Kasus di BPN Makin Menumpuk, UU Ini Penghadang Jokowi untuk Memiliki Satu Data

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Jakarta – Tiap hari beban kasus di Badan Pertanahan Nasional (BPN) semakin menumpuk. Penumpukan kasus masalah seperti deret ukur, sedangkan penyelesainnya mengikuti deret hitung pun tidak.

Hal itu dikatakan Pengamat Perampasan Tanah, BeaThor Suryadi dalam keteranganya tertulisnya kepada mudanews.com, Sabtu (22/1/2022) di Jakarta.

“Khususnya problem tanah sebagai landasan pembangunan, Pemerintah mempermudah investor untuk mendapatkan lahan luas yang diperlukan untuk membangun perkebunan, pertambangan dan juga property, sedangkan tanah-tanah yang telah habis masa HGU nya yang harus dikonversikan menjadi tanah hak milik Rakyat untuk keperluan menopang kehidupannya sehari-harinya sebagai petani malah tertunda-tunda terus hingga saat ini,” kata BeaThor Suryadi.

Bahkan, ungkapnya, tanah-tanah milik Rakyat yang telah bersertifikat pun banyak yang diklaim oleh Investor sebagai termasuk bagian dari HGU sebagai akibat kesalahan Ploting tanah yang diterbitkan BPN, sehingga ini menjadi Sengketa Geospasial yang tidak berani diselesaikan oleh BPN secara profesional dan ilmiah menurut Ilmu Geodesi dan Geomatika.

“Malahan terkesan BPN cenderung menghindarinya dengan membuang sengketa ini untuk dilanjutkan secara berlarut-larut di ruang Pengadilan,” bebernya.

Selain itu, sambungnya, berbagai kasus muncul diantara kebutuhan tersebut, konflik itu menyengsarakan rakyat dalam mencari keadilan.

“Keadilan adalah landasan Negara ini untuk dimerdekakan, dalam Pancasila ada 2 butir tentang Keadilan, Sila ke 2 Kemanusian yang adil dan beradab dan Sila ke 5 Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,” jelasnya.

Lebih lanjut BeaThor Suryadi mengatakan, warga sudah punya kekuatan surat menang incrach di Pengadilan pun belum merupakan penyelesaian perkara karena ternyata pihak BPN tidak patuh terhadap tegaknya hukum berkeadilan.

Di sisi lain, Pemerintah juga punya dua Lembaga sebagai wujud pelayanan publik yakni, Ombudsman dan Komisi Informasi Publik.

“Sayangnya kedua Lembaga ini, hasil keputusannya pun diabaikan oleh BPN,” tambahnya.

Dijelaskannya, UU No 14 tahun 2008 merupakan UU yang sia-sia karena Komisi ini tidak maksimal dalam mewujudkan keadilan tersebut, di Pasal 17 nya banyak ketertutupan atas informasi, juga tidak dicantumkan keterbukaan tentang Warkah yang menjadi kepastian titik koordinat kepemilikan, ditambah KIP tidak memiliki hak eksekusi atas keputusannya.

“Niat Jokowi untuk memiliki Satu Data pun terhadang oleh UU No 14 ini, khususnya di Pasal 17, karena syarat untuk terbentuknya satu data harus dimulai dengan keterbukaan, maka sistem Geospasial itu bisa diterapkan untuk mewujudkan capaian Satu Data,” kata dia.

Gagasan FKMTI tentang adu data dari pihak-pihak adalah terobosan yang harusnya dijalankan oleh pihak BPN. “Adu data merupakan sarana yang sangat demokratis untuk mencari keadilan,” pungkasnya. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini