BLT Minyak Goreng Disebut Aktivis 98 Hanya Menguntungkan Pengusaha Sawit Besar

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta –  Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa terjadinya kemacetan yang luar biasa hampir di semua kota menunjukkan mobilitas warga semakin tinggi. Di balik itu, juga menunjukkan adanya pergerakan dan perputaran ekonomi yang sudah membaik.

Menurut Presiden, membaiknya situasi perekonomian terlihat dari peningkatan aktivitas di pusat perekonomian seperti di pasar, termasuk menjelang hari raya Idul Fitri. Hal itu dikatakan Jokowi saat pembagian pertama Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng kepada para pedagang kaki lima dan juga ibu-ibu penerima Program Keluarga Harapan (PKH), di Pasar Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat, kemarin. Pemerintah akan memberikan BLT minyak goreng senilai Rp 300 ribu untuk tiga bulan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar bantuan pangan non tunai dan PKH.

Namun kebijakan BLT minyak goreng dari pemerintah dinilai Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Pergerakan 98 Sahat Simatupang justru menguntungkan konglomerat kelapa sawit besar seperti Musim Mas,Sinar Mas, Cargill dan Salim Group serta Wilmar. Mereka adalah konglomerat sawit produsen, pengolah, pembeli hinggga penjual minyak goreng dan biodiesel. Perusahaan kecil dan BUMN termasuk petani kelapa sawit, kata Sahat, sangat tergantung pada konglomerat sawit ini.

Menurut Sahat, cara mengatasi dampak kenaikan harga minyak goreng bukan dengan membagi – bagikan BLT minyak goreng karena sesungguhnya salah satu penyebab harga minyak goreng naik karena rantai pasok minyak goreng kebutuhan dalam negeri terganggu akibat kebijakan dua harga.

“Kebijakan dua harga menyebabkan turbulensi. Untuk biodiesel pakai harga internasional, untuk minyak goreng pakai harga domestik. Akibatnya Crude Palm Oil atau CPO tersedot untuk biodiesel. BLT minyak goreng hanyalah solusi sementara bukan mengatasi kenaikan harga minyak goreng yang rantai pasoknya dikuasai konglomerat sawit. Konglomerat sawit untung dua kali. Pertama dari harga biodiesel atau B30 dan kedua dari harga minyak goreng yang sudah terlanjur naik,” kata Sahat Simatupang, Kamis 14 April 2022.

Disatu sisi, ujar Sahat, peningkatan pajak ekspor CPO malahan bikin senang pengusaha kelapa sawit memasok CPO ke biodiesel karena kebutuhan dana untuk subsidi biodiesel B30 sangat besar. Seharusnya, ujar dia, langkah yang di ambil oleh pemerintah untuk menekan kenaikan harga minyak goreng dalam negeri adalah dengan menurunkan target program biodiesel yang saat ini B30 menjadi B20.” Jadi bukan dengan bagi – bagi BLT minyak goreng,” kata eks Direktorat Relawan Tim Kampanye Jokowi – Ma’ruf Amin ini.

Selain dengan menurunkan B30 menjadi B20, Program Peremajaan Sawit Rakyat atau PSR, ujar Sahat, juga harus dimudahkan, agar peningkatan produktivitas petani lebih baik. Selama ini, katanya, PSR terlalu birokratis dan menyulitkan petani sawit untuk mengakses dana peremajaan sawit rakyat padahal dana di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dari pungutan sawit tahun 2015 – 2021 sekitar Rp 138 triliun masih tersisa sekitar  Rp 23 triliun lebih.” Uang sebesar itu bisa meningkatkan produktifitas petani sawit rakyat untuk pemenuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri. Tapi pengajuan PSR itu sangat birokratis sehingga banyak petani sawit rakyat tidak bisa memanfaatkan dana itu,” kata Sahat.

Hal lain yang menjadi sorotan jurnalis Tempo ini adalah pungutan dana sawit yang merugikan petani sawit kecil karena harga CPO menjadi acuan penentuan atau penghitungan harga Tandan Buah Segar atau TBS yang di lakukan oleh dinas perkebunan di Indonesia.

“JIka pungutan CPO tinggi maka harga CPO yang menjadi acuan penentuan harga TBS petani tadi akan rendah. Akibatnya harga TBS juga ikut turun,” kata Sahat. Dengan kenaikan pungutan dana sawit terbaru melalui PMK 23/PMK.05/2022 ini, sambung Sahat, akan ada penurunan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit diperkirakan sekitar Rp 500 hingga Rp 700/kg TBS.

Kebijakan pemerintah mensubsidi minyak goreng curah dan menyerahkan harga mekanisme pasar untuk minyak goreng kemasan, ujar Sahat, adalah kekeliruan paling lengkap pemerintah saat ini karena pada akhirnya tidak ada jaminan stok atau persediaan minyak curah bisa bertahan lama. Pada akhirnya, sambung Sahat, rakyat terpaksa membeli minyak goreng kemasan yang harganya naik 100 persen dari janji pemerintah Rp 14 ribu/liter. Adapun koglomerat sawit besar, kata Sahat, meraup untung ganda dari program biodiesel dan kenaikan harga minyak goreng. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini