Anwar Abbas Kritik, Jokowi Menjawab (Reforma Agraria Warisan Ruwet Rezim Orba)

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tanpa Tedeng aling-aling Anwar Abas (Waketum MUI) melakukan kritik soal jomplangnya penguasaan lahan di Indonesia. Kritik tersebut disampaikannya pada Kongres Ekonomi Umat Islam II Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jumat (10/12/20021). Entah ada kaitannya atau tidak antara kritik dengan acara, yang pasti issue ini kembali menjadi perdebatan dan pembahasan warganet secara viral.

Seperti diketahui saat debat Capres 2019 lalu sesungguhnya issue ini sudah merebak saat Prabowo juga mengatakan bahwa hanya segelintir elite yang menikmati mayoritas lahan di Indonesia. Tanpa ia sadari pula, bahwa dirinya termasuk dalam jajaran elite penguasa lahan tersebut. Issue itu sempat booming menjadi trending topic namun setelah itu mereda. Dan kini kembali dibahas setelah MUI turut membicarakan issue kepemilikan lahan. Apa kaitannya?

Pernyataan Anwar Abbas itu mendapat dukungan dari KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) yang memandang pemerintahan Jokowi masih belum serius menggarap issue reforma agraria selama 6 tahun ini. “Kami memandang janji ini belum serius dikerjakan. Sepanjang 6 tahun terakhir (2015-2020), telah terjadi 2.291 letusan konflik agraria di seluruh provinsi,” kata Dewi Kartika, Sekjen KPA, Rabu (15/12).

Menurut Dewi, sumber ketimpangan struktur dan konflik agraria di Indonesia adalah korporasi perkebunan menguasai tanah dalam skala yang luar biasa dan difasilitasi pemerintah melalui penerbitan, perpanjangan, maupun pembaruan HGU. Selain itu, terdapat pembiaran terhadap penelantaran HGU. Dewi menyampaikan persoalan HGU ini menjadi pekerjaan rumah besar dalam enam tahun terakhir.

Masyarakat, khususnya penggarap, buruh tani, masyarakat adat, dan warga miskin tanpa tanah menantikan penyelesaian persoalan ini. “Konflik agraria akibat HGU/HGB menjadi pekerjaan rumah besar saat ini,” ujar Dewi. Ia juga mengatakan bahwa penertiban tanah HGU/HGB yang terlantar sudah semestinya dilakukan sejak awal pemerintahan dan menjadi prioritas. Pembiaran secara berlarut terhadap persoalan ini, kata Dewi, menjadi penyebab ketimpangan tanah di Indonesia.

Bak gayung bersambut, apa yang disampaikan Anwar Abbas dan Dewi Kartika langsung direspon oleh pemerintah melalui Mahfud MD dan juga Presiden Joko Widodo sendiri. Menurut Mahfud, yang disampaikan Anwar Abbas itu adalah yang memang legal. Artinya, negara (pada masa itu) memberi secara resmi tapi tak adil. “Karena itu pak Jokowi jawab, ‘loh itu terjadi dulu’. Tapi memang itu terjadi di masa lalu,” ujar Mahfud.

“Artinya apa, sekarang kita wajib melanjutkan karena sudah diberikan secara sah berdasar hukum, keputusan pemerintah tak bisa dibatalkan sepihak oleh negara,” kata Mahfud dalam pidatonya di rapat kerja nasional Satgas Saber Pungli di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu (15/12). Mahfud tidak menutupi adanya ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia. Bahkan menyebut 1% penduduk bisa menguasai hingga 70% lahan.

Lebih lanjut Mahfud mengatakan ia memiliki data tentang penguasaan tanah oleh segelintir orang tersebut, “Yang legal saja pakai kongkalikong gitu. Tapi memang itu terjadi di masa lalu. Lalu ada yang protes. Kalau enggak percaya datang ke kantor saya. Saya punya siapa yang punya HPH sekian juta hektare, kapan dikeluarkan, tahun berapa dikeluarkan, saya punya,” kata Mahfud. Mahfud menegaskan justru Jokowi berkomitmen menghentikan ketimpangan tersebut.

Apa yang disampaikan Menkopolhukam tersebut juga sudah disampaikan sebelumnya oleh Jokowi secara langsung dalam acara yang sama. Jokowi membenarkan terdapat ketimpangan kepemilikan atas tanah di Indonesia. Jokowi lantas mengatakan bahwa pemerintah sedang mengembalikan 12 juta hektar lahan ke masyarakat. Jokowi juga menyampaikan pemerintah juga membuat bank tanah dan akan mengambil alih lahan pemberian yang tidak dimanfaatkan masyarakat.

Pada kesempatan tersebut, Jokowi terlihat sangat serius menjawab kritik Anwar Abbas hingga harus mengabaikan teks pidato yang seharusnya ia bacakan. “Ini saya sudah disiapkan untuk membaca, tapi saya ingin jawab langsung apa yang tadi disampaikan Buya Anwar Abbas,” ujarnya sambil menutup kembali map berisi salinan pidatonya. Ia mengaku benar kritik itu, tapi itu terjadi di pemerintahan sebelumnya. Jokowi juga siap menerima permintaan masyarakat yang butuh lahan.

“Jika bapak ibu sekalian ada yang memerlukan lahan dengan jumlah yang sangat besar silahkan sampaikan kepada saya, akan saya carikan, akan saya siapkan, berapa? Sepuluh ribu hektar, bukan meter persegi, hektar, lima puluh ribu hektar? Tapi dengan sebuah hitung-hitungan proposal yang visible, artinya ada visibility study yang jelas akan digunakan apa lahan itu… akan saya berikan,” kata Jokowi yang mendapat aplause dari peserta kongres.

Sebelum ini, dalam merespon issue reforma agraria, Jokowi telah menerbitkan sertifikat lahan yang dimiliki masyarakat yang selama ini sulit diurus dan didapatkan. Selain itu negara juga memberikan lahan kepada masyarakat yang memang membutuhkan untuk dikelola dengan serius dan benar. Jokowi sempat mengancam kepada pemilik HGU dalam jumlah besar, akan mencabut hak jika lahan tersebut ditelantarkan. Lahan itu lah yang akan diberikan kepada masyarakat yang ingin mengelolanya.

Jokowi juga telah memberi hak kelola lahan bagi masyarakat adat (hak Ulayat) dengan menerbitkan kebijakan SK Hutan Adat. Penyerahan SK Hutan Adat tersebut diharapkan memberi kepastian bagi masyarakat adat yang telah menempati dan mengupayakan lahan di kawasan hutan dalam kurun 20 tahun. Penyerahan SK ini, merupakan wujud komitmen pemerintah yang ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan rakyat kecil, utamanya yang berada di dalam kawasan hutan.

“Artinya yang pegang lahan ini tidak hanya yang gede-gede (korporasi). Saya selalu sampaikan, saya enggak pernah memberikan ke yang gede-gede. Tapi ke rakyat yang kecil-kecil saya berikan,” tegas Presiden. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar, organisasi yang konsisten memperjuangkan hak masyarakat adat, menyambut baik penyerahan SK Hutan Adat oleh Presiden Jokowi tersebut.

“AMAN Kalbar memberi apresiasi kepada pemerintah pusat melalui Kementerian LHK yang telah menetapkan Perda Masyarakat Hukum Adat di tujuh Kabupaten Sintang,” kata Ketua BPH AMAN Kalbar Dominikus Uyub. Pada 2017, Jokowi juga memberi surat pengakuan dan pemberian hak pengelolaan hutan adat kepada 9 masyarakat hukum adat di wilayah Jambi, Sulteng, Kalbar, dan Kaltim dengan luas kawasan mencapai 3341 hektare dan melingkupi 3.111 keluarga.

Kebijakan Presiden Jokowi ini bisa dilihat dalam perspektif melindungi hak tanah atau hak ulayat masyarakat adat sebagai upaya mematahkan warisan buruk rezim Soeharto. Warisan buruk itu adalah perampasan hak tanah masyarakat adat secara sistematis. Perampasan hak tanah masyarakat adat memang berakar dari pemberlakuan Undang-undang (UU) No. 5/1967 tentang Kehutanan di awal berkuasanya rezim Soeharto.

Dalam UU itu telah diatur penetapan kawasan hutan oleh negara. Regulasi ini diterbitkan untuk mengakomodir kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai konsesi pengusahaan hutan terhadap para pemilik modal, terutama asing. Permasalahannya, diberbagai kawasan hutan yang ditetapkan sebagai wilayah konsesi itu telah berdomisili masyarakat adat yang kebanyakan hidup sebagai peladang berpindah, seperti suku Sakai dan suku Anak Dalam di Sumatera, maupun berbagai rumpun suku Dayak di Kalimantan.

Artinya, rezim Soeharto telah memberikan izin pada berbagai perusahaan untuk mengeksploitasi wilayah hutan alam tanpa menghiraukan hak-hak masyarakat adat yang hidup disekitar ataupun didalam kawasan hutan. Walhasil, terjadi penguasaan oleh berbagai korporasi terhadap hutan alam sehingga membuahkan terjadinya tumpang tindih lahan antara tanah ulayat milik masyarakat adat dengan areal konsesi milik pengusaha. Inilah awal dari penindasan panjang terhadap hak ulayat masyarakat adat.

Oleh : Agung Wibawanto

- Advertisement -

Berita Terkini