Teliti dalam Membaca Teks

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Rudi Ahmad Suryadi (Dosen)

Informasi yang diterima pasti sangat beragam. Apalagi bila informasi tersebut berhubungan dengan keagamaan dan politik. Dua hal ini hingga hari ini banyak diperbincangkan dan terkadang menampilkan sisi sensitivitas. Tak hanya pada perbedaan pemikiran, pengkutuban pemikiran pada satu pemahaman keagamaan terkadang dapat menggiring orang untuk “dipaksa” agar menuruti apa yang dimaksud oleh penulisnya.

Teks merupakan hasil dari gagasan. Gagasan berasal dari daya baca, telaah, dan sudut pandang. Ragam teks menjadi ragam gagasan. Ragam gagasan menjadi ragam sudut pandang. Membaca tidak utuh, menyebabkan salah dalam makna yang terkandung teks.

Pembaca perlu pula memahami teks ini ada dalam perbincangan apa. Sebab, latar narasi biasanya menentukan fokus dan maksud teks disajikan. Karenanya, sudut pandang dan teori inti yang terkadang harus dipahami benar sebagai latar memahami teks seutuhnya. Jangan lupa pula, gaya tulisan beragam pula dalam setiap narasi.

Baca Utuh Setiap Teks
Teks berupa kalimat. Kalimat berupa kata. Kata adalah rangkaian huruf yang punya makna. Teks pasti punya makna. Tak sekedar bunyi ujaran. Jalinan teks pasti menyuguhkan makna bagi pembaca. Informasi yang utuh diperoleh dari kesadaran pembaca untuk fokus pada setiap jalinan huruf, kata, dan kalimat. Membaca dari awal sampai akhir menjadi kunci. Menelaah judul secara mendalam menjadi pembuka untuk memahami apa sebenarnya maksud tulisan. Atau mungkin titik dan koma, harus disadari untuk dibaca. Penempatan titik dan koma akan menghasilkan makna yang berbeda. Kalimat utama dapat diperoleh dari pemilihan notasi tanda baca ini.

Ya, memang perlu keseriusan dalam membaca teks. Tak hanya sekedar dibaca atau bahkan disebar. Keutuhan membaca akan menghindari salah tafsir pada apa yang dikehendaki oleh penulis. Ya, minimal ada sudut lain yang bisa dipahami.

Apabila berguna untuk disebar atau maslahat, tak salah disebarkan.
Tak kalah penting, pembaca harus memahami teks ini berada pada ruang lingkup kajian tertentu. Setiap pengetahuan punya ciri khas tersendiri. Begitu pun, teks ini ditulis dalam gaya apa, narasi, dekripsi, persuasi, atau eksposisi. Sebab, setiap penulisan punya gaya tersendiri. Teks berupa penggambaran pada satu objek secara jelas biasanya menggunakan corak deskriptif.

Mendorong pembaca untuk melakukan sesuatu, biasanya menggunakan gaya persuasif. Gaya seperti ini biasanya yang dapat membius orang untuk berpikiran layaknya pemahaman penulis.
Membaca utuh teks menjadi kewajiban pembaca. Agar apa yang dipahami menjadi sesuai dengan apa yang dikehendaki penulis. Tidak langsung menyebar informasi yang tidak utuh menjadi keharusan. Menahan diri untuk tidak menyebar informasi tidak utuh atau bahkan hoaks menjadi gerbang untuk stabilitas sosial keagamaan.
Dalam dunia keagamaan, sering ditemukan ikhtilaf.

Pernyataan ikhtilaf jangan diperuncing seolah satu pendapat dianggap paling benar di antara pendapat yang lain. Sebab, yang paling tahu ikhtilaf adalah ulama/pakar yang paham bahwa itu ikhtilaf dan apa yang dijadikan titik perbedaannya.

Sebagai orang yang tidak tahu mendetail mengapa ikhtilaf itu muncul, selayaknya tidak mengutubkan satu pemikiran ikhtilaf untuk menyerang pendapat ikhtilaf lainnya. Hendaknya ia pahami perbedaan itu muncul dan dijadikan khazanah dalam pemikiran.

Cari Penjelasan Lain
Isi sebuah teks ada yang langsung dapat dipahami, juga ada yang perlu penjelasan lain. Bahkan, bila ada teks yang menyudutkan satu pihak atau objek, keberimbangan informasi perlu ditegakkan. Agar dapat dipahami, sebagai pembaca yang cerdas, mungkin perlu membuka jendela lain untuk pengetahuan yang mendukung pada apa yang dibaca. Bacaan menjadi lebih luas dan memperoleh pemahaman yang cukup utuh dari ragam sudut pandang yang sama dengan penjelasan berbeda atau dari sudut pandang berbeda dengan fokus objek yang sama.

Mencari informasi lain penting untuk memperkaya khazanah yang dibaca. Ini bukan berarti hanya milik peneliti atau pemikir. Pembaca yang cerdas pun dapat melakukannya.

Alih alih bila teks tersebut memarginalkan personal sejatinya ini bukan informasi yang layak dikonsumsi. Sebab, membaca bukan sekedar tahu apa yang dibaca. Tapi membaca diarahkan agar memiliki pertimbangan yang matang terhadap makna yang dibaca, juga diproyeksikan dalam sikap yang baik. Ini sejalan dengan perkembangan dunia literasi hari ini. Nuansa SARA, marjinalisasi, juga ujaran kebencian, harus diwaspadai atau bahkan dihindari. Memang, tidak bisa dipungkiri penyebaran informasi seperti ini.

Namun, pembacaan berita seperti ini akan berpotensi pada konflik sosial, dan ini yang diupayakan tidak terjadi, meskipun kenyataannya pasti terjadi.

Sebagai pembaca yang baik, sisi etika penyebaran isu, mesti diteliti ulang benar atau tidaknya. Sekalipun benar, isu tersebut jangan disebar sebab akan menimbulkan kekacauan. Bukankah kejelekan tidak mesti disebarkan? Hiasa dunia literasi kita dengan bahan yang positif dan maslahat. Bahkan, penuhi dengan nuansa ilmu, bukan sekedar informatif belaka. Kemajuan masyarakat berawal dari narasi literasi yang sehat, bukan dipenuhi dengan ujaran yang mendorong kebencian dan kebohongan.

Wallahu A’lam.

- Advertisement -

Berita Terkini