Ada Skenario Penggembosan PDIP dan Menjatuhkan Legitimasi Jokowi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Keputusan MK yang mengabulkan permohonan batas usia minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman atau sedang menjabat di posisi pemerintah (yang dipilih melalui proses pemilu) dapat diajukan capres/cawapres, membuat kegaduhan kecil, persis beberapa hari menjelang pendaftaran capres-cawapres ke KPU. Ada yang tertawa bahagia, ada pula yang sedih, marah dan kecewa, serta tidak sedikit yang bingung. Apa sebenarnya yang tengah terjadi? Gak bahaya ta?

Jika masyarakat menyikapi dengan biasa saja, atau peristiwa ini terjadi sekitar 2-3 tahun lalu, tentu tidak membawa pada implikasi yang macam-macam. Ada banyak faktor “kebetulan” yang terjadi di sela keputusan Sidang MK kemarin.

Jadi ini semacam peristiwa yang faktornya bertumpuk tanpa bisa dihindari. Tidak ada satu kekuatan yang berupaya mencegah, ataukah kekuatan itu justru menghendaki terjadi demikian?

Berikut beberapa faktor “kebetulan” yang bisa kita pahami dari fakta yang ada:
1. Pemohon kasus yang dimaksud hanyalah seorang mahasiswa di Surakarta (ketika itu, dan sekarang sudah dinyatakan lulus), yang kebetulan seorang pengagum Gibran Rakabuming, Wali Kota Solo.

Perlu diketahui lebih banyak soal alasan dasar Almas Tsaqibbirru (Pemohon) melakukan gugatan uji materi ke MK. Saat artikel ini ditulis, saya belum mendapat konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan.

Pengakuan Pemohon sebagai pengagum dari Wali Kota Solo disampaikan langsung dalam proses persidangan. Kita bisa bayangkan, bagaimana jika yang disebut bukan Gibran?

Diketahui, masih banyak anak muda (di bawah 40 th) menjabat di pemerintah daerah yang potensial diajukan sebagai pemimpin tingkat nasional. Bayangkan kembali andai opsi ini tidak diajukan? Karena opsi penurunan batas minimal usia 40 th menjadi 35 th sudah ditolak MK.

MK beralasan jika membahas angka usia, maka bisa debatable. Selain itu, mengulik yurisprudensinya, yang berwenang mengubah angka usia itu adalah pembuat undang-undang, bukan MK.

Dari itu, para pendukung gugatan termasuk PSI, Partai Garuda dan Partai Gerindra, sudah sepatutnya berterima kasih kepada seorang Almas Tsaqibbirru. Mungkin dia perlu mendapat hadiah atau sejenisnya. Karena tanpa opsi permohonan yang diajukan Almas, sudah dipastikan ditolak MK.

2. Gibran “milik” PDIP. Kebetulan berikutnya, Gibran adalah salah seorang anggota dan kader PDIP yang tengah mendapat penugasan sebagai Wali Kota Solo. Selain itu, Gibran sendiri merupakan putera sulung presiden Jokowi.

Jokowi sendiri juga berasal dari partai yang sama dengan Gibran. Meski tidak otentik mengarah kepada nama Gibran, namun publik sudah mempersepsikan keputusan MK berarti karpet merah untuk Gibran menjadi cawapres.

Kondisi ini mungkin tidak terlalu menghebohkan jika Gibran bukan anak Jokowi yang akan berakhir masa jabatannya per Oktober 2024 nanti. Tidak gaduh pula jika usulan cawapres berasal dari PDIP sendiri sebagai “rumahnya” Gibran.

Meski opsi ini (Gibran menjadi cawapres Ganjar) juga sempat diungkapkan oleh Puan Maharani, namun publik mendengar santer suara usulan itu datang dari kubu pendukung Prabowo. Ini yang bikin gaduh, selain soal loyalitas ke PDIP juga terkait dinasti politik.

Jokowi sendiri sudah merespon langsung hasil keputusan MK untuk ditanyakan langsung kepada MK, atau kepada para pengamat politik. Jokowi mengaku tidak ingin terlibat soal usulan pasangan capres/cawapres.

Namun publik melihat sendiri bahwa Jokowi menghadiri acara yang digelar pendukungnya, seperti Projo dan Samawi, yang keduanya mendeklarasikan dukung Prabowo. Jokowi dianggap publik menciderai partainya sendiri PDIP.

Terlebih jika Gibran juga menerima pinangan Prabowo menjadi cawapresnya. Jokowi dikecam habis oleh publik yang itu pendukungnya sendiri. Kecaman itu lebih ditujukan karena terlalu membiarkan dirinya di bawah stir relawan Projo maupun partai koalisi pendukung Prabowo.

Benarkah demikian? Dukungan Jokowi fix kepada Prabowo? PDIP lebih bersikap logowo. Apapun yang terjadi, meski mungkin menyakitkan, tapi tetap mengawal Jokowi hingga akhir serta tetap mendukung Ganjar sebagai presiden.

3. Ketua MK adik ipar Presiden. Faktor kebetulan lainnya yang paling banyak mendapat sorotan publik karena Ketua MK, Anwar Usman, tidak lain suami dari adiknya Jokowi.

Tidak sedikit pendukung Jokowi sendiri yang merasa kecewa sebab ketua MK tidak mencoba menghindar dari pengambilan keputusan yang berpotensi konflik interest. Alih-alih menolak, Ketua MK justru ikut mendukung pengabulan permohonan.

Diketahui pula beberapa saat setelah putusan MK, beberapa orang mendatangi rumah dinas Wali Kota Solo melakukan tapa bisu. Saat Gibran mendatangi dan menanyakan “ada apa?” Mereka tidak mau menjawab dan hanya diam.

Salam tradisi Jawa, jika rakyat sudah mbegegeg dan hanya diam seribu bahasa, itu tandanya mereka tengah merasakan kekecewaan yang teramat sangat kepada pemimpinnya.

Menunjukkan mereka tidak setuju keputusan MK karena khawatir Gibran menerima pinangan Prabowo. Mereka pantas khawatir karena selama ini Gibran tidak pernah secara tegas menolak wacana dirinya dijadikan pasangan Prabowo.

Jika sejak awal mengatakan “tidak”, maka rakyat akan merasa ayem karena yakin Gibran tidak akan mau dijadikan cawapres Prabowo. Bagi sebagian mungkin memahami akan sikap Gibran dan Jokowi yang tetap mengakomodir.

Kedua mereka tetap ingin berada di tengah-tengah antara relawan dengan PDIP. Sementara hubungan antara relawan Jokowi (Projo) dengan PDIP memang terlihat tidak begitu baik sedari awal. Ada alasan tertentu juga jika kemudian Jokowi tidak berupaya mendekatkan hubungan keduanya.

Relawan bisa dijadikan sebagai “penyeimbang” atas status petugas partai yang melekat kepada Jokowi. Begitupun yang mungkin terjadi dengan Gibran saat ini.

Secara jelas, keputusan MK kemarin membuat citra Jokowi dan keluarga menjadi turun. Banyak kecaman dan tuduhan ditujukan kepada Jokowi. Hal ini semestinya menjadi sesuatu yang sudah diperhitungkan oleh Jokowi.

Sementara PDIP dengan Megawati yang masih memilih bersikap diam, dilihat publik sebagai pihak yang dikhianati juga coba digembosi kekuatannya oleh lawan politik mereka. Namun intuisi saya mengatakan jika keputusan MK tidak berimplikasi apapun. Tunggu saja.

- Advertisement -

Berita Terkini