Untuk Menghindari Resiko, Masyarakat Harus Paham Redenominasi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Analis Pasar Keuangan Gunawan Benjamin menilai redenominasi yang didengungkan pemerintah untuk masuk program Prolegnas 2020-2024 menjadi kabar baik. Upaya untuk menyederhanakan nilai nominal uang dengan menghapus 3 angka 0 dibelakangnya perlu untuk didorong agar segera terealisasi.

“Saya sudah melakukan kajian redenominasi ini sekitar 10 tahun yang lalu. Namun baru sekarang saya melihat ada titik terang terkait dengan kemungkinan direalisasikannya,” kata Gunawan di Medan, Selasa (7/7/2020).

Gunawan menjelaskan, jadi jika nantinya uang di redenominasi, sosialisasi menjadi kunci keberhasilan proses redenominasi tersebut. Jadi kalau uang 100.000 nantinya di redenominasi menjadi 100, maka misalkan harga beras 10 Kg saat ini harganya 100 ribu. Setelah redenominasi uang 100 itu tadi bisa digunakan untuk membeli beras 10 Kg juga. Hal-hal seperti ini terkesan ringan dan sepele. Tetapi ingat masyarakat perlu diberi penjelasan rinci mengenai hal tersebut.

“Jangan sampai masyarakat berpikiran bahwa uang 100.000 yang sudah di redenominasi menjadi 100, lantas masyarakat berpikir bahwasanya mereka mengalami kerugian. Artinya uang 100.000 yang awalnya bisa membeli beras 1 karung (10 Kg), lantas berubah menjadi 100, yang bila dibelanjakan tidak cukup membeli 1 buah permen,” jelasnya.

Dia mengatakan, ada resiko disitu yang saya kuatirkan adalah jika resiko ini mencuat justru masyarakat bisa dimanfaatkan oleh oknum tertentu. Dan yang paling parah, jika resiko yang saya sebutkan tadi akibat masyarakat yang kurang faham, justru  membuat masyarakat melakukan belanja secara besar-besaran. Artinya sebelum diredenominasi, masyarakat membelanjakan uangnya semua. Yang pada akhirnya memicu lonjakan inflasi.

“Memang harus rinci penjelasannya. Dan yang paling penting, sosialisasi yang dilakukan nantinya harus mampu menjangkau logika orang yang awam dengan redenominasi tersebut. Kesalahpahaman dalam menterjemahkan redenominasi bisa berbuntut pada gangguan makro ekonomi seperti tekanan inflasi yang tinggi,” imbuhnya.

Redenominasi nantinya juga akan membuat mata uang Rupiah seakan menguat tajam. Dari yang saat ini sekitar 14.900 per US Dolar. Lantas akan berubah menjadi 14.9 Rupiah per US Dolar. Ini juga tidak bisa disimpulkan dengan logika awam bahwa Rupiah menguat terhadap US Dolar. Tetapi karena setelah redenominasi Rupiah menjadi lebih ramping terhadap mata uang lainnya.

“Kabar baik dari redenominasi ini adalah, uang Rupiah menjadi lebih simpel baik dari sisi penyebutan maupun dari sisi penulisan. Keuntungannya ada disitu. Dan saya menilai proses sosialisasi harus lebih diutamakan sebelum redenominasi ini benar-benar dijalankan. Agar bisa berhasil,” lanjutnya.

Disisi lain, redenominasi ini nantinya akan membuat cara pandang masyarakat berubah. Sejauh ini, saya secara pribadi kerap mendapatkan pertanyaan terkait bahwa ekonomi stabil adalah mata uangnya tidak bergerak atau angka 0 nya tidak bertambah banyak. Padahal ini hanya sudut pandang dari sisi tertentu saja.

“Sebagai contoh, saya sering mendapatkan pandangan bahwa harga emas 1 gram saat ini sekitar 800 ribuan. Sementara di tahun 1990 emas masih bertengger di level Rp. 20.000/gram. Emas memang mengalami kenaikan disitu. Tetapi yang kerap dilupakan masyarakat bahwa daya beli dari uang tadi tidaklah jauh berbeda antara tahun 1990 dengan yang saat ini,” kata Gunawan.

“Kalau saya mencotohkan begini. Tahun 1990 itu,  gaji seorang pegawai menengah dikisaran 150.000. Sekarang gaji pegawai itu sudah berada di kisaran 6 juta.  Jadi kenaikan harga emas sebanyak 40 kali ternyata juga diimbangi dengan 40 kali kenaikan gaji. Artinya secara nominal bertambah tapi daya belinya sama atau tidak berubah,” ujarnya.

Sama halnya kalau kita membandingkan harga gorengan tahun 90 an. Dimana harga gorengan sekitar 50 rupiah per buah. Saat ini harga gorengan yang paling murah 500 rupiah per buah. Lantas apa bedanya jika kita menghabiskan uang 200 di tahun 90-an dengan uang 2000 saat ini. Toh sama sama bisa beli gorengan 4 buah saja.

“Redenominasi ini membaliknya, kalau sekarang uang kembali dibuat seperti zaman dulu. Namun dengan daya beli yang sama. Jangan diterjemahkan bahwa redenominasi membuat uang itu semakin tak berharga. Saya masih menemukan beberapa komunitas tertentu kerap membandingkan Rupiah sebagai mata uang yang labil, sementara koin emas sebagai mata uang yang stabil. Padahal daya belinya itu tidak berubah. Pemahamannya disini yang perlu diseragamkan,” ujar Gunawan Benjamin. Berita Medan, fahmi

- Advertisement -

Berita Terkini