Belajar dari Kasus Edy Mulyadi

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, OPINI – Edy telah meminta maaf atas pernyataannya jika melukai masyarakat khususnya warga Kalimantan. Dia lalu memberi gambaran maksud pernyataannya tempat jin buang anak seperti bahasa ‘jancuk’ oleh orang Jawa Timur yang dianggap kasar oleh orang Jawa Tengah.

“Jadi itu tetap gimanapun juga saya tetap minta maaf kalau ternyata ucapan tadi dianggap melukai, buat kami, di sini, di Jakarta khususnya, itu istilah yang sangat umum, sebagaimana ada beberapa daerah yang secara budaya umum,” jelasnya

“Mohon maaf, misalnya Jawa Timur, dia biasa berkata-kata yang buat orang Solo ‘wih kasar banget loh’, gitu ya ‘jancuk kon mati kapan’, itu kan maaf-maaf artinya ‘sialan lu, kapan mati lu?’ itu kan buat Jawa Timuran biasa banget, tapi buat orang Solo Jawa Tengah ‘ih kasar banget’. Nah pada konteks itu sekali lagi saya ingin tekankan tempat jin buang anak, buat kami, saya khususnya Jakarta itu, bener-bener hanya menggambarkan tempat jauh, nggak ada potensi merendahkan menghina nggak ada,” tambahnya.

Dalam penjelasan ini saya kira EM benar. Dia hanya “terjebak” dalam istilah atau sebutan yang sudah biasa bagi orang Jakarta dengan menyebut tempat yang jauh sebagai tempat “jin buang anak”. Pembelajarannya, tidak semua kebiasaan dalam konteks sebutan maupun candaan yang bisa dikompromikan di depan umum (publik), kecuali dalam komunitasnya sendiri.

Jadi wajar lah jika ada publik yang merasa gak sreg dengan ucapan, istilah, sebutan ataupun candaan yang tidak mengenakan bagi pendengar/pembaca lain. Kita tidak bisa bilang, itu sekadar candaan atau sekadar istilah orang Jakarta yang sudah biasa. Ini bukan soal istilah dan gaya di masing-masing daerah. Silahkan saja tiap daerah punya gaya khas masing-masing, tapi perlu diperhatikan jika sudah di wilayah publik, karena itu akan berubah menjadi soal etis atau tidak etis.

Publik itu tidak hanya orang Jakarta atau pun orang Jatim. Tidak semua juga suka dengan istilah dan candaan yang gaya satire menyindir bahkan tendensius terlebih menyinggung seseorang, komunitas ataupun etnik lain. Jika ‘tempat jin buang anak’ dikatakan sebagai istilah yang sudah popular, bagaimana dengan menyebut ‘pasar kuntilanak dan gondoruwo’?

Pada narasi tersebut EM tidak bisa mengelak bahwa ia menyamakan pasar di Kalimantan adalah pasar kuntilanak dan gondoruwo, atau pasar makhluk halus. Kecuali dia bisa menjelaskan siapa dan atau apa yang dimaksud dengan penyebutan ‘kuntilanak dan gondoruwo’ itu? Sekali lagi, mari kita sama-sama memetik pembelajaran dari sini.

Bahwa kadang kalau sudah emosi dan atau sebaliknya larut dalam eforia kegembiraan, kita bisa lupa diri dengan menyebut dan berkata yang tidak pada tempatnya. Kita lupa kalau itu dilihat, didengar dan dibaca publik. Andai semua itu diucapkan dalam grup khusus yang hanya terdiri dari mereka yang sudah saling kenal dan sudah biasa menggunakan ungkapan tersebut, tentu tidak masalah. Tapi jangan di publik.

Mungkin bukan salah, hanya tidak etis. Untuk itu EM hanya dituntut minta maaf ke publik secara terbuka khususnya masyarakat Kalimantan. Jika tidak mau, barulah dapat dilaporkan ke pihak berwajib sebagai bentuk disorder terhadap publik. Saya kira banyak dari kita yang juga kadang suka keceplosan, misal menganggap semua yang berbau Arab itu buruk. Menyamakan negara seperti Yaman sama dengan personal atau pelaku teroris.

“Masa bodo dengan orang lain. Saya sudah menggunakan istilah ini lama dengan teman-teman saya sebelum saya kenal dengan anda. Emang elu siapa?” Kadang kita kerap mengatakan itu. Sepanjang yang diucap atau ditulis masih dalam batas kepatutan ya silahkan saja, namun jika dianggap tidak pantas, maka wajar publik menegur. Bukankah mengingatkan agar bersikap yang lebih baik itu adalah kewajiban sesama muslim? Tapi mau mendengarkan ataupun tidak ya itu sunnah, itu lain lagi. Silahkan saja.

Penulis : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini