Jokowi: Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Sudah Benarkah? Ini Penjelasannya

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Tulisan ini saya buat atas permintaan seorang mahasiswa hukum yang menurutnya sedang gemas kepada Jokowi. “Sebagai seorang presiden lho, masa dia bisa sembrono seperti itu menjelaskan pasal dari UU Pemilu 2017?” ujarnya kemarin. Baginya lagi, hal ini penting buat diketahui publik agar tidak terjebak dengan apa yang disampaikan presiden.

“Sayangnya, tidak banyak media yang jeli membahas atau memberitakan ini. Kaum akademik kampus juga tidak bersuara keras mempersoalkannya. Jadi, saya gemas dan ingin ini disampaikan kepada masyarakat,” tambahnya lagi. Sepemahaman saya, pengamat politik dari kampus sebenarnya sudah ada yang speak up. Bahkan sekarang mengeluarkan petisi guna mengoreksi hal tersebut.

Namun baiklah, saya mencoba jabarkan persoalannya. Seperti diketahui beberapa waktu lalu, Jokowi sempat melontarkan ucapan yang kontroversi terkait dirinya yang kerap dituding melakukan kampanye diam-diam dan bersikap tidak netral alias berpihak. Jika diperhatikan gestur Jokowi saat menjawab media di lanud Halim, tampak sekali ia menahan marah. Sesungguhnya dia marah.

Jokowi marah karena ia merasa disalahkan oleh publik. Mungkin baginya, presiden kok disalah-salahkan? Sehingga keluarlah komentar blunder yang diucapkan Jokowi. Saya yakin, statemen tersebut memang sudah disiapkan dirinya untuk disampaikan ke publik, hanya Jokowi memilih melalui moment wawancara, bukan siaran pers. “Presiden dan menteri boleh loh kampanye, boleh loh berpihak!”

Pernyataannya itu diucapkan dengan intonasi yang agak tinggi dan diulang (menunjukkan emosi). Meski ia menambahkan dengan penjelasan “tidak menggunakan fasilitas dan harus ambil cuti”. Selang sehari, karena statemennya itu memunculkan respon yang makin menyudutkannya, ia berinisiatif membuat wawancara di istana. Seolah presiden ditanya wartawan lalu ia menjawab.

Ini mestinya sudah disiapkan, bukannya pertanyaan dadakan. Terlihat pula disiapkannya kertas print yang menunjukkan pasal dalam UU Pemilu. Pertama ia menunjukkan pasal 299 bahwa pejabat negara seperti presiden dan menteri dibolehkan kampanye dst. Lalu ada pula pasal 281 yang juga bernarasi membolehkan. Hanya saja Jokowi tidak jeli membaca pasal tersebut, khususnya pasal 281.

Pasal 281 (1) menyebutkan: “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden… dst.” Pengertian “mengikutsertakan” di situ harus dipahami bahwa presiden bertindak sebagai peserta pemilu. Misal presiden mencalonkan kembali dalam posisi incumbent. Begitupun dengan pejabat negara yang lain. Misal, menteri sebagai ketua umum partai, otomatis ia disebut sebagai peserta pemilu.

Begitupun jika menteri sebagai anggota tim pemenangan pilpres. Prabowo, Airlangga dan Zulhas merupakan Ketum partai masing-masing, mereka memiliki hak kampanye sepanjang tidak gunakan fasilitas negara dan harus cuti saat kampanye. Yang mengherankan itu seperti Budi Arie, Bahlil, Amran (Mentan), Erick Thohir dan LBP? Apakah mereka terdaftar sebagai tim kampanye 02? Apakah mereka anggota partai (kecuali LBP)?

Jadi, menteri-menteri pansos tersebut tidak boleh berbuat “menguntungkan paslon tertentu” dan “mengajak orang untuk memilih paslon tertentu”. Kembali kepada status presiden Jokowi yang sudah tidak mencalonkan diri lagi, maka ia tidak boleh menyatakan berkampanye dan berpihak. Terlebih, sudah jelas di kubu yang didukung Jokowi ada anaknya sendiri yakni Gibran, tentu potensi konflik kepentingan akan tinggi sekali.

Memang soal dukungan pejabat negara kepada keluarga belum diatur dalam UU Pemilu (baru diuji materi ke MK di akhir 2023 kemarin). Jokowi mengatakan bahwa dirinya juga sebagai pejabat politik. Jika begitu, maka Jokowi harusnya kampanye dan memihak kepada partainya, karena hingga kini Jokowi masih terdaftar sebagai anggota PDIP. Hal ini dicontohkan seperti Obama ikut kampanye Hillary Clinton (sesama partai Demokrat).

Mengapa Jokowi tidak merujuk pasal 282 dan 283 dalam UU yang sama? Pasal tersebut mengatur terkait larangan kepada pejabat negara dalam penyelenggaraan pemilu. Sangat jelas materinya, mengapa tidak dikomparasi? Apa berarti UU Pemilu itu rancu alias kacau? Di satu pasal dilarang dan di pasal lain dibolehkan? Bukan begitu tafsirnya. Itu artinya, ada dua status pejabat negara sebagai peserta pemilu dengan yang bukan peserta pemilu.

Hanya saja, pasal 282 dan 283 memang tidak menyebut presiden dan wakil presiden melainkan hanya “pejabat negara”. Sementara di pasal 281 dan 299 ada disebut presiden. Apakah itu alasan Jokowi? Lalu, apakah presiden dan wakil presiden bukanlah pejabat negara? Dalam laman aturan pemerintah, presiden dan menteri termasuk sebagai pejabat negara. Jadi, ‘pejabat negara’ yang dimaksud pasal 282 dan 283 termasuk presiden dan menteri.

Berikut bunyi pasal 282:
Pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa Kampanye.

Pasal 283:
(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye

(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Sudah semakin jelas bukan? Apa yang disampaikan hingga dilakukan Jokowi sudah dapat dikategorikan melanggar UU, terlebih bisa dianggap melanggar konstitusi yang harusnya menjamin pelaksanaan pemilu yang luber, jurdil, netral dan demokratis. Jauh di atas itu, ada pula yang disebut etika dalam mengelola bangsa dan negara. Sungguh sangat tidak etis jika presiden terlibat mendukung anaknya sendiri dalam kontestasi pilpres.

- Advertisement -

Berita Terkini