada yang dituduh teroris, dituduh menyebarkan berita hoaks, dituduh mengancam keamanan dan kestabilan negara, dituduh kelompok separatis, sehingga semuanya harus dilumpuhkan, kecuali mereka yang “menjilat” pada sang penguasa. Artinya tidak ada lagi seseorang dan atau sekelompok orang pun yang bebas berpendapat, berekspresi (dalam artian positif), bebas berpikir dan kesetaraan di mata hukum. Semuanya dalam pembungkaman yang kejam tapi tak nampak.

Di Indonesia sendiri, apa-apa saja yang diuraikan Steven dan Daniel dalam mengerosi demokrasi tidak menutup kemungkinan pernah dan sedang terjadi saat ini. Tidak sulit kita untuk mengindentifikasinya, seperti kita melihat bagaimana lahirnya sebuah undang-undang yang tidak pro rakyat, KPK dilemahkan, adanya UU ITE yang lebih banyak menjerat kelompok yang kritis, sistem pemilu yang hanya memuluskan sekelompok orang atau golongan, tidak menutup kemungkinan wacana 3 (Tiga) periode jabatn Presiden untuk memperpanjang masa kekuasaan, dan di dalam aspek lainnya. Belum lagi kasus polarisasi terus terjadi di masyarakat saat pemilu mulai berlangsung.

Penutup

Sebagai catatan awal (Pengantar) dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati (edisi Bahasa Indonesia) itu–perlu kita ingat lagi, Steven dan Daniel menegaskan bahwa, ada cara lain menumbangkan demokrasi tanpa kudeta, memang tidak begitu dramatis akan tetapi daya destruktifnya sama. Demokrasi bisa mati bukan di tangan jenderal melainkan di tangan pemimpin terpilih (Presiden atau Perdana Menteri) yang membajak proses yang membawa mereka menduduki puncak kekuasaan. Mereka mengikis demokrasi secara perlahan, dan langkah-langkahnya nyaris tak kasat mata.

Mereka membajak lembaga-lembaga demokrasi. Pembajakan itu terkesan “legal” sebab disetujui lembaga legislatif dan diterima lembaga yudikatif. Modusnya adalah dalam upaya “memperbaiki demokrasi”. Rakyat mengalami kebingungan kemudian mengkritik, akan tetapi mereka dihadapkan dengan masalah pajak, hukum dan tuduhan yang tak jelas (secara subjektif). Media-media massa, seperti koran harian, majalah, dan sakarang ini media online tetap terbit serta televisi tetap boleh menyiarkan, akan tetapi semuanya sudah dibeli, ditekan, dan disuap (bagi yang menerima) sehingga menyensor diri.

Oleh: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi di Sumut)

Catatan: Tulisan ini telah terbit di Kalom Opini, Harian Analisa, Rabu, 21 Juli 2021.

- Advertisement -

Berita Terkini