147 Hektar Lahan Warga Langkat Dikuasai Pengusaha Perkebunan Sawit

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Langkat – Perjuangan Poniran (68) bersama seratusan Kepala Keluarga lainnya untuk mengambil kembali 147 hektar lahan mereka di Dusun VI Harapan Damai, Desa Harapan Maju, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara yang selama lebih kurang 25 tahun dikusai oleh korporasi perkebunan sawit PT Bandar Meriah, hingga kini belum membuahkan hasil.

Hal itu disampaikan Poniran dihadapan Komisi A DPRD Langkat yang hadir disana, untuk menindaklanjuti rapat dengar pendapat (RDP) terkait persoalan tersebut, yang digelar beberapa waktu lalu. “Hingga saat ini, gak ada satupun pihak PT Bandar Meriah yang menemui kami disini, sebagai bentuk itikad baiknya,” ketus Poniran, Rabu (14/4/2021) siang.

147 Hektar Lahan Warga Langkat
Komisi A DPRD Langkat saat meninjau patok TNGL

Sejak tahun 1988, Poniran menambahkan, dirinya bersama seratus warga lainnya menggarap kawasan hutan yang sekarang disebut Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), dan sempat dilarang oleh pihak kehutanan. Tahun 1989, mereka mengajukan pembebasan lahan kepada Bupati Langkat Zulfirman Siregar.

Pada 6 November 1990, Pemkab Langkat mengeluarkan peta denah untuk Poniran dan rekan-rekan, atas permohonan pembebasan lahan bagi masyarakat di tahun sebelumnya. “Saat itu juga, pihak kehutanan sudah mengeluarkan pernyataan, bahwa 147 hektar lahan kami itu sudah keluar dari kawasan TNGL,” beber Poniran mengisahkan.

Di tahun yang sama, seorang pengusaha bernama James Tarigan, mulai membuka lahan yang letaknya bersebelahan dengan lahan masyarakat dan kerap melakukan pembakaran di lahan warga. Pihak James Tarigan kemudian diminta masyarakat untuk jadi ‘bapak angkat’, namun James Tarigan menolaknya, dengan alasan lahan yang dimilikinya masih sedikit.

Kemudian, di akhir tahun 1990, James Tarigan menyepakati perjanjian kerjasama dengan masyarakat untuk mengelola lahan tersebut. Namun sayang, beberapa masyarakat pemilik lahan justru dijadikan buruh harian di atas lahan mereka sendiri, tanpa pernah sedikitpun menerima kompensasi dari perusahaan, yang belakangan diketahui dikelola PT Bandar Meriah.

“Karena tidak pernah mendapatkan kompensasi atas lahan kami yang digunakan PT Bandar Meriah, sejak 2004 lalu kami berjuang untuk merebut hak kami. Bahkan, upah imas tumbang (pembukaan lahan), yang pada 1990 senilai Rp 1.9 Juta hingga saat ini juga belum dibayarkan,” sambungnya.

Bersama masyarakat lainnya, Poniran berharap agar persoalan sengketa lahan mereka dengan PT Bandar Meriah yang sudah berlangsung puluhan tahun itu bisa segera diselesaikan. “Kami berharap kepada Komisi A DPRD Langkat, agar bisa segera menyelesaikan persoalan ini. Kami hanya minta 147 hektar tanah kami, itu aja,” pungkas Ponirin. Berita Langkat, Wahyu

 

- Advertisement -

Berita Terkini