Manifestasi “Adat Se Atorang” Sebagai Landasan Mental Milenial dan Pembangunan Daerah

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Menjadi milenial tak sesederhana menanggapi postingan di facebook dengan jempol yang sekali klik langsung “pas.” Atau diidentikkan dengan generasi yang gemar menganggukan kepala ketika ada slogan yang membawa nama “milenial.”

Kemudian dengan polosnya beranggapan slogan itu adalah lambang kebesaran atau payung raksasa yang siap sedia menampung sekaligus menangkis hujan derita sebagai solusi atas berbagai problem yang dialami generasi milenial. Sama sekali salah. Sebab itu hanya sebuah kata, bukan konkretisasi tindakan secara nyata. Jika masih sebatas kata, harusnya tak perlu menaruh percaya sepenuhnya.

Generasi milenial pun tidak dapat dipandang sebatas generasi yang mahir berkiprah di dunia musik, seni berpuisi, maupun seni kontemporer lainnya. Karena pembatasan tersebut dapat menyangkal potensi-potensi lain, seperti sepakbola, voli, tarian tradisional, dan sebagainya yang sejatinya lebih dekat dengan keseharian masyarakat Tidore.

Sementara itu, ada ruang-ruang tradisi yang tentu memerlukan regenerasi untuk berkembang. Hal ini menjadi problem signifikan bagi masa depan pemuda, khususnya di kota Tidore Kepulauan jika terus-menerus digemborkan dengan citra tentang milenial yang hanya seputar musik, puisi, dan kafe.

Di sisi lain, sepertiga populasi penduduk Indonesia dihuni oleh kaum milenial. Kaum bonus demografi yang digadang-gadang menjadi pemegang masa depan bangsa selanjutnya. Kemungkinan saat ini, sebagian besar telah mencapai usia yang matang. Sesuai dengan pendapat William Strauss dan Neil Howe dalam bukunya “Generations: The History of America’s Future” mengatakan bahwa generasi milenial terdiri dari individu-individu yang lahir antara tahun 1982 dan 2004.

Sederhananya, individu yang mencapai kedewasaan pada transisi abad 20 ke abad 21. Berdasarkan fakta tersebut, dapat diasumsikan bahwa milenial di masa pilkada (pemilihan kepala daerah) menjadi begitu spesial. Menjadi sasaran melalui pendekatan-pendekatan yang familiar dengan gaya hidup mereka. Karena sebagian masih dalam transisi kedewasaan, terminologi “milenial” digunakan sebagai mantra untuk menjala suara.

Selain menunggangi istilah milenial, terdapat celah-celah lain yang dekat dengan kehidupan milenial, yaitu infrastruktur yang bergaya anak muda. Sampai kini, yang kita lihat dari perkembangan Kota Tidore yang paling nyata diberdayakan sekaligus dibiarkan tak berdaya adalah Pantai Tugulufa.

Upaya untuk memoles Tidore agar memiliki sisi yang seksi atau dalam bahasa ibu disebut sebagai “jang foloi” ternyata hanya sepetak pantai dengan warung-warung berjejeran yang menutupi lanskap lautan, jembatan warna-warni, dan tempat ideal membuang sampah plastik. Papan nama Tugulufa memang terpampang, tetapi di malam hari terlihat seperti museum tua yang menawarkan ruang birahi bagi muda-mudi.

Betapa tidak, kegelapan dan suasananya benar-benar mendukung. Bangunannya juga seperti tidak niat dibuat sebagai ikon kota, asal jadi, dan tanggung begitu saja. Oleh sebab itu, dapatkah kita simpulkan bahwa infrastruktur yang asal melambangkan kepemimpinan yang gagal? Entahlah.

Milenial dan infrastruktur yang melekat dengannya merupakan nukleusnya modernisme. Generasi milenial memang diharapkan sebagai generasi yang kreatif, imajinatif, dan inovatif. Sebab dalam proses hidup, mereka diiringi dengan teknologi yang masif. Hal itu juga perlu ditopang dengan infrastruktur yang berarsitektur “kekinian” agar tak terkesan jadul dan ketinggalan zaman.

Akan tetapi, milenial yang berpegang melalui tradisi budaya (identitas/jati diri) “adat se atorang” merupakan milenial yang bersendikan nilai luhur dan kualitas. Karena dengan berpangkal pada aturan adat, kita bisa melebarkan pandangan dunia, mengetahui batas-batas, menjadi lebih toleran dengan perbedaan, dan yang paling penting menjaga kelestarian sekaligus keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Kesadaran tersebut dapat terwujud melalui pendidikan dan kebudayaan yang berbasis “adat se atorang”.

Hal inilah yang sejalan dengan visi yang dicanangkan oleh Salahuddin Adrias & Mujammad Djabir Taha melalui istilah “kekhususan” yang memiliki daya keberanian untuk menawarkan ruang kreasi bagi milenial sekaligus mengembangkannya dengan pembangunan yang menjamin masa depan Kota Tidore. Bukan sekadar label milenial yang disematkan sebagai daya tarik semata menunjukkan bahwa BAGUS berjiwa muda atau infrastruktur setengah jadi melalui janji “jang foloi” yang katanya bakal AMAN, tapi nyatanya malah sebaliknya.

Jadi, dapatkah kita sebut milenial yang berkesadaran “adat se atorang” sebagai milenial garis keras yang tak abal-abal? Atau dalam istilah magisnya; milenial yang SALAMAT? Bisa dan pas-pas saja~

Oleh : Iskandar Maulana (Aktivis)

- Advertisement -

Berita Terkini