Kampanye Pilpres 2024 dan Politik yang Riang Gembira

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Denny JA

Mereka yang pesimis akan menyambut pemilu presiden dengan khawatir dan rasa apatis.

Tapi mereka yang optimis menyambut pemilu presiden dengan rasa bersyukur, dan riang gembira.

Ini sekali lagi menjadi momen, mereka bisa ikut menentukan bulat dan lonjong negara, dengan memilih pemimpin nasional yang baru.

Itu respon cepat kita menyambut dimulainya kampanye pemilu presiden 2024, pada tanggal 28 November 2023.

Juga ini merespon berita mengenai pemilu presiden dari tiga capres dan dari Presiden Jokowi sendiri.

Kita bacakan judul beritanya. Jokowi mengatakan: Jadikanlah demokrasi riang gembira, bukan perang.

Lalu Prabowo merespon: Hadirkan Pilpres 2024 riang gembira. Pengamat menambahkan: Tampilah apa adanya, dengan santun dan santuy.

TPN Ganjar menyambutnya dengan nada yang sama: Siap menjalani pemilu dengan riang gembira.

Tak ketinggalaj Anies Baswedan berharap: Berpolitik bisa dengan riang gembira dan kesampingkan rivalitas.

Mengapa penting menggaris bawahi pemilu yang riang gembira? Itu karena catatan di masa lalu. Ini karena masa kelam yang pernah terjadi di pemilu kita.

Baiklah kita mulai dengan data. Pada tahun 2019, di ujung pemilu presiden, di Jakarta 20-21 Mei, tewas 8 orang dan cedera lebih dari 600 orang. Pemilu presiden saat itu berujung keriuhan pada kerusuhan.

Bukan pemilu yang riang gembira saat itu yang terjadi. Tapi politk yang penuh permusuhan, prasangka, kemarahan.

Tengok pula pemilu yang lain: Pilkada di DKI 2017. Saat itu terjadi pembelahan masyarakat, permusuhan komunal yang keras sekali. Penyulutnya isu emosional karena politisasi agama.

Masyarakat pun terbelah dan jejaknya terasa hingga sekarang akibat Pilkada di DKI Jakarta 2017.

Keakraban warga negara berubah dan terpecah, berdasarkan garis primordial dan persepsi soal agama.

Politik saat itu juga tidak riang gembira. Sebaliknya itu politik yang menyimpan benci dan mengobarkan rasa curiga.

Berita yang lain lagi. Kita masih ingat juga betapa di era itu, 2017 pilkada dan 2019, pemilu sangat diwarnai oleh hoax, fitnah, black campaign, kebohongan, yang meluas terjadi di banyak tempat.

Kebencian dikabarkan. Kemarahan dikobarkan.

Itu akibat beredarnya begitu banyak media sosial yang memainkan informasi palsu. Saat itu dan kini, hadir 800.000 situs penyebar hoaks di Indonesia.

Di era Pilpres, hoax ini bekerja secara maksimal. Aneka situs ini bekerja dalam bentuknya yang terburuk.

Namun untunglah. Di pemilu presiden di tahun 2019, terjadi pula terobosan pilitik yang unik. Jokowi selaku presiden yang terpilih, yang menang, mengajak capres yang kalah: Prabowo, untuk bekerja sama masuk masuk dalam kabinet.

Jokowi dan Prabowo memulai satu tradisi berkompetisi kemudian berujung pada koperasi. Bersaing tapi kemudian bekerja sama.

Pada waktunya apa yang Jokowi kerjakan ini akan menjadi bahan kajian. Itu menjadi pilihan post election di negara negara yang demokrasinya sedang berkembang.

Karena itu kita menekankan sekali lagi. Sebaiknya kita termasuk dalam golongan yang menyambut kampanye pemilu dengan riang dan gembira.

- Advertisement -

Berita Terkini