Spirit Hari Santri Nasional, Sejarah Santri & Pesantren Di Cianjur

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Hari Santri Nasional ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Pada 22 Oktober 1945 oleh para santri dan ulama pondok pesantren dari berbagai penjuru Indonesia yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari serangan penjajah.

“Happy Santri Day 2021. Becoming a santri is an effort to become a real human being and imitate the Prophet Muhammad SAW”

Cianjur identik dengan slogan Ngaos, Mamaos Maenpo-nya yang sudah menasional, selain itu kelestarian tradisi dan budayanya yang sangat luhur menunjukan bahwa cianjur sangat khas dengan kearifan lokalnya, Cianjur Kota Santri bukan hanya slogan belaka namun jauh daripada itu melibatkan berbagai macam dinamika sejarah dari masa kemasanya.

Menelisik sedikit tentang kiprah santri dan pesantren di Kabupaten Cianjur seolah tidak ada habisnya, dengan ragam kebudayaan pesantren yang khas dan memiliki ciri tersendiri menunjukan umat beragama di Cianjur sangat menjungjung tinggi toleransi, hal tersebut dinilai dari dua arus moderasi budaya leluhur tokoh pendahulu kabupaten Cianjur serta sejalan dengan karakter dan sikap masyarakat yang sopan, santun, dan hidup rukun dengan akulturasi budaya islami yang diakulturasikan melalui budaya ngaos (atau proses santri dalam menimba ilmu ke-agamaan islam dipesantren) yang menjadikan tradisi subaltern of knowladge tercipta membentuk watak santri sebagai sosok yang arif dan bijaksana.

Literasi dan investasi dalam pendidikan maka menjadi penunjang apalagi tentang pentingnya memperhatikan santri dan pendidikan pesantren menjadi hal yang krusial di Cianjur, dibelahan bumi manapun, pendidikan adalah aspek yang terpenting dalam pembangunan sumber daya manusia yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya.

Di negara kita, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam pembukaannya menekankan perlunya upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang kemudian dicantumkan dalam pasal 31 UUD 1945 yang menekankan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran, sehingga sehingga pendidikan pesantrenpun merupakan upaya pengamalan dari Pembukaan Undang-undang tersebut yang diwariskan dari para ulama terdahulu dan para tokoh pesantren pasca kemerdekaan dan hal itu merupakan tanggung jawab yang patut dibebankan kepada Pemerintah apabila ada masyarakat Cianjur yang tidak mendapatkan pengajaran khususnya umat islam yang perlu mendapatkan pendidikan kepesantrenan untuk menunjukan betapa berhasilnya ulama Nusantara yang juga terdapat Tokoh Ulama sosok pewaris para nabi yang mulia serta selalu ikhlas dalam menyebarkan ilmu serta pengetahuannya.

Di Kabupaten Cianjur sendiri, seperti halnya yang kita ketahui tahun 1894 berdiri Pesantren Darul Falah Jambudipa Cianjur dan Tahun 1897 berdiri Pesantren Kandang Sapi Cianjur merupakan pesantren tertua dan memiliki kiprah kebangsaan di Cianjur.

Kesepakatan Nasional antara UUD 1945  pasal 31 diatas menjadikan point of posh untuk menghadirkan pendidikan pesanteen yang akan menjadi ciri khas atau latar belakang bagi siapapun pemimpin dan atau pemerintah Kabupaten Cianjur kedepan karena melalui RUU Pesantren yang masih dalam tahap penggojlogan antara DPR dan Pemerintah pusat tersebut telah menjadi kekuatan pendorong bagi stek holder dan masyarakat Cianjur untuk melaksanakan suatu gerakan nasional wajib belajar sembilan tahun dan gerakan “Ayo Mondok” melalui Kemenag pusat.

Cianjur sendiri merupakan salah-satu daerah di Priangan yang banyak menelurkan cikal bakal ulama-ulama besar di jawa barat, sebut saja Mama Ajengan KH Ahmad Syuja’i Ciharashas (selajutnya Mama Ciharashas), Cianjur, Jawa Barat, kurang mendapat perhatian dalam sejarah NU. Sementara ia, melalui pesantrennya, adalah pemasok kiai-kiai yang menjadi pengurus NU di Priangan Barat.
(dikutip dari Media NU Online) Mama Ciharashas lahir di Kampung Tugu, Desa Pasirhalang, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi 15 Juni 1910 M. Ia merupakan putra dari pasangan KH Gojali Singapraja dan Ny. Hj. Hafsah. Pendidikan formal Mama Ciharashas hingga sekolah desa dan Sekolah Vervolg (sekolah Belanda) pada 1926-1927. Pendidikan selanjutnya ia dapatkan di berbagai pondok pesantren.

Beberapa pesantren yang berguru Mama Ciharashas adalah Pesantren Sumursari Garut dari tahun 1927-1928, kemudian nyantri ke Pesantren Gentur yang diasuh KH Mama Ajengan Ahmad Syatibi (Mama Kaler) dan Mama Ajengan KH Ahmad Kurtubi (Mama Kidul) mulai tahun 1929-1938.

Kemudian ia berguru ke KH Raden Husen (Mama Ciajag) bin KH Ahyad Cianjur, KH DJunaidi Tangerang, juga untuk para habib, diajak Habib Ali Al-Attas, Bungur, Cikini, Jakarta, Habib Muhammad Al-Haddad, Tegal, Jawa Tengah, Habib Syekh bin Salim Al-Attas.

Begitu pula setelah Mama Ciharashas mendirikan Pesantren Asy-Syuja’i, banyak dukungan dari masyayikh agar menjadi pengurus Nahdlatul Ulama. Anjuran itu didukung Habib Muhammad Al-Haddad, Tegal, Jawa Tengah, Habib Syekh bin Salim Al-Attas, Sukabumi, dan Al-Habib Utsman Al-Idrus, Bandung.

“Ketika Habib Utsman Al-Idrus, melaksanakan sebagai Rais Syuriah PWNU Provinsi Jawa Barat, dengan pendirian yang teguh, dilandasi ilmu agama yang kuat dan mendalam, serta dirancang oleh masyayikh, maka dengan keputusan bulat, Mama Ciharashas menjadi Pengurus PCNU Kabupaten Cianjur,” ungkap buku yang diterbitkan dalam kerangka Haul Mama Ciharashas pada 1434/2013.

Kemudian Mama Ciharashas diangkat sebagai Wakil Rais Syuriah PWNU Provinsi Jawa Barat, hingga akhir hayatnya pada 20 Dzulqadah 1403 H atau 28 Agustus 1983 M.

Oleh: Fardan Abdul Basith M.Pd
Wakil Sekretaris GP Ansor Cianjur

- Advertisement -

Berita Terkini