Omnibus Law, Perppu dan Judicial Review

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Masih ramai riuh demonstrasi dimana-mana atas penolakan UU “Cilaka” Omnibus Law. Presiden pun sudah memberikan klarifikasi mengenai UU ini di situs media resmi milik negara. Tetap saja masyarakat tidak puas sampai UU ini dibatalkan atau seminimalnya Presiden mengeluarkan Perppu untuk menangkal UU ini.

Tapi, apakah Presiden akan mengeluarkan Perppu atas UU ini? Rasanya sulit berharap. Mengingat UU KPK yang juga pernah ditolak oleh masyarakat dan konstalasi demonstrasi juga terjadi besar-besaran “persis” seperti demo Omnibus Law saat ini.

Perppu menjadi suatu “utopia” yang sebenarnya tak perlu ditunggu oleh masyarakat, apalagi diharapkan “kehadirannya”. Ibaratkan menanti “hujan emas” dari langit yang tentunya sangat tidak mungkin.

Masyarakat dalam perspektif awam sadar betul hal ini. Tapi apa solusi jika Perppu tak kunjung datang? Tentu saja Judicial Review di MK. Lalu apakah ini menjadi solusi akhir? Tentu saja.. Tapi bagi pemerintah. Tentu saja kita belajar dari pengalaman bagaimana kasus dugaan kecurangan Pilpres pernah masuk “arena” MK bahkan hingga dua kali, hasilnya? Nihil alias tetap saja rakyat kalah.

Apakah MK bermasalah hingga tak pernah memenangkan tuntutan rakyat? Analisisnya bisa panjang.

UU Omnibus Law, adalah satu paket Undang-Undang yang sangat kontra keadilan, baik dalam ranah Buruh dan lingkungan. Proses pembuatannya juga terburu-buru, dan bahkan mengabaikan pendapat semua elemen (Baik Ormas, LSM, NU, Muhammadiyah, dll) yang nyatanya menolak UU.

Mengingat UU ini sudah disahkan, rakyat memiliki jalannya sendiri. Untuk terus mengawal UU ini maka diperlukan ketegasan bukan dari DPR lagi, tetapi semua bertumpu pada rakyat. Rakyatlah yang tahu harus berbuat apa. Perppu dan Judicial Review di MK bukanlah solusi yang “manis”. Tetapi “parlemen” jalananlah yang kiranya menetapkan bagaimana UU ini dibatalkan.

Pemerintah saat ini, dinilai benar-benar tak lagi berada di samping rakyat, pemerintah seakan berhadap-hadapan dengan rakyat. Entah siapa yang ingin “disenangkan” oleh pemerintah. Sejatinya pemerintah ada karena rakyat, suara rakyat adalah suara Tuhan, begitulah kira-kira narasi demokrasi idealnya.

Tapi kini rakyat sendiri, eksekutif dan legislatif sedang bersatu untuk menjauhkan legitimasi rakyat atas perundang-undangan yang dibuat, rakyat dibenturkan dengan aparat, dan rakyat dianggap kriminal serta pembuat onar. Hanya karena Omnibus Law. Trias politica tak berjalan lagi sebagaimana fungsi idealnya.

Inilah negeri, yang rakyatnya tak punya ruang lagi untuk menyuarakan aspirasi. Salam.

Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN-SU dan Pegiat Literasi.

- Advertisement -

Berita Terkini