Evaluasi Kritis Pemilu 2019: Rusaknya Demokrasi dalam Kekuasaan Oligarki

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pemilu 2019 merupakan pemilu serentak pertama di Indonesia, dimana pemilih melakukan pencoblosan surat suara secara bersamaan baik untuk Presiden/Wakil Presiden, maupun DPR RI/DPD RI, dan DPRD Provinsi/Kab/Kota. Berbagai anasir menunjukkan bahwa praktik pemilu serentak tersebut berlangsung tidak mudah, penuh tantangan, dan berpotensi mengalami banyak persoalan.

Di antara tantangan yang dihadapi adalah adanya paktik pemilu yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya baik dari segi teknis pelaksanaan, situasi politik, kondisi sosial masyarakat, dan pola-pola kampanye yang menghasilkan potensi kerawanan pada variasi dan tingkatan yang berbeda pula.

Melihat proses Pemilu 2019, terdapat 3 pelemahan demokrasi; Pertama, keterikatan warga dengan proses politik makin berkurang, ditandai oleh partisipasi dalam pemilu semakin menurun, ketidakpercayaan terhadap partai politik meningkat, kesenjangan makin tinggi dalam hubungan keterwakilan politik. Keputusan bertindak warga terkait keputusan politik bertindak, pasif, menolak bertindak masih sulit dipahami apalagi di tengah maraknya politik transaksional dalam pemilihan langsung.

Kedua, untuk menjelaskan perilaku dan tindakan para aktor politik yang terkait dengan proses perumusan kebijakan politik di level nasional dan lokal. Ada banyak variasi isu yang terlibat, besar kecilnya ruang lingkup kepentingan, kekuatan yang berpengaruh (laten atau manifes), tipe dan peran aktor yang terlibat dalam prosesnya, ruang publik yang digunakan, serta sumberdaya politik yang dikontestasikan.

Ketiga, demokrasi partisipatoris makin gencar dikampanyekan belakangan ini. Beberapa lembaga internasional seperti UNDP dan World Bank, mulai beralih dari good governance ke arah mempromosikan democratic governance (tatakelola politik yang demokratis). Asumsinya governance tidaklah cukup dengan “sekedar” baik saja, tidak cukup melatih para birokrat agar mereka capable, tidak cukup memperkuat performa layanan publik pemerintah daerah, tetapi warga tetap terpinggirkan dalam perencanaan program pembangunan.

Pemilu 2019 adalah bagian mekanisme pergantian elite politik di dalam transisi demokrasi Indonesia pasca-reformasi. Era pemilu pasca reformasi ditandai oleh politik uang dan oligarki di mana-mana. Politik uang tidak jarang dilakukan oleh para pihak dengan cara mafia, yaitu ada satu orang berkuasa yang bisa mempengaruhi pemungutan suara bagi kemenangan orang yang didukungnya.

Pemilih tinggal memilih antara uang atau represi psikis dan/atau fisik yang akan diterimanya bila menolak apa yang cara kerja mafia kehendaki. Para tokoh di balik cara kerja mafia ini adalah para oligarki baik pada tingkat lokal maupun nasional. Kerusuhan yang mengikuti demonstrasi besar di Jakarta pasca proses penghitungan suara oleh pemilu kiranya menandai dugaan bekerjanya cara kerja mafia ini. Masyarakat didera oleh aneka ragam hoaks dan ujaran kebencian sehingga pemilu bukan lagi ‘pesta rakyat” yang menggembirakan melainkan pertikaian para pihak dengan menggunakan cara untuk memenangkan zero sum game yang mereka operasikan.

Massa pemilih menjadi sasaran instrumentasi politik para elite dan oligarki politik Pada titik inilah maka politik dan mafi a adalah dua kekuatan pada teritori yang sama, yaitu proses pemilu sebagai locus politik, dan bahkan sampai menjelang pelantikan anggota legislatif dan capres cawapres terpilih nuansa “adu kekuatan” ini masih bisa dirasakan dalam beragam manifestasi proses politik.

Pada titik ini maka tahapan pemilu yang diwarnai oleh kakacauan dan behkan kekerasan kiranya telah menegasikan keluhuran demokrasi yang mengutamakan hak-hak rakyat bukan ambisi para elite dengan memperalat rakyat. Pemilu sebagai media untuk memilih wakil terbaik untuk mengoperasikan negara demokrasi kiranya justru mencederai demokrasi. Inilah ironi demokrasi pada masyarakat Indonesia yang diwarnai oleh struktur kelas dan modal politik tertentu pasca “kapitalisme semu” (ersatz capitalism, Yosihara Kunio) Orde Baru.

Oleh : Abdul Halim Wijaya Siregar
Menteri Koordinator Bidang Kebijakan dan Pergerakan PEMA USU

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
- Advertisement -

Berita Terkini