Guru Besar Otak Kecil (GB OCIL)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Prof. Dr. Suteki SH. M. Hum.
Pakar Filsafat Pancasila dan Hukum-Masyarakat.

MUDANEWS.COM – Istilah Guru Besar dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Pasal 1 Butir 3, disebutkan bahwa guru besar atau profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Ada juga definisi lain yang menyatakan bahwa Profesor, disingkat dengan prof, adalah seorang guru senior, dosen dan/atau peneliti yang biasanya dipekerjakan oleh lembaga-lembaga/institusi pendidikan perguruan tinggi atau universitas.

Berkaitan dengan guru besar, terdapat permasalahan terkait pemahaman jabatan ini. Sebagian besar khalayak umum menyebut guru besar seperti yang saya sandang—PROF. DR. SUTEKI, S.H., M.HUM.—- ini sebagai gelar. Guru Besar atau profesor adalah jabatan fungsional, bukan gelar seperti yang dipahami oleh kebanyakan orang selama ini.

Ada kasus menarik yang sempat mencuat pada tahun lalu dalam kasus Amien Rais dan Universitas Gadjah Mada, yakni issue yang berkembang di masyarakat bahwa gelar Guru Besar (Profesor) Amien Rais telah dicabut oleh UGM. Ketua Dewan Guru Besar Besar Universitas Gajah Mada (UGM), Prof. Koentjoro menjelaskan Dewan Guru Besar UGM tidak berhak mencabut jabatan profesor atau guru besar. Jabatan guru besar atau profesor bisa hilang apabila seseorang pensiun atau mengundurkan diri termasuk salah satunya adalah keikutsertaan dalam partai politik.

Beberapa hari ini, cuitan soal guru besar ramai di Twitter, ramai juga di facebook dan grup-grup WA. Hal ini tampaknya gegara debat akademisi Rocky Gerung dengan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Henry Subiakto. Saya kebetulan juga melihat langsung debat itu di acara Dua Sisi TvOne, Kamis (27/8/2020).

Selain Host acara, debat juga diikuti oleh ICW, KSP (Ngabalin), Rocky Gerung serta Kemenkominfo (Profesor Henry Subiakto). Pada awalnya Rocky Gerung tengah membahas temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dana pembiayaan
influencer senilai Rp 90,45 miliar. Hal ini disanggah oleh Ngabalin dan Prof Henry bahwa tidak ada anggaran untuk membayar influencer. Akhirnya saling serang dan masing-masing SISI berusaha untuk defensif. Titik krusial perdebatan ini terletak pada adanya serangan terhadap pribadi dalam perdebatan, misalnya dari percakapan sebagai berikut:

“Supaya orang seperti Rocky ini tahu fakta. Dia hanya bicara secara imajinasi dan teori-teori yang kadang-kadang di kampus saya sudah ketinggalan zaman,” ungkap Henry Subiakto.

“Saya guru besar Universitas Airlangga,” tambahnya. Ucapan profesor itu justru mendapat sindiran dari Rocky Gerung dengan pernyataan:

“Mudah-mudahan otakmu besar juga,” sindir Rocky Gerung.

Lalu ditimpali oleh Prof Henry Subiakto: “Minimal saya profesor beneran, kalau Anda ‘kan belum tentu,” balas Henry.

Dalam khasanah ilmu pengetahuan, sebenarnya dalam suatu perdebatan argumentatif orang dilarang untuk melakukan serangan terhadap pribadi (argumentum ad hominem). Boleh menyerang, tetapi yang diserang adalah logika berpikirnya atau argumentasinya, bukan orangnya, jabatan yang disandang. Istilah yang paling gampang, argumentum ad hominem itu melumpuhkan lawan debat dengan menyerang pribadinya.

Sebenarnya dalam kondisi tertentu, misal dalam hal kampanye pemilu, boleh saja seseorang membuka pribadi seseorang yang dikaitkan dengan visi dan misinya asalkan bukan berupa fitnah. Dalam hal memberikan kesaksian di Pengadilan, sangat mungkin juga terjadi penyerangan terhadap pribadi untuk mengungkap kebenaran. Jadi, sebenarnya kontekslah yang menentukan apakah sebuah bedahan mengenai pribadi itu merupakan sesat pikir argumentum ad hominem atau tidak.

Oleh karena itu yang harus selalu diingat bahwa hanya dalam konteks berargumen
mengenai suatu isu spesifik, serangan terhadap pribadi dengan cara apa pun, tidak boleh dilakukan. Yang harus dilakukan adalah menanggapi argumennya.

Pada kasus Rocky vs Prof Henry tampaknya keduanya secara tidak langsung saling melakukan berargumentasi secara argumentum ad hominem. Keduanya terjebak di area sesat pikir (logical fallacy) ini.

Diawali oleh Prof Henry yang mengatakan: “…Saya Guru Besar Universitas Airlangga…” Pernyataan ini adalah sebuah kepongahan yang patut diduga untuk memberikan isyarat kepada lawan agar memperhitungkan “keilmuan” sang Guru Besar yang oleh Rocky dikatan belum tentu Guru Besar itu punya Otak Besar juga. Terbukti Rocky mematuk juga dengan kata-kata tajamnya: “…mudah-mudahan otakmu besar juga..”. Patukan yang sangat tajam dan berbisa.

Belum selesai suasana logical fallacy dalam debat itu, terbukti sang Guru Besar menimpali dengan kalimat yang mematikan juga: “Minimal saya profesor beneran, kalau Anda ‘kan belum tentu…”. Makin ambyar bukan? Debat semacam ini memang asyik untuk ditonton, tetapi buruk bagi pembelajaran keberadaban dalam berargumentasi apalagi bagi seseorang yang menyandang jabatan fungsional dan jabatan struktural dalam sebuah kementerian atau kelembagaan negara lainnya. Membela diri dan lembaga itu boleh, tetapi tidak harus dengan cara berargumentasi secara sesat melalui argumentum ad hominem.

Saya sebagai guru besar, belum tentu juga mampu berbuat paripurna dalam berargumentasi. Namun demikian, seorang guru besar seharusnya memang memiliki sense of crisis yang besar pula terhadap kondisi bangsa dan negara. Ketika negara dalam keadaan crisis, mestinya seorang guru besar yang menjabat sebagai ahli dalam sebuah kementerian memberikan pencerahan kepada pejabat di atasnya untuk tidak serta merta mengegolkan kegiatan kementerian yang bersifat pemborosan meskipun itu sah menurut hukum anggaran.

Tidak boleh juga mengatakan: “apa urusanmu dengan dana influencer ini…?” seperti yang dikatakan oleh wakil KSP. Apa kata Rocky benar juga, rakyat itu berhak tahu dan meragukan pula penggunaan anggaran negara yang memang sebagian darinya berasal dari rakyat melalui pajak, misalnya. Jadi, menjadi pejabat besar dan guru besar itu memang seharusnya punya otak besar, bukan sebaliknya hanya memiliki otak kecil (ocil). Dan mestinya pejabat besar dan guru besar malu jika justru ada pejabat kecil dan guru kecil mempunyai otak besar.

Guru Besar berotak kecil tampaknya akan terus ada, kemarin, kini dan coming soon ketika sang gubes tidak memiliki sense of crisis karena sudah merasa enak di zona nyaman (comfort zone) dengan cara menikmati jabatan yang disandangnya. Jika demikian, jangan berharap sang Guru Besar akan menjadi Guru Bangsa bahkan ia akan menjadi Guru Besar Hanya Nama (GBHN) dengan Otak Kecil yang tak akan membantunya menjadi the agent of change baik dalam keilmuan di universitasnya, ataupun di kehidupan politik bangsanya.

Akhirnya saya perlu tanyakan: “benarkah jika seorang Guru Besar itu keluar dari kampusnya, dan atau bergabung dengan rezim penguasa cenderung “lemah analisisnya”, diksinya tidak tajam, lidahnya kelu jika bicara kebenaran dan keadilan, dan juga mudah “baperan” sehingga mudah “ngegas”? Mungkinkah memang otak Sang Guru Besar telah berubah menjadi Otak Kecil (Ocil)? Mudah-mudahan tidak! Tabik.

 

- Advertisement -

Berita Terkini