Sawit Picu Penurunan Daya Beli Masyarakat Sumut, Bansos Jadi Penyelamat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Lebaran telah kita lewati, dan masyarakat mulai kembali berakfitifas normal. Namun lebaran kali ini menyisahkan sejumlah masalah dimana ada temuan melemahnya daya beli masyarakat Sumut, yang tercermin dari belanja masyarakat yang menurun.

“Gambaran yang paling menonjol adalah geliat belanja yang baru mulai terlihat dua pekan sebelum Idul Fitri. Dan penjualan ritel di wilayah Sumut mengalami penurunan di Idul Fitri tahun ini dibandingkan dengan sebelumnya,” kata Pengamat Ekonomi Gunawan Benjamin di Medan, Sumatera Utara, Selasa (26/4/2023).

“Sejumlah pedagang pakaian – alas kaki, makanan dan minuman, maupun barang tahan lama lainnya terkoreksi di tahun ini. Dari studi yang saya lakukan, penurunan daya beli ini dipengaruhi oleh sisi pendapatan yang tak kunjung membaik atau mampu mengimbangi kenaikan harga kebutuhan hidup. Dan bahkan sebagian masyarakat menyatakan pendapatan justru menurun di tahun ini. Ada beberapa temuan utama yang saya rangkum terkait penurunan daya beli masyarakat di tahun ini,” kata Benjamin.

Dijelaskan Benjamin, pertama, penurunan harga sawit menjadi akar dari pelemahan daya beli masyarakat Sumut. Harga CPO yang turun dari kisaran 7.100 ringgit per ton di tahun lalu, menjadi kisaran 3.536 – 4.400 ringgit per ton di tahun 2023 ini, memicu penurunan harga TBS di tingkat petani yang terpangkas sekitar 30% dari level tertingginya. Meskipun ada sejumlah komoditas lain seperti karet, teh dan kopi, tetapi sawit masih menjadi motor penggerak utama daya beli masyarakat di wilayah ini.

Kedua, kata Benjamin, kenaikan laju tekanan inflasi selama tahun 2022 yang masih berlanjut di tahun ini. Memicu kenaikan biaya input produksi pertanian, dan menguras kemampuan belanja masyarakat. Inflasi menggerogoti kemampuan masyarakat untuk memenuhi pengeluarannya. Yang pada akhirnya membuat masyarakat menetapkan skala prioritas pengeluaran, dengan mengurangi atau menghilangkan pengeluaran lainnya.

Ketiga, sambungnya, ada fenomena pengurangan tenaga kerja dan penurunan pendapatan pekerja informal. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada pengurangan jam kerja, pekerja dirumahkan dan bahkan di PHK. Diluar itu, pekerja informal seperti tukang bangunan, tukang becak, penjaga toko, pedagang kaki lima dan asongan, serta pekerja informal lain mengalami penurunan pendapatan yang terjadi sejak pandemi covid 19 terjadi.

“Selain beberapa isu utama pemicu penurunan daya beli tersebut. Upaya pemerintah dalam memberikan bantuan sosial baik dalam bentuk tunai dan bantuan pangan ternyata mampu menjadi bumper untuk menjaga daya beli masyarakat. Salah satu dari temuan saya adalah, banyak pedagang pakaian dan alas kaki yang justru mengalami peningkatan omset hingga mencapai 50% saat banyak masyarakat menerima bansos tunai,” kata Benjamin.

Terlebih pedagang pakaian yang menjajakan dagangannya sangat dekat dengan masyarakat penerima bansos di wilayah yang jauh dari perkotaan. Bansos tersebut mampu menaikkan omset penjualan dalam kurun waktu satu atau dua hari sejak bansos tunai diterima. “Saya berkesimpulan penurunan daya beli masyarakat Sumut tidak bisa dilepaskan dari gangguan ekonomi eksternal (resesi global) yang tengah menghantui perekonomian Sumut,” kata Benjamin mengakhiri. (red)

- Advertisement -

Berita Terkini