Tidak Hanya Kepada ‘Bongbong’ Marcos, Prabowo Juga Meniru Gaya Kampanye Donald Trump?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Setelah heboh dikabarkan bahwa pencapresan Prabowo mirip dengan Ferdinand ‘Bongbong’ Marcos Jr, kini ada lagi sosok populer yang disandingkan dengan Prabowo, yakni Donald Trump.

Jika ditarik benang merah ketiganya, maka hanya ada satu kata yang pas, yaitu: kontroversi. Kontroversi yang dimaksud adalah selama proses pencapresan juga figurnya. Meski kondisi yang terjadi dan yang dihadapi berbeda, namun gaya yang mereka tampilkan ada kemiripan.

Bongbong merupakan putera diktator Filipina, Ferdinand Marcos Sr, yang tahun lalu memenangkan pemilihan presiden dengan suara telak. Ia bekerjasama dengan Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte (presiden petahana), sebagai wakil presiden yang terpilih melalui pemilu tersendiri.

Sosok Bongbong dianggap merepresentasikan bapaknya sebagai penguasa 40 tahun di Filipina. Ia pun berupaya mengubah citra buruk era bapaknya berkuasa.

Justru mengatakan bahwa masa bapaknya berkuasa merupakan masa keemasan bagi Filipina. Pemerintahan yang digantikannya, Duterte, yang otoriter sebenarnya tidak jauh dengan Marcos Sr, terlebih kini “diwakilkan” pada puterinya.

Pemilih muda Filipina mungkin tidak mengalami sehingga tidak pernah tahu persis seperti apa era Marcos Sr. Terlebih Bongbong-Sara membawa janji “kegembiraan” melalui gaya kampanyenya.

Sedangkan Donald Trump sendiri sudah menjadi tokoh kontroversi sebelumnya. Ia seorang milyarder, dikenal juga sebagai promotor tinju kelas berat dunia, dan memiliki pandangan politik yang rasis.

Ia mencalonkan diri melalui partai republik namun dengan “rasa” independen. Karena ia berani “melawan” beberapa tokoh senior republik. Ia bersama wakilnya, Mike Pence bertarung melawan Hillary Clinton dari Demokrat yang ingin meneruskan kejayaan Obama.

Sepanjang proses kampanye, Trump juga melakukan banyak hal yang kontroversi. Tim suksesnya dianggap tidak terlalu rapi dalam menyiapkan Trump di setiap melakukan kampanye akbar.

Budget yang dikeluarkan pun dalam laporan, jauh lebih sedikit dibanding Clinton. Trump dikenal memiliki mulut sampah karena beberapa ucapannya dianggap tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin sebuah negara digdaya seperti AS. Suka merendahkan orang dan melecehkan.

Meski mendapat banyak kritikan, buktinya Trump tidak mempan dan terus mendapat dukungan warga AS, yang mungkin sudah bosan dengan masa pemerintahan Obama sebelumnya. Sentimen kaum “putih” sengaja dimunculkan Trump.

Ia berhasil membuat suporter nya sendiri (relawan die hard). Dari semua kontroversinya, mengapa Trump bisa terpilih? Berbeda dengan Bongbong yang baru setahun, Trump nyatanya menjadi presiden AS yang gagal.

Setelah kegagalan tersebut, warga AS seolah baru tersadar dan tidak memilih Trump lagi pada periode keduanya. Trump dikalahkan Joe Biden dari Demokrat, bahkan Trump harus menghadapi tuntutan pidana karena dianggap menghasut warga melakukan aksi anarkis hingga menguasai Gedung Putih. Tentu sebuah pelajaran yang berharga untuk waktu satu periode penguasa Trump. Bongbong belum teruji karena baru setahun menjabat presiden.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia tengah memasuki tahun politik dan akan menggelar pemilu (pilpres) pada 14 Februari 2024 tahun depan. Dua contoh figur kontroversi tadi membuat masyarakat pemilih, terutama civil society, yang dianggap lebih melek politik, merasa ngeri-ngeri sedap.

Akankah seperti AS dan Filipina, memilih tokoh kontroversi, meski elektabilitasnya tinggi? Karena yang dipertaruhkan adalah kehidupan berbangsa lima tahun ke depan.

Prabowo bersama Gibran, sepertinya tidak ada habis-habisnya melahirkan kontroversi. Mulai dari Prabowo yang sudah berubah dan akan meneruskan Jokowi, benarkah? Lalu memilih anak Jokowi sebagai wakilnya, melalui proses pengubahan UU di Sidang MK, seriuskah, atau sekadar “permainan politik”?

Kaesang diplot dengan cepat menjadi Ketum PSI untuk mendukung Prabowo, hingga praktik-praktik intimidasi serta pengerahan kekuatan aparatur negara dilakukan.

Tidak banyak narasi konsep gagasan yang mereka sampaikan di masa kampanye. Yang terlihat justru ketidak-seriusan dengan menghadirkan gaya joget-joget.

Selain itu, sosok Prabowo sendiri yang sebelumnya dikenal kontroversi sebagai tentara pecatan dan melakukan pelanggaran HAM berat di tahun 1998.

Karakternya yang temperamen, kelas elite, memiliki kendala pada fisik dan kesehatan tidak membuatnya mundur setapak pun.

Bahkan ia berambisi meminta mandat pada rakyat untuk berkuasa. Beberapa pengamat mengatakan, Prabowo sebenarnya cukup bermain aman agar bisa memenangkan pilpres dan meneruskan tingkat estafet Jokowi.

Tidak perlu banyak membuat statemen ataupun merespon rivalnya. Maka yang perlu dijaga agar Prabowo dan Gibran tidak melakukan banyak blunder. Masyarakat pemilih Indonesia tengah diuji tingkat kecerdasannya untuk memilih agar tidak terjadi seperti Trump.

Sebagian masyarakat masih meragukan Prabowo akan meneruskan kerja Jokowi. Tidak mungkin Prabowo tidak memiliki agenda sendiri. Terlebih secara personifikasi, Prabowo sangat jauh jika dibandingkan dengan Jokowi.

Bak langit dan bumi. Ini yang masih menjadi batu pengganjal warga untuk memilih Prabowo. Tidak mungkin pula ada matahari kembar dalam pemerintahan. Bagaimana dengan Gibran sendiri? Sudah cukup mumpuni kah ia untuk mengawal Prabowo?

Jangan terjebak kepada “kejutan-kejutan” yang mungkin akan dilakukan oleh kubu Prabowo. Mereka mungkin secara sengaja memilih kampanye yang kontroversi agar menjadi perbincangan di kalangan publik dan harapannya elektabilitas bisa semakin tinggi.

Pemilih muda, terutama, kadang lebih menyukai sesuatu yang baru ketimbang yang konvensional. Namun sekali lagi, agar dipastikan dengan sungguh-sungguh untuk tidak melakukan coba-coba. Presiden bukan lah ketua pensi.

- Advertisement -

Berita Terkini