Akan Bubarkah KIB?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – 26 Februari 2023. Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pemenangan Pemilihan Umum (Pemilu) Partai Amanat Nasioal (PAN) digelar di Semarang, Jawa Tengah. Di hadapan Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN Zulkifli Hasan – biasa saya panggil Bang Zul — dengan antusias menyebut Ganjar Pranowo dan Erick Thohir.

“Jalan-jalan ke Simpang Lima // Jangan Lupa Beli Lumpia // Kalau Pak Ganjar dan Pak Erick sudah bersama // Inshaa Allah Indonesia tambah Jaya,” begitu bunyi pantun yang dibacakan Bang Zul.

Tiga hari sebelum itu, saya sempat mengirimkan pesan ke ponsel Bang Zul. Minta izin untuk hadir di Semarang. Tidak ada jawaban. Biasanya, Bang Zul sigap membalas chatting saya.

1 Maret 2023. Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Muhammad Romahurmuziy (Mas Rommy) bertandang ke ruangan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto (Mas Hasto). Saya menyaksikan foto mereka di sejumlah akun media sosial.

Usai itu, kabar angin mencuat deras isu bahwa Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Partai Golkar, PAN, dan PPP bisa bubar. Alasan utamanya, ketiga partai politik ini belum bersepakat tentang Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres).

Tahun 2014, Partai Golkar, PAN, dan PPP pernah bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang mengusung Prabowo Subianto – Hatta Rajasa sebagai Capres – Cawapres. Diluar itu, terdapat sejumlah partai lain, seperti Partai Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra kala itu, begitu juga Hatta Rajasa yang menjabat Ketua Umum PAN.

Tahun 2019. Tinggal Partai Golkar dan PPP yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Tentu bersama PDI Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Hanura, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Sementara PAN bersama Partai Gerindra, PKS, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya membentuk Koalisi Indonesia Adil Makmur.

Kalau ukuran yang dipakai dua kali pemilihan umum presiden (Pilpres) terakhir, maka Partai Golkar dan PPP sekali kalah, dan sekali menang. PAN kalah dua kali. Kalau ukuran yang dipakai adalah sepakbola, Partai Golkar dan PPP sama-sama punya nilai 3. Sementara PAN, belum punya nilai, alias 0. Artinya, apabila KIB berlanjut hingga meja pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU), perolehan nilai berdampak kepada ketiga partai. Menang, Golkar dan PPP sama-sama punya niai 6, sedangkan PAN dapat tambahan nilai 3.

Lalu, kenapa substansi acara tanggal 26 Februari dan 1 Maret itu dibaca seolah mengoyak tubuh KIB? Tentu, tergantung pada tafsiran yang digunakan. Induktif, atau deduktif? Sinkronis, atau diakronis? Struktural, atau postmodernis?

Rakornas PAN di Semarang sama sekali bukan acara KIB. Partai Golkar setiap minggu melakukan Rapat Kordinasi Teknis (Rakornis) Pemenangan Pemilu yang bergerak sejak dari Pekanbaru, Palembang, Jakarta, hingga terus ke Ternate hingga Monokwari. Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto selalu hadir, namun belum pernah mengundang Presiden Joko Widodo atau tokoh yang lain. Partai Golkar tentu sangat memahami padat-merayapnya jadwal Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Begitu pula kunjungan Mas Rommy ke ruangan Mas Hasto yang kebetulan sama-sama berkantor di Jalan Diponegoro, sama sekali tak mewakili KIB. Apalagi Mas Rommy bukanlah pemegang kursi dalam lokomotif eksekutif partai. Lokomotif itu masih berada di bawah kendali Muhamad Mardiono, Pelaksana Tugas (PLT) Ketua Umum PPP sejak September 2022. Belum jelas, kapan posisi PLT itu menjadi defenitif lewat Muktamar Luar Biasa PPP.

Rakornas PAN mengundang para tokoh, tentu tak relevan bicara terkait koalisi kepartaian. Ganjar, bukan utusan resmi PDI Perjuangan. Erick, baru saja mendapat amanah luar biasa, Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), muara dari loyalis semua partai politik. Erick belum dapat nomor punggung partai politik manapun, walau disebut “akrab” dengan PAN sampai ke akar umbi (grassroots).

Yang relevan?

Apalagi kalau bukan beli lumpia di Simpang Lima, ditambah ikan bandeng kering maknyuss itu. Sangat janggal, kalau Bang Zul bicara KIB, misalnya. Sebagai sohibul bait (tuan rumah) acara, Bang Zul seakan meniru Presiden Joko Widodo yang rajin mengabsen tokoh-tokoh yang hadir dalam acara yang beliau hadiri. Toh tokoh yang diundang, teristimewa Joko Widodo dan Ganjar Pranowo, adalah dua ikon Jawa Tengah yang populis. Matahari PAN, guna memenangkan pemilu, tentu perlu menyinari Jawa Tengah agar berkecambah. Yang terjadi sebetulnya, Bang Zul sedang kulonuwun kepada dua tokoh Jawa Tengah itu.

Begitu juga, tak ada kaitan isu yang berpendar betapa KIB bakal bubar, pasca Mas Rommy bercengkrama dengan Mas Hasto. Terkecuali yang datang bersua Mas Hasto adalah Pak Mardiono, Chief of Command dari seluruh slargorde Ka’bah. Baru itu pertemuan yang matang, yakni sesama eksekutif dalam tubuh partai politik. Dalam jabatan yang hampir sejajar fungsinya, Pak HR Agung Laksono, Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, tentu lebih sering bertemu dengan Mardiono, ketimbang Mas Hasto, misalnya. Pak Agung dan Pak Mardiono sama-sama anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Ditambah dengan Pak De Sukarwo yang kini bergabung sebagai Wakil Ketua Dewan Pakar Partai Golkar, tentu bisa dibayangkan keakraban yang disuguhkan, andai mereka berdua sering duduk bertiga makan siang dengan Pak Mardiono.

Saya kira, tak perlu seluruh petinggi partai memberikan komentar atas isu tentang KIB bakal bubar itu. Bahkan, Mas Rommy sendiri ikut kelabakan dalam mengendalikan isu liar itu. Potensi PDI Perjuangan bakal bergabung dengan KIB, atau sebaliknya, KIB yang menggabungkan diri dengan PDI Perjuangan, jauh lebih besar, ketimbang KIB bubar jalan. Baik terbuka atau tertutup, Airlangga Hartarto sudah bersua dengan Puan Maharani. Sama halnya, Airlangga dan jajaran petinggi Partai Golkar bersua dengan Ketua Umum Partai Nasdem, Ketua Umum PKB, dan seterusnya.

Sekali lagi, kegemaran para petinggi partai politik memberikan komentar atas isu yang dari sisi kronologis ataupun peristiwa sudah sangat terang benderang, sangat kontra produktif. Bahkan, masing-masing partai politik, komentar dan bantahan datang lebih dari tiga orang. Bola yang sudah liar, semakin liar. Api bukannya padam, malah makin mendidih dan berkobar. Kenapa? Berhubung sudah ada koalisi partai politik lain yang tentu ikut juga riuh rendah memberikan analisis. Saya tak bisa membayangkan, bagaimana nasib sepakbola, apabila di dalam lapangan permainan, sesama pemain saling komentar, lalu dikomentari lagi oleh pemain lain yang tak bermain di lapangan, apalagi punya nomor punggung di klub mereka. Sepakbola bakal tak lagi menarik.

Kalau kontestasi pemilu legislatif dan pilpres tak bernilai subtantif lagi kepada masyarakat banyak, jangan-jangan akibat politisi lebih sering memandang muka sendiri berkali-kali tiap hari, lalu berkomentar: “Ah, cermin ini siapa yang bikin? Kok mukaku jadi jelek?”

Dan, astagafirullah, tenyata saya juga sudah terlalu banyak berkomentar. Wallahu ‘Alam.

Jakarta, Jumat, 10 Maret 2023.

Penulis : Indra J Piliang
Penulis adalah Panglima Korps Armada Selatan (Korsa) Airlangga Hartarto

- Advertisement -

Berita Terkini