Hakim : Peraturan Bupati Sah Secara Hukum Sebelum Dibatalkan, Nawal Tidak Hadir

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Sidang kasus dugaan pencemaran nama baik Nawal Lubis yang merupakan Istri Gubernur Sumut Edy Rahmayadi kembali digelar dengan terdakwa Ismail Marzuki di ruangan Cakra 8 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Selasa (9/8/2022). Ismail Marzuki yang juga Pemimpin Umum dan Penanggungjawab mudanews.com.

Nawal Lubis merasa tercemar nama baiknya di akun YouTube dan berita mudanews.com terkait aksi solidaritas penyelamatan Benteng Putri Hijau yang dilakukan Ismail Marzuki.

Dalam sidang tersebut, Nawal Lubis tidak bisa hadir dikarena ada tamu.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmi Syafrina memberitahukan kepada Ketua Majelis Hakim Imanuel Tarigan bahwa Nawal Lubis tidak bisa hadir. Sidang itu memeriksa para saksi.

Hakim ketua mempertanyakan kepada JPU saksi mana lagi yang belum diperiksa. Ada dua saksi yang belum diperiksa.

“Ahli Cagar Budaya dan saksi pelapor (Nawal Lubis-red),” kata JPU.

JPU sudah memanggil Nawal Lubis untuk menghadiri sidang. “Sudah kami panggil Pak, hari ini beliau lagi menerima tamu dari kantor Gubernur sehingga belum bisa,” kata JPU dihadapan Majelis Hakim.

“Tapi ini, saya perintahkan Minggu depan harus kita periksa, kita hadirkan, karena terakhir, kemarin kita yang lain dulu (saksi-red), sambil dipanggil,” kata Hakim Ketua Imanuel Tarigan. “Siap Majelis,” jawab JPU.

Selain saksi ahli Cagar Budaya, masih ada saksi ahli Digital Forensik dari Mabes Polri, Imanuel meminta JPU mengadirkan saksi pelapor Nawal Lubis untuk hadir secara bersama sebagai saksi.

Hakim Peraturan Bupati
Terdakwa, Ismail Marzuki didampingi Penasihat Hukumnya Partahi Rajagukguk, Saksi Ahli Cagar Budaya Dr Ketut Wiradnyana MSi saat sidang di Ruang Cakra 8 PN Medan (Foto: mudanews.com/Arda)

Saksi Ahli Cagar Budaya Dr Ketut Wiradnyana MSi menyerahkan surat tugas dan Curriculum Vitae kepada Hakim Ketua Imanuel Tarigan. Sebelum memberikan pendapat, Saksi Ahli diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh Hakim. Ketut bersumpah secara beragama Hindu.

“Ahli Cagar Budaya, saya mau bertanya terlebih dahulu, pemahaman ahli definisi Cagar Budaya itu seperti apa?” tanya Hakim.

“Memahami seluruh aspek-aspek berkaitan dengan Cagar Budaya,” jawah Ahli Cagar Budaya.

“Yang dimasuk dengan Cagar Budaya?” tanya Hakim.

“Cagar budaya adalah objek arkeologis, baik itu benda, bangunan, struktur, situs maupun kawasan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya, jadi ada proses penetapannya,” jawab Ahli.

“Yang menetapkan suatu objek itu menjadi Cagar Budaya, siapa itu pak?” tanya Hakim Ketua.

“Bisa Bupati atau Wali Kota, Gubernur, Menteri, tergantung peringkatnya dan itu atas rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya harus mendapatkan sertifikasi,” jawab Ahli.

“Adanya dimana itu Tim Ahli Cagar Budaya?” tanya Hakim. “Di Kabupaten ada, di Provinsi ada,” jawab Ahli.

“Benteng Putri Hijau di kawasan Deli Serdang, Bapak tau itu menjadi Cagar Budaya?” tanya Hakim. “Tau, saya salah satu tim yang menetapkan sebagai Cagar Budaya,” jawab Ahli.

Hakim Peraturan Bupati Sah
Terdakwa, Ismail Marzuki didampingi Penasihat Hukumnya Partahi Rajagukguk, Saksi Ahli Cagar Budaya Dr Ketut Wiradnyana MSi saat sidang di Ruang Cakra 8 PN Medan (Foto: mudanews.com/Arda)

“Dari sisi mana waktu itu Bapak, Benteng Putri Hijau tadi ditetapkan sebagai Cagar Budaya?” tanya Hakim.

“Dulu tahun 1999, saya penelitian disana di Benteng Putri Hijau, jadi saya Fungsional Peneliti juga. Jadi saya penelitian disana menghasilkan berbagai peninggalan-peninggalan Arkeologis, diantaranya ada Benteng dalam bentuk gundukan yang dibuat dan ada pecahan keramik juga sekitar abad 13, 15, 16, 17 kala itu, ada juga gundukan. Dari sana kita terus berproses. Kemudian pada tahun 2014 ditetapkan itu sebagai Cagar Budaya oleh Bupati Deli Serdang. Tahun 2019 itu dibatalkan, karena tim yang menetapkan, merekomendasikan itu tidak memiliki sertifikat. Kemudian tahun 2020 dibentuk tim lagi, termasuk saya. Tahun 2020 lah ditetapkan sebagai Cagar Budaya hingga saat ini,” jawab Ahli Cagar Budaya.

“Kalau dia sudah menjadi Cagar Budaya, hak-hak apa yang dimiliki Cagar Budaya tadi?” tanya Hakim Ketua.

“Perlindungan secara hukum, kemudian kalau kepemilikan pribadi mendapatkan legalitas, surat bahwa dia memang pemiliknya itu. Kemudian, kalau dia biasanya dalam UU Nomor 11 itu mendapatkan keringanan aja,” jawab Ahli.

“Cagar budaya bisa dikuasai oleh perorangan?” tanya Hakim Imanuel.

“Bisa, harus ditetapkan oleh pemerintah daerah, harus mendaftarkan, harus direkomendasikan oleh timnya bisa dari Pemerintah Kabupaten, siapa saja bisa menjadi tim, asalkan memiliki sertifikasi,” jawab ahli.

“Siapa yang meminta itu Pak, pemerintah daerah atau si pemilik pribadi?” tanya Hakim.

“Kalau pribadi tergantung nilainya, kalau dianggap nilainya begitu penting, itu bisa saja pemerintah,” jawab Ahli.

“Benteng Putri Hijau, dari sisi namanya, dari sisi antropologis, ataupun historisnya, kenapa disebut Benteng Putri Hijau, Bapak tau? tanya Hakim Ketua Imanuel.

Hakim Peraturan Bupati
Saksi Ahli Cagar Budaya Dr Ketut Wiradnyana MSi saat memberikan surat tugas kepada Ketua Majelis Hakim Imanuel Tarigan (Foto: mudanews.com/Arda)

“Lebih dikaitkan dengan keberadaan Pancur Gading itu, ada Pancuran. Nah yang dianggap ada disana itu kan ‘Putri Hijau’, cerita tentang Putri Hijau, sebenarnya tidak hanya ada disini saja, di Aceh juga ada, Kalimantan Timur juga ada sampai ke Thailand pun ada, masyarakat Riau juga ada cerita tentang itu sampai ke Jawa,” jawab Ahli.

“Putri Hijau yang sama?” tanya Hakim. “Konsep tentang itu, bagi saya sama,” jawab Ahli.

“Putri Hijau yang mandi-mandi? tanya Hakim. “Ya gitu lah, boleh sekarang mandi Pak,” jawab Ahli.

“Seingat Bapak, siapa yang punya Benteng Putri Hijau ini, perorangan atau pemerintahan? tanya Majelis Hakim.

“Saya tidak tau persis siapa yang punya, tetapi pada tahun 1999, Benteng sudah hancur, sudah rusak dan sudah ada perumnas-perumnas (perumahan-red) disana,” jawab Ahli.

“Owh begitu, lalu, bagaimana cara mempertahankan situs Cagar Budaya ini?” tanya Hakim.

“Yang ada saja, jadi tinggalan gundukan Benteng, tanah itu yang masih ada, yang kita anggap gunduk, itulah yang kita tetapkan sebagai Cagar Budaya, ada tiga komplek disana,” jawab Ahli.

“Sebelum hari ini, kapan terakhir ahli pernah melihat Cagar Budaya Benteng Putri Hijau? tanya Hakim. “Tahun 2021, waktu penetapan,” jawab Ahli.

“Masih tercaga atau sudah dieksplotasi oleh manusia? tanya Hakim. “Yang ditetapkan itu terjaga,” jawab Ahli.

“Sekelilingnya? tanya Hakim. “Sekelilingnya kita punya zonasi, istilahnya dan itu semua masih terjaga,” jawab Ahli.

“Lalu, kaitan Benteng Putri Hijau tadi dengan spanduk yang ada di Polda, ahli pernah tau, spanduk-spanduk itu, pernah ditunjuk denga penyidik? tanya Hakim.

“Ya, itu gambarnya,” jawab ahli saat JPU menunjukkan gambar.

“Kalau ditanya Ahli sekarang, itu punya kaitannya?” tanya Hakim. “Tidak mengerti yang dimaksud,” jawab Ahli.

“Lalu kaitannya dengan Benteng Putri Hijau dengan spanduk-spanduk itu, dan Pak Ismail Marzuki ini, ada kaitan atau apa yang saudara tau?

Hakim Peraturan Bupati Sah
Saksi Ahli Cagar Budaya Dr Ketut Wiradnyana MSi ketika memberikan keterangan (Foto: mudanews.com/

“Saya tidak ada mengerti, mana bagian yang dirusak, karena ketika Tahun 1999, kita melakukan penelitian memang Benteng itu sudah sebagian rusak dan itu belum ditetapkan. Kita menetapkan dalam konteks bahwa ini harus diselamatkan, ini model yang sangat mungkin untuk teknologi, kesejaraan, ilmu pengetahuan, ini bagian yang sangat penting diselamatkan. Nah yang tersisa ini lah, yang kita selamatkan dan kita  tetapkan sebagai Cagar Budaya,” jawab Ahli.

Hakim ketua mempersilahkan JPU memberikan pertanyaan tambahan kepada Ahli Cagar Budaya. “Ahli tadi menyatakan tadi bahwa disitus sekelilingnya itu sudah ada tiga komplek perumahan?” tanya JPU.

“Saya tidak hapal, tapi itu sudah perumahan-perumahan masyarakat dan perumahan umum, perumnas,” jawab ahli.

“Atau adakah selain perumnas, apa ada tempati secara pribadi yang telah ditetapkan tersebut?” tanya JPU.

“Kalau daerah yang sudah ditetap Cagar Budaya, gak ada yang rusak, kalau umpamanya diluar itu, sudah memang dari dulunya rusak,” jawab Ahli.

“Tapi memang terhadap Cagar Budaya yang sudah dilindungi dan ditetapkan tadi, tidak boleh dilakukan perusakan,” sambung Hakim Ketua.

“Tidak boleh, ada UU Nomor 101 berkaitan dengan 66-70an ada pelarang untuk perusakan, mengalihkan, memindahkan, kemudian ada UU Nomor 101 itu, punishment (hukuman-red),” jawab Ahli.

“Pertanyaan terakhir, begini ahli, dapatkan sebuah Cagar Budaya dihilangkan status Cagar Budayanya? tanya Ahli. “Dapat,” kata Ahli.

“Caranya?” tanya Hakim. “Kalau dia terbakar musnah,” jawab Ahli.

Ketua Majelis Hakim mempersilahkan terkdakwa Ismail Marzuki melalui penasihat hukum, Partahi Rajagukguk SH, M. Khairizal SH, dan Darwin Nababan SH dari kantor penasihat hukum Save Journalist Medan dan rekan bertanya.

“Saudara saksi, tadi saudara saksi bilang tim Ahli Cagar Budaya, coba jelaskan mengenai Peraturan Bupati Nomor 223 Tahun 2020,” tanya Partahi Rajagukguk SH.

“Peraturan Bupati, saya tidak paham,” jawab Ahli. “Tapi, disini saksi Ahli berdasarkan Peraturan Bupati,” kata Partahi.

“Kalau penetapan Cagar Budaya oleh Bupati Deli Serdang, ya paham,” jawab Ahli.

“Mulai kapan itu?” tanya Partahi.

“Kalau Benteng Putri Hijau, untuk 2014 ditetapkan, kemudian 2019 dibatalkan, itu yang tim Ahli Cagar Budayanya tidak bersertifikasi. Dalam UU Nomor 11 Tahun 2010, Cagar Budaya itu wajib direkomendasikan oleh Tim Ahli Cagar Budaya yang bersertifikasi. Nah pada tahun 2020 ditetapkanlah, karenakan sudah dibatalkan, dibentuk lagi Tim Ahli Cagar Budaya yang sudah bersertifikasi untuk menetapkan, tahun 2020 itu, Benteng Putri Hijau sebagai Cagar Budaya,” jawab Ahli.

“Tau gak Ahli, Peraturan Bupati Nomor 1863 tahun 2014,” tanya Partahi. “Saya gak tahu,” jawab Ahli.

“Disitu anda sebagai Tim Ahli Cagar Budaya,” kata Partahi. “Belum ada, saya belum bersertifikasi disitu,” jawab Ahli.

“Karena disini ada Peraturan Bupati Tahun 2014 dan saudara saksi ahli ini sebagai salah satu timnya,” kata Partahi.

“Gimana itu ahli, benar itu?” tanya Hakim. “Saya tidak pernah menetapkan itu 2014, tim penetapan itu,” jawab Ahli.

“Tunjukkan aja Pak, mana dia yang nama beliau ini ada,” tanya Hakim Ketua kepada Partahi, Panasihat Hukum Ismail.

“Begini majelis, di tahun 2014, salah seorang menggugat Cagar Budaya, itu ada nama beliau itu,” kata Partahi.

“Kalau Bapak ini lupa, kita saling mengingatkan,” sambung Hakim.

“Masuk 2014 itu penetapan Cagar Budaya, di PTUN kan, karen kita belum usul itu semua, bukan sebagai tim ahli Cagar Budaya yang punya sertifikat, saya tidak ikut menetapkan disana dan itu dibatalkan di tahun 2019, kenapa dibatalkan, karena tidak bersertifikasi, harus di ulang lagi di tahun 2020, disanalah saya menetapkan dan sudah bersertifikasi, timnya pun berbeda,” jawab Ahli.

“Nanti saya berikan Majelis keputusan yang sudah di PTUN kan Majelis,” kata Partahi.

“Tunjukkan dulu Pak, kita tidak bisa asal bicaranya aja Pak, karena beliau ini sama sekali tidak mengetahui sama sekali hal ini, maka tunjukkan buktinya,” kata Majelis Hakim.

“Kalau begitu, pertanyaan itu tidak bisa dijawab Pak, tanyakan yang lain saja dulu Pak,” kata Majeli Hakim.

“Berarti Ahli tidak mengetahui ada seseorang yang menggugat?” tanya Partahi.

“Tidak pernah terlibat dalam kasus yang seperti ini, kita tahu mendengar, tapi tidak terlibat,” jawab Ahli.

“Jadi sehingga Ahli mengacu pada Nomor 20022-20023,” tanya Partahi.

“Tentang apa? tanya Ahli. “Tentang Penetapan,” kata Partahi.

“Jadi sudah saya jelaskan, pada tahun 2019, tahun 2020 kemudian ditetapkan lah kembali karena sudah dibatalkan,” jawab Ahli.

“Tentang apakah gugatan PTUN, Ahli tidak tahu, bahkan ahli bukan salah seorang yang merekomendasikan agar tahun 2014 Benteng Putri Hijau menjadi Cagar Budaya, tapi ada yang merekomendasikan itu, tapi sudah ditetapkan, kemudian di cabut,” lanjut Majelis Hakim.

“Kalau pun, kami ada disana, lebih sebagai peneliti, bukan sebagai Ahli,” kata Ahli.

“Ahli, pada tahun 2014 pernah ditetapkan Cagar Budaya, namun ahli tidak bersertifikasi, artinya apakah dengan tidak bersertifikasi yang menetapkan sebagai Cagar Budaya , apakah sah itu menjadi Cagar Budaya?” tanya JPU.

“Makanya tidak sah, dibatalkan, dia disebut Cagar Budaya, kalau sudah ditetapkan oleh rekomendasi Bupati, Wali Kota atau Gubernur atau Menteri oleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya yang bersertifikat,” jawab Ahli.

Hakim Peraturan Bupati Sah
Terdakwa Ismail Marzuki ketika Sidang di PN Medan

Kemudian, Ismail Marzuki bertanya kepada Ahli. “Jadi, sebelum itu dibatalkan, karena penetapan Peraturan Bupati Deli Serdang Tahun 2014, tetap merujuk pada UU Cagar Budaya Tahun 2010, sebelum dibatalkan di tahun 2019, apakah itu berlaku secara Hukum peraturan Bupati itu? tanya Ismail.

“Belum, karena dia sebut Cagar Budaya harus ditetapkan,” jawab Ahli. “Peraturan Bupati itu menetapkan sebagai kawasan Cagar Budaya?” tanya Ismail.

“Tapi, tahun 2014 sudah ditetapkan Pak,” timpal Majelis Hakim.

“Tapi penetapannya keliru 2019,” jawab Ahli. “Maksudnya, sebelum itu, tentunya diakan tetap legal secara hukum Peraturan Bupati itu,” tanya Ismail.

“Iya, sekarang objeknya sendiri sudah rusak,” jawab Ahli. “Yang penting, itu tetap legal secara hukum kan Ahli?” tanya Majelis.

“Yang penting, itu tetap legal secara hukum ahli? tanya Ismail. “Secara hukum iya,” sambung Ahli.

“Secara hukum pasti pak, proses berlaku Cagar Budaya, secara SK, seluruh keputusan administrasi oleh Pejabat Tata Usaha, itu pasti tetap dianggap benar (berlaku-red) sebelum ada pembatalannya, Cagar Budaya, kan tadikan 2014, 2019 ada penetapan Peraturan Bupati yang diarahkan Cagar Budaya. Kemudian, penetapan itu dicabut di 2019, terdakwa bertanya, kalau di tahun 2019 dicabut, bearti antara 2014, sejak ditetapkan tadi sampai tahun 2019, sebelum dicabut berarti, SK nya tetap dong sebagai Cagar Budaya,” kata Hakim.

“Iya,” jawab Ahli. “Pasti lah ya, karena kan itu sifat,” kata Hakim.

“Karena kami menemukan Majelis, ada IMB atas nama pemilik Taman Edukasi Buah Cakra di 2018, belum itu dibatalkan,” ungkap Ismail Marzuki yang juga pengurus MW KAHMI Sumut itu.

“Saya juga sedikit menggambarkan, kalau 2014 sampai 2019 itu, yang ditetapkan oleh Bupati, kan seluruh area, ribuan Hektar itu, jadi seluruh tanah masyarakat yang dikelola tergabung,” jawab Ahli.

“Jadi begitu ya, itu perbedaan antara SK Bupati 2019 dengan 2020, kalau 2020 hanya bagian situs yang ada disitu, ” sambung Hakim.

“Karena konsepnya menyelamatkan, kalau yang itu, seluruh ribuan hektar,” jawab Ahli.

“Owh, jadi, sekarang bisa saja Situs Cagar Budaya di 2014 itu, areanya bisa saja dikuasai orang lain,” kata Hakim.

“Artinya sah secara hukum,” pungkas Ahli. “Iya, okelah,” kata Majelis Hakim.

Akhirnya, Ketua Majelis Hakim Imanuel Tarigan menutup sidang dan dilanjutkan pekan depan. (Arda)

- Advertisement -

Berita Terkini