Simpulan FGD Rumah Konstituen: Selamatkan Pilkada Medan !

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Medan – Rumah Konstituen menggelar FDG bertajuk “Pilkada Kota Medan dalam Perbincangan Dunia Maya” sebagai bagian dari riset percakapan media sosial terkait isu-isu Pilkada di enam Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara peserta Pilkada Serentak tahun 2020. FGD yang dilaksanakan di Kedai Kopi Kombur, Rabu (06/11/2019) itu secara khusus menampilkan hasil monitoring Rumah Konstituen terkait isu-isu Pilkada untuk daerah Kota Medan.

Direktur Eksekutif Rumah Konstituen, Eko Marhaendy, menjelaskan, monitoring di enam daerah peserta Pilkada serentak 2020 dilakukan sejak tanggal 20 September hingga tanggal 20 Oktober 2019. Pemilihan rentang waktu didasarakan pada alasan untuk mengukur atensi publik terhadap isu-isu Pilkada, khususnya Kota Medan.

“Kalau kita buat pada Januari tahun depan menjadi tidak menarik, karena sudah memasuki momentumnya,” jelasnya.

Enam Kabupaten/Kota dimaksud adalah: Kota Medan, Serdang Bedagai, Simalungun, Labuhanbatu, Labuhanbatu Utara, dan Kota Sibolga.

“Untuk tahap awal ini kita melakukan FGD terkait isu-isu Pilkada Kota Medan, selanjutnya akan menyusul FGD di lima Kabupaten/Kota lainnya yang akan kita laksanakan di daerah masing-masing,” tambah Eko.

Terlibat sebagai narasumber kunci pada FGD tersebut, antara lain: Sugiat Santoso (Politisi Partai Gerindra), Sutarto (Sekretaris PDIP Sumut), Edi Saputra (Anggota DPRD Kota Medan Fraksi PAN), dan Faisal Riza (Pengamat Politik UIN Sumut). Sebelum mendapatkan tanggapan dari para narasumber, Eko lebih dulu memaparkan hasil monitoring Rumah Konstituen terkait isu-isu Pilkada Kota Medan.

Dalam pantauan Rumah Konstituen sepanjang masa monitoring, Pilkada Kota Medan belum cukup ramai dibincangkan. Kondisi itu menunjukkan kurangnya atensi publik (dalam hal ini Netizen) terkait Pilkada Kota Medan. Meski demikian, eskalasi percakapan tentang Pilkada Kota Medan menunjukkan kenaikan signifikan sejak tanggal 16 Oktober 2019, pencariannya berdasarkan google trends hampir berbanding lurus dengan kueri OTT KPK terhadap Wali Kota Medan.

Menanggapi rilis monitoring yang dipaparkan Eko, Sekretaris PDIP Sumatera Utara, Sutarto, menyambut baik program literasi politik yang dijalankan Rumah Konstituen. Ia menambahkan bahwa PDIP tentunya tetap menjadikan percakapan dunia maya sebagai salah satu variabel untuk mengambil keputusan. Namun demikian, Sutarto sempat mempertanyakan tidak masuknya nama Akhyar Nasution sebagai salah satu figur yang dibincangkan dalam rilis Rumah Konstituen.

Untuk diketahui, Rumah Konstituen hanya menampilkan tiga nama teratas yang terjaring dalam percakapan di dunia maya terkait isu Pilkada Medan, baik melalui media sosial maupun media daring. Tiga nama tersebut adalah: Dahnil Anzar Simanjuntak, Bobby Nasution, dan Ihwan Ritonga.

“Sebenarnya ada 19 nama, termasuk Eldin sendiri, juga Akhyar Nasution. Tapi kami hanya menampilkan tiga nama teratas saja yang terjaring sepanjang masa monitoring,” jelas Eko menjawab Sutarto.

Edi Saputra dalam tanggapannya menegaskan, ada tujuh permasalahan yang perlu menjadi perhatian khususnya bagi Rumah Konstituen terkait Pilkada, yaitu: Pemilih yang tidak terdaftar di DPT, Formulir C6 yang tidak tersebar, pemilih ganda, Ghost Voter, kecurangan logistik, praktik politik uang, dan petugas yang tidak netral. Bagi Edi, tujuh permasalahan inilah yang sepatutnya digulirkan ke publik, karena kualitas figur tidak akan pernah terukur.

Sementara itu, Sugiat Santoso mengapresiasi program monitoring yang dilakukan Rumah Konstituen. Ia juga menyinggung minimnya partisipasi pemilih pada Pilkada Kota Medan tahun 2015 serta OTT Wali Kota Medan baru-baru ini harus dijadikan sebagai landasan untuk menyelamatkan demokrasi di Kota Medan.

“Mungkin inilah satu-satunya Kota yang memecah rekor sebagai “hatrick” di mana walikotanya tiga kali berturut-turut masuk penjara,” pungkas Sugiat.

Akademisi dan pengamat politik dari UIN Sumut, Faisal Riza, memberikan pandangan yang lebih teoretis mengenai media sosial sebagai instrumen penyebaran isu. Ia mengangkat sebuah disertasi tentang “Clicktivism” sebagai budaya baru masyarakat. Menurutnya, prilaku di media sosial tidak selalu sama hasilnya dengan dunia yang sebenarnya. Riza kemudian mengkritik hasil monitoring Rumah Konstituen yang cenderung berbicara figur ketimbang isu-isu strategis. Berita Medan, red

- Advertisement -

Berita Terkini