Krisis Kepercayaan Jauh Lebih Bahaya Ketimbang Krisis Ekonomi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh: Agung Wibawanto

Sekelompok mahasiswa mulai tampak turun ke jalan pada Rabu (7/2) di Jakarta. Mereka mengaku berasal dari berbagai kampus menyusuri jalan protokol dengan berjalan kaki. Mahasiswa tidak ragu merusak hingga mencopot setiap rontek dan baliho caleg maupun paslon capres-cawapres yang banyak berjejer di sepanjang jalan.

Terlihat gestur kemarahan mereka saat melepas baliho tersebut lalu membakarnya. Ini sebuah gejala dari krisis kepercayaan masyarakat (mahasiswa) kepada pemerintah karena dianggap tidak netral hingga bisa menyebabkan proses pemilu berjalan tidak demokratis. Aksi tersebut didahului oleh keresahan beberapa tokoh bangsa badayawan dan rohaniawan.

Disusul kalangan civitas akademika yang diartikulasikan melalui petisi. Keresahan yang disampaikan melalui peringatan yang apabila tidak diindahkan akan menjadi ketidakpercayaan kepada pemerintah. Mereka adalah kaum civil society bukan partisan partai ataupun kandidat pilpres. Tokoh bangsa dan kaum cendekiawan selama ini diam dan bersikap netral.

Namun kediaman mereka bukan kemudian tidak memperhatikan atau mencermati apa yang terjadi. Kediaman mereka adalah kebijakan yang mereka pilih selama ini. Jika kemudian mereka bersuara, itu berarti kondisi sudah tidak dapat ditolerir lagi. Mereka menyuarakan apa yang menjadi keresahan dan mereka tidak ingin negara dan bangsa ini kehilangan nilai-nilai demokrasinya.

Sikap ini sekaligus menunjukkan telah terjadi krisis kepercayaan masyarakat yang sangat dalam kepada negara (pemerintah). Krisis kepercayaan jauh lebih bahaya ketimbang sekadar krisis ekonomi. Krisis ekonomi masih bisa dikendalikan sepanjang rakyat percaya kepada pemimpinnya (pemerintah). Tapi jika krisis kepercayaan, meski ekonomi negara tersebut bagus, tuntutannya tetap pemimpin harus mundur.

Untuk itu, gejala krisis ini harus segera direspon dengan mengambil langkah antisipatif. Pemerintah atau dalam hal ini presiden, harus mau mendengarkan apa yang menjadi tuntutan rakyat. Selanjutnya, menjawab untuk memenuhi semua tuntutan tersebut secara eksplisit (tidak lagi pakai simbol-simbol). Hanya dengan cara itu pemerintah bisa membuat suasana kembali kondusif.

Namun jika presiden bersikap keras kepala tidak mau mendengarkan, setidaknya ‘ngelegani’ (bhs Jawa red) rakyat yang sudah tidak percaya, serta justru dihadapi dengan kekuatan aparat keamanan, maka rakyat semakin marah. Terlebih jika sudah mulai merambat ke massa akar rumput yang diketahui mudah terbawa arus. Meski grass root tidak menyoal demokrasi dan politik, namun ikatan emosional mereka sangat kuat, sensitif dan reaktif.

Catatannya, jangan sampai gerakan moral masyarakat sipil tersebut jautru disusupi pihak tidak bertanggungjawab yang mengupayakan terjadi chaos agar aparat keamanan bahkan TNI turun menghalau arus massa. Pemerintah sendiri sangat mungkin menunggangi agar bisa dijadikan argumen bersikap otoriter demi menjaga kestabilan politik (ingat kasus kerusuhan massal yang diduga kuat dilakukan oleh pamswakarsa di tahun 1998).

Presiden Jokowi tengah bertaruh oleh kehendaknya sendiri. Demi melanggemgkan kekuasaan, haruskah menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat seperti ini? Krisis kepercayaan juga menjadi sesuatu yang ironi di saat dikatakan kepuasaan masyarakat cukup tinggi kepada kinerja Jokowi. Akankah ia pertaruhkan reputasinya yang sudah baik selama ini menjadi hancur lebur demi hasrat kekuasaan?

Krisis kepercayaan biasanya akan berdampak kepada krisis ekonomi. Di mana para pelaku pasar menarik diri tidak ingin mengambil resiko besar untuk usahanya. Mata uang rupiah akan anjlok di pasar dunia. Akibatnya, inflasi meroket gila-gilaan, karena di internal kabinet juga sudah tidak solid manajemennya. Banyak menteri yang akan mundur ‘lepas tangan’, kabinet akan menjadi ajang saling curiga.

Bisa berapa lama berlangsung situasi seperti itu jika memang terjadi bencana krisis kepercayaan? Karena yang perlu dipikirkan adalah nasib rakyat apabila hingga berdampak pada krisis ekonomi dalam negeri. Di beberapa negara yang terjadi krisis kepercayaan, pada kebanyakan pemimpinnya memilih mengundurkan diri. Yang baru-baru saja, ada PM Inggris, Italia, dsb. Pergantian kekuasaan setidaknya membuka peluang untuk time break.

Kembali kepada kasus di Indonesia, tidak ada yang tidak mungkin untuk terjadi. Suharto yang dianggap sangat kuat dan sudah berkuasa 30 th lebih bisa tumbang (meski ekonomi tidak terlalu parah). Namun rakyat sudah tidak memiliki kepercayaan kepada presiden ketika itu. Protes dihadapi dengan tameng, sepatu lars, pentungan, hingga bedil. Rakyat semakin melawan. Peristiwa itu kiranya dapat dijadikan pelajaran penting oleh Jokowi.

- Advertisement -

Berita Terkini