Menyegarkan Pemahaman Tentang Teroris

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Berdasarkan defenisi yang terdapat dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diketahui bahwa; terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Berdasarkan defenisi yang memuat cakupan yang amat luas tersebut, sesungguhnya jenis-jenis terorisme itu amat banyak, dan tidak terbatas hanya pada aksi kekerasan bernuansa agama saja.

Namun selama ini, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap, hanya kejahatan yang bernuansa agama yang oleh polisi ditetapkan sebagai teroris. Sebab itu rasanya perlu bagi kita menyegarkan kembali defenisi terorisme ini, agar usaha pemberantasan tindak pidana terorisme tidak menimbulkan tuduhan bahwa polisi tidak berlaku adil, dimana mereka hanya menyasar teroris yang bernuansa agama, apalagi hanya para agama tertentu, sebutlah misalnya hanya pada penganut agama Islam.

Kesimpulan bahwa polisi hanya menyasar pemeluk agama Islam, beralasan. Karena misalnya gerombolan pengacau di Papua yang mayoritas non-muslim bertahun-tahun, dan telah ratusan kali membunuh warga sipil tidak disebut teroris, hanya disebut KKB. Demikian halnya dengan pengusaha yang merusak lingkungan, membakar hutan yang menimbulkan banjir jika musim hujan, dan kekeringan jika musim kemarau, tidak pernah ditetapkan sebagai teroris. Padahal dalam defenisi diatas, jelas tercantum bahwa mereka yang merusak lingkungan masuk dalam kategori tindak pidana teroris.

Penegakan hukum yang tebang pilih, tidak berkeadilan, sesungguhnya salah satu faktor, diantara sekian faktor yang dapat memicu munculnya anti-pati kepada pemerintah, dan dalam skala tertentu dapat memicu para korban untuk melalukan tindak kekerasan.

Dalam pada itu, pemerintah juga seringkali sadar atau tidak sadar menyebar ketakutan di masyarakat, menimbulkan was-was yang luas di masyarakat. Misalnya, mengumumkan akan mengimpor beras, garam disaat petani/petambak panen. Pengumuman seperti itu memicu kejengkelan di kalangan petani, serta menimbulkan rasa was-was yang bernuansa teror.

Penggusuran, perampasan lahan atau tanah ulayat para masyarakat adat, juga telah banyak menimbulkan teror yang berdampak luas. Puluhan kasus penggusuran paksa dilakukan aparat pemerintah, tanpa memperdulikan aspirasi masyarakat. Produk perundang-undangan, yang dapat diprediksi akan mempertajam ketimpangan sosial, kaya dan miskin juga seringkali memicu teror, yang membuahkan aksi-aksi demonstrasi yang luas. Semua itu sesungguhnya bentuk-bentuk terorisme, selain kekerasan yang bernuansa agama, yang jadi fokus selama ini.

Menurut Alquran, kunci produktifitas itu adalah hati yang tenang. Hati yang tenang itu adalah anugerah dari Allah bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي أَنزلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (4)

Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). (QS. Al-Fath ayat 4).

Dengan hati yang tenang itulah seseorang dapat menjalani kehidupannya secara produktif, berkualitas. Dan itu amat dibutuhkan bagi kemajuan seseorang, dan dalam skala yang luas bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Karena itu, sedapat mungkin pemerintah benar-benar memberikan perhatian, agar suasana dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan bernegara, kedamaian dan ketertiban memperoleh perhatian serius untuk senantiasa di jaga. Jangan sebaliknya, pemerintah dan aparatnya, tidak pernah membuat warga tenang, karena berbagai kebijakan yang menggelisahkan masyarakat. Tentu saja tanggungjawab menciptakan lingkungan yang tenang, bukan sepenuhnya beban pemerintah, tapi beban seluruh lapisan masyarakat. Hanya saja, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah dan aparatnya untuk terdepan dalam memberikan keteladanan.

Hati yang tenang, akan menyebabkan jiwa seseorang menjadi tenang. Jiwa yang tenang itu, hanya terdapat pada mereka yang senantiasa mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah, jiwa menjadi tenang.

Karena itu, para pemimpin, pejabat, aparat pemerintah, mestilah harus senantiasa berusaha membuat hati dan jiwa mereka setenang mungkin dengan memperbanyak dzikr kepada Allah. Jangan grasak-grusuk. Grasak-grusuk pemerintah, aparat pemerintah itu nampak sekali akhir-akhir ini. Dan umumnya masalahnya dari pemerintah sendiri. Misalnya grasak-grusuk dalam urusan KLB Partai Demokrat; grasak-grusuk dalam urusan impor; grasak-grusuk dalam urusan persidangan online atau ofline dari HRS; grasak-grusuk dalam urusan menyimpulkan pelaku teror dan lain-lain. Semua itu menunjukkan, pemerintah dan aparatnya tidak memiliki jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah). Padahal hanya jiwa yang tenang yang akan dipanggil masuk sorga.

Para pelaku teroris, adalah mereka yang jiwanya tidak tenang. Siapapun pelakunya, pasti jiwanya tidak tenang, hidupnya penuh derita, dan sudah barang tentu mereka tidak termasuk oleh ayat pada surah al-fath diatas.

Demikianlah catatan ini kami tulis, semoga memberi manfaat bagi para pembaca, dan diri pribadi kami.

Kepada Allah kita semua berasal, dan kepada-Nya kita semua akan kembali.

Depok, Kamis 1 April 2021

Oleh : Hasanuddin, MSi
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini