Demokrasi Tanpa Monorealisme; Itu Kemunafikan!

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Ketika engkau berkata bahwa demokrasi itu ditegakkan di atas kesamaan kedudukan setiap warga negara, dan dengan itu kamu ucapkan perlunya “keadilan sosial” bagi setiap warga negara, berarti anda sedang bicara tentang demokrasi. Namun jika pernyataan ini tidak dimotivasi oleh pandangan bahwa kesamaan kedudukan warga negara itu, merupakan keniscayaan azasi atau fitrawi setiap manusia, dapat dipastikan bahwa pernyataan itu hanya lips service saja.

Kenapa demikian? Karena hanya dengan menerima realitas keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah sajalah, sehingga pernyataan itu menemukan otentisitasnya. Tanpa itu, pernyataan itu tidak akan murni dan akan terkalahkan oleh pandangan superioritas keturunan (kebangsawanan), kepemilikan harta benda, penguasaan kekuatan, kuantitas massa, ambisi, dan seterusnya. Itu pulalah yang mewarnai rentang sejarah panjang umat manusia “yang berdarah-darah”.

Bangsa Yahudi terkenal dengan anugerah kecerdasan yang diberikan Allah kepada mereka, berkat ajaran monorealisme yang mampu diraih oleh para leluhur Bani Israel. Namun ketika ego superioritas menguasai cara pandang mereka, bahwa kecerdasan yang mereka miliki merupakan sesuatu yang bersifat Adi kodrati, sebagai ras pilihan, muncullah pengingkaran kepada Allah atau pengingkaran terhadap monorealisme itu, digantikan oleh pengagungan terhadap leluhur (Rasisme).

Berbasis rasisme inilah Yahudi kemudian “terhijab” dari monorealistik yang murni sebagaimana yang pernah diajarkan oleh para leluhurnya. Ajaran monorealisme (mereka) lalu bercampur dengan ajaran rasisme, dan itulah sebab kemurkaan Allah terhadap Bani Israel itu. Rasisme awal mula hanya berbasis pada doktrin eksklusifitas keluarga.

Lalu tumbuh membesar menjadi doktrin etnisitas setelah melalui perjalanan panjang keluarga yang menjadi pilar utama etnis itu. Demikianlah awal mula rasisme Yahudi itu hanya bermula dari keluarga Yehuda, putra Yakob.

Tanpa disadari sesungguhnya paraktek demokrasi yang sedang berlangsung di tanah air, sedang dijalankan melalui paham keluarga-isme ini. Seperti Sukarnoisme, Suhartoisme, SBY-isme, Prabowo-isme, (dan lain-lainnya) di ranah politik kepartaian, dan atau etnitisisme di ranah ekonomi, yang sedang kita saksikan dalam praktek konglomerasi di Indonesia.

Perkawinan politik ekonomi inilah yang sekarang menghasilkan oligharki. Merekalah yang mengendalikan buhul demokrasi kita dewasa ini.

Memang belum mencapai tahap radikalitas yang ekstream sebagaimana pencapaian dinasty Kim di Korea Utara. Namun tidak mustahil akan seperti dinasty Kim di Korea Utara itu, jika oligharki ini tidak segera diatasi.

Kepemilikan uang, harta benda yang melimpah disertai pengendalian atas kekuasaan politik, telah mengarah kepada penolakan ajaran agama, terutama ajaran monorealitas. Pernyataan bahwa semua agama sama, sesungguhnya penentangan terhadap monorealitas itu yang “tersamarkan”. Sesungguhnya itu bentuk dari pengingkaran terhadap nurani manusia, bahwa mustahil seorang manusia itu dapat menerima adanya konsepsi keimanan kepada banyak Tuhan.

Padahal mustahil memiliki jiwa demokratis, bagi mereka yang tidak memiliki paham Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya melalui paham Ketuhanan Yang Maha Esa inilah akan muncul persaudaraan sejati sebagai sesama makhluk ciptaan.

Kemampuan menerima perbedaan (dalam pengertian seluas-luasnya dari kata ini), kemauan berdialog menemukan solusi secara bersama-sama; kesediaan berbagi dalam menikmati kegembiraan dan kesedihan, kemajuan maupun tantangan, semua itu hanya dapat terjadi jika setiap manusia memiliki pandangan bahwa mereka semua adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Sebaliknya, tidak akan terjadi jika masing-masing individu berpandangan bahwa Tuhan banyak, dengan ajaran yang berbeda-beda. Tuhan Yang Maha Esa itulah yang menciptakan banyak jenis makhluk.

Dan perbedaan-perbedaan merupakan realitas ciptaan itu sendiri. Karena segala sesuatu yang banyak, tentulah berasal dari yang satu.

Persatuan dengan demikian adalah perbuatan makhluk, yang menyadari perbedaannya, lalu mencari titik temu diantara mereka dengan menemukan doktrin asas dari penciptaan mereka, yakni tauhid. Bahwa “tidak ada ilah selain Allah”. Inilah titik temu dari pluralitas manusia. Allah itulah monorealitas dan semua ciptaan-Nya tentulah dalam pluralitas.

Demokrasi tanpa pandangan monorealitas dengan demikian adalah absurditas yang nyata. Demokrasi yang demikian itu adalah kemunafikan.

Simaklah realitas yang terjadi, dan insya Allah akan anda temukan kebenaran, bahwa Demokrasi mesti ditegakkan di atas pilar monorealitas.

Monorealisme sebagai paham ketunggalan realitas; bahwa hanya Allah SWT sebagai satu-satunya Yang Maha Real, satu-satunya Yang Wujud, Satu-satunya Yang Eksisten itu, menghadirkan kesadaran pluralitas bagi makhluk. Dan kesadaran atas pluralitas inilah alasan kenapa demokrasi itu diperlukan dalam kehidupan sosial manusia di dalam membangun peradabannya.

Oleh : Hasanuddin
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini