Gubsu Abuse of Power, Benarkah?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Terbesit di dalam pikiran, ingin menanggapi sebuah peristiwa yang baru-baru ini terjadi, yaitu soal dilaporkannya Gubernur Sumatera (Gubsu) Edy Rahmayadi ke Polisi Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) oleh Donna Siregar yang merupakan keponakan Bupati Padanglawas (Palas) Non-aktif, Ali Sutan Harahap atau yang lebih akrab disebut TSO (Tongku Sutan Oloan).

Sebagaimana diketahui dari berbagai media menginformasikan, pelaporan tersebut tertuang dalam STTLP/B/986/6/2022/SPKT/POLDA SUMUT. Gubsu dinilai pihak pelapor (dalam hal ini kuasa hukumnya adalah Razman Arif Nasution) telah melakukan tindak pidana menyalahgunakan wewenang dan jabatan sebagaimana termaktub dalam Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Peristiwa tersebutlah yang mendorong saya untuk menulis artikel singkat ini. Tulisan ini dimaksudkan sebagai sebuah respon seorang pembelajar hukum yang masih bergelut di fakultas hukum UISU Medan. Tindakan ini tidak bermaksud ingin campur dalam proses hukumnya, yaitu dalam penyelidikan dan penyidikan yang berwenang adalah pihak kepolisian, penuntutan sebagai haknya kejaksaan (jika sudah naik berkas atau P21), hakim yang berhak mengadili perkara, dan bukan pula saya sebagai kuasa hukum yang memberikan pendapat hukum (legal opinion).

Hal ini semata-mata ingin merespon apakah benar bahwa Gubsu Edy Rahmayadi melakukan penyalahgunaan wewenang dan jabatan atau abuse of power terkait menerbitkan SK penonaktifan TSO sebagai Bupati Palas karena berhalangan sakit sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai Bupati Palas. Respon ini berdasarkan kajian mandiri selaku mahasiswa hukum yang mengikuti perkembangan dan perististiwa-peristiwa hukum. Terlebih-lebih saya benar-benar tertarik untuk membahas tindakan Edy yang dinilai abuse of power atau melanggar hukum Pasal 421 KUHP. Benarkah orang nomor satu itu melanggar hukum?

Sedikit Tentang Abuse of Power

Tentang abuse of power ini, di dalam hukum tertulis Indonesia disebutkan dalam Pasal 421 KUHP, pada Bab XXVIII tentang Kejahatan Jabatan. Dalam pasal tersebut berbunyi: “Seorang pejabat menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.” Secara terori abuse of power adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri dan orang lain.

Terhadap pasal tersebut, beberapa kasus tindak pidana yang sering terjadi sering dihubungkan dengan tindak pidana korupsi (karena merugikan keuangan negara) yang dilakukan banyak kepala-kepala daerah atau pun pejabat-pejabat negara yang memiliki kekuasaan yang dapat memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang merugikan negara. Kemudian tidak hanya dalam kasus tindak pidana korupsi, dengan kekuasaan yang dimiliki apabila seseorang yang berkuasa telah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan di dalam Pasal 421 KUHP jelas dikategorikan abuse of power.

Wujud nyata dari tindakan abuse of power ini begitu jelas terjadi di rezim Orde Baru (Orba) yang berdampak pada terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Akan tetapi wujud itu tidak menutup kemungkinan muncul lagi di era reformasi saat ini, terkhusus di masa pemerintahan Jokowi. Hal ini tidak hanya terjadi dalam praktik KKN, adakalanya tidakan penyalahgunaan wewenang dan jabatan terjadi disebabkan karena kebijakan publik yang dipandang sebagai kesalahan prosedur dan administratif.

Akan tetapi dalam hal ini harus dilihat dasar hukumnya apakah terjadi kesahalan prosedur dan administratif, karena jika dilakukan dengan tujuan tanpa dasar hukum dan prosedur atau dimaksudkan untuk mengunturng diri sendiri atau orang lain atau juga korporasi yang barakibatkan kerugian keuangan negara atau kerugian pada orang lain, maka ini adalah tindak pidana.

Nah, pertanyaan selanjutnya apakah tindakan Gubsu Edy Rahmayadi yang meneluarkan surat keputusan menonaktifkan TSO dan mengakat Ahmad Zarnawi menjadi Plt. Bupati Kabupaten Palas tidak berdasarkan hukum atau prosedur administratif yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku? Benarkah orang nomor satu di Sumut itu abuse of power

Landasan Hukum

Untuk berjalannya sistem pemerintahan Indonesia, baik di Tingkat Pusat maupun Tingkat Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) tentu memliki aturan hukum, baik secara konseptual maupun secara prosedural. Di Indonesia, dasar hukum dalam menjalankan Pemerintahan Tingkat Daerah adalah mengacu kepada UU Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda) serta aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan UU Pemda.

Berhubungan dengan peristiwa yang kita bicarakan ini, dimana Gubsu mengeluarkan kebijakan menonaktif TSO dan mengangkat Ahmad Zarnawi sebagai Pelaksana tugas (Plt) berdasarkan landasan hukum UU Pemda. Hal ini sebagaimana telah dijelaskan oleh Zubaidi selaku Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah (Otda) Sumut kepada berbagai media. Dalam penjelasannya (cnnindonesia.com, 08/06/2022), TSO dinonaktifkan dari jabatannya karena memiliki masalah kesehatan. Hasil observasi dokter menunjukkan penyakit yang membuat TSO mengalami hambatan dalam berkomunikasi dan gangguan aktivitas motorik sehingga menghambatnya dalam melaksanakan tugas sebagai Bupati.

Informasi TSO sakit diketahui berdasarkan surat resmi dari Arpan Nasutin selaku Sekda Palas lengkap dengan melampirkan keterangan dari dokter yang memerikasa. Pada 9 Juni 2021, Gubernur Sumut lewat surat resmi mendelegasikan wewenang TSO kepada Wakil Bupati Palas Ahmad Zarnawi. Kemudian pada 11 Juni 2021, TSO selaku Bupati Palas menerbitkan SK yang berisi pendelegasian sebagian kewenangan penyelenggaraan pemerintah kepada Ahmad Zarnawi. Setelah itu pada awal bulan Agustus, tepatnya 2 Agustus 2021 TSO melakukan perubahan SK tersebut.

Menunggu perkembangan kesehatan TSO, akan tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan tim observasi kesehatan yang ditugaskan bulan September 2021, diketahui bahwa TSO menderita sakit yang menimbulkan hambatan berkomunikasi dan aktivitas motorik. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dan surat Dirjen Otda Kemendagri Nomor 131.12/7584/OTDA tanggal 22 November 2021, pada 24 November 2021 pun Gubsu Edy Rahmayadi menerbitkan surat menunjuk Ahmad Zarnawi sebagai Plt. Bupati Palas.

Sebagai rujukan atau landasan hukumnya, Keputusan Gubsu tersebut mengacu kepada UU Pemda Pasal 66 ayat (1) huruf c dan Pasal 78 ayat (2) huruf b. Dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c menerangkan bahwa Wakil Kepala dapat melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara. Sedangkan dalam Pasal 78 ayat (2) huruf b menerangkan bahwa Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama enam bulan.

Penutup

Dari uraian penjelasan Zubaidi dan dari seluruh kronologis kejadian yang menimpa keadaan pemerintahan daerah Kabupaten Palas, sehingga diambil langkah dinonaktifkannya Bupati TSO kemudian diangkatlah Ahmad Zarnawi selaku Wakil Bupati telah memnuhi aturan hukum (rule of law) dan memperhatikan prosedur administratif, misalnya jelas memiliki bukti bahwa TSO mengalami penyakit sebagaimana hasil tim dokter yang memeriksa, tentunya juga telah dikoordinasikan kepada Mendagri sehingga mengeluarkan surat sebagaimana yang kita tulisan di atas tadi. Sehingga menurut saya, selama memenuhi unsur hukum bahwa TSO layak dinonaktifkan, Gubsu tidaklah patut diduga abuse of power selaku Gubernur Sumut.

Untuk itu, secara sahnya, mengenai nasib laporan tersebut kita serahkan kepada pihak yang berwenang untuk menyelidik dan menyidik, menuntut serta mengadili, apakah tindakan Gubsu tersebut benar-benar abuse of power, kita serahkan kepada pihak penegak hukum yang menanganinya.*

Oleh: Ibnu Arsib
Penulis adalah Mahasiswa FH UISU dan Kader HMI Cabang Medan

Catatan: Artikel ini telah terbit pertama kali di Kolom Opini, Harian Analisa. Edisi: Rabu, 15 Juni 2022, dengan nama asli penulis.

- Advertisement -

Berita Terkini