Demokrasi ala Natalius Pigai

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tokoh pejuang kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM), ramai-ramai “diserang” oleh beberapa orang “relawan” Jokowi. (Kata relawan saya mesti tulis dengan tanda petik (“-“) karena makna kata itu dalam realitasnya jauh berbeda dengan makna teks-nya). Kenapa “relawan” itu menyerang Pigai, disebabkan karena ciutan Pigai di akun Twitter-nya, tentang Jokowi dan Ganjar.

Penyebutan kedua nama itu sendiri, dalam pengakuan Pigai adalah sebagai pribadi, bukan dalam kapasitas sebagai pejabat Publik. Demikian penjelasan Pigai di studio TVONE. Menarik bahwa saat tampil di TVONE itu, Pigai nampak lebih mampu bersikap tenang, tidak emosional, dibanding “relawan” Jokowi, yang nampak “meledak-ledak”, bicara tanpa dipersilahkan, berteriak-teriak, sambil mulutnya bicara moral.

Menyaksikan debat yang juga menampilkan Roy Suryo (di studio) dan Yenny Wahid (dari luar studio), itu cukup “menggelikan”. Bagi saya, sisi hiburan dari diskusi itu lebih menonjol daripada sisi edukasinya.

Bagi orang asli Papua seperti Natalius Pigai, tidak perlu diminta untuk meneliti atau mengekplorasi lebih mendalam situasi masyarakat Papua, hanya untuk menjustifikasi “kebolehannya” berbicara tentang masyarakat Papua, karena dia sendiri, lahir dan besar di tanah Papua itu.

Karena itu, sekalipun dia tidak di mandatir untuk bicara atas nama Papua, tapi seluruh dimensi dirinya, secara lahir dan batin adalah representasi “orang Papua”. Kembali saya mesti menggunakan tanda petik untuk frase “orang Papua”, karena yang saya maksud bukan nama provinsi ketika menyebut kata “Papua”. Berbeda dengan Natalius Pigai saat menyebut kata Jawa Tengah, pada ciutannya bahwa yang dia maksud adalah nama Provinsi.

Apa yang disampaikan oleh Natalius Pigai itu, bagian dari kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi, dan sama sekali tidak ada unsur rasisme di dalamnya, karena penyebutan kata “Jawa” dalam ciutannya (Jawa Tengah) adalah nama provinsi, bukan nama suku bangsa. Lalu kenapa dipersoalkan oleh “relawan” itu.

Saya sudah katakan diatas bahwa “relawan” ini dalam realitasnya berbeda dengan makna teks dari kata “relawan” itu. Relawan itu “tanpa pamrih”, atau ikhlas dalam melakukan sesuatu. Tidak disertai harapan untuk dapat “poin”, lalu poin itu diberlakukan seperti koin, yang seolah bisa ditukar dengan posisi tertentu, apakah komisaris atau keuntungan politik lainnya. Memang, istilah “relawan” ini sepertinya telah menjadi “kamuflase” dalam praktek berdemokrasi kita beberapa tahun terakhir.

Sebuah istilah yang memiliki keluhuran yang “tinggi”, dan “mulia”, di reduksi ke alam rendah oleh orang-orang yang berpikiran pragmatis, untuk meraih sesuatu pada momentum politik tertentu. Tapi itu juga realitas demokrasi kita dewasa ini, yang nampak telah “diterima” oleh sebagian kalangan sebagai kewajaran, atas situasi demokrasi yang belum mencapai derajat atau harkat dan martabat yang memadai.

Terakhir, kepada Bung Natalius Pigai, hak anda untuk terus bicara, menjadi penyambung lidah masyarakat Papua, yang dalam diri anda mengalir darah, nafas dari pahit getirnya kehidupan warga Papua. Maju terus, sambil belajar, untuk lebih mawas diri, lebih diplomatis dalam menghadapi para “body guard” penguasa yang berjenis kelamin “relawan” itu. Teruslah bicara demorkasi, karena bisa jadi, orang akan belajar demokrasi dari anda Bung!

Oleh : Hasanuddin
Ketua Umum PB HMI 2003-2005

- Advertisement -

Berita Terkini