Evaluasi 19 Bulan Kinerja Covid-19 di Indonesia, Antara Konspirasi dan Realita

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Di Indonesia, kasus pertama COVID-19 terjadi pada bulan Maret 2020 di Kota Depok, Jawa Barat. Setelahnya, penyebaran COVID-19 terjadi secara cepat hingga dalam kurun waktu satu bulan, jumlah infeksi COVID- 19 mencapai lebih dari 1.500 kasus dengan jumlah kematian mencapai 139 orang. Hingga akhir bulan Maret 2021, jumlah konfirmasi kasus COVID-19 di Indonesia mencapai lebih dari 1,3 juta orang dengan jumlah kematian lebih dari 40 ribu orang. Dengan jumlah tersebut, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara dengan kasus positif COVID-19 terbanyak (WHO, 2020).

Pandemi COVID-19 tidak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, tetapi juga mempengaruhi kondisi perekonomian, pendidikan, dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, Pemerintah Indonesia telah menerapkan beberapa langkah seperti menganjurkan warganya untuk tetap berada di rumah hingga pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), tertib menggunakan masker dan rajin mencuci tangan menggunakan sabun dengan air mengalir, dan banyak lainnya meskipun memang kebijakan tersebut menunjukkan adanya pembatasan kebebasan masyarakat sipil untuk berkumpul serta adanya kemunduran dalam kinerja masyarakat dalam sektor ekonomi yang pada akhirnya berujung pada melemahnya perekonomian secara nasional.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, angka pengangguran di Indonesia selama pandemi Covid-19 meningkat dari 4,9 persen menjadi 7 persen. Dikatakan Ida, dalam lima tahun terakhir pemerintah berhasil menurunkan angka pengangguran menjadi 4,9 persen. “Tapi karena adanya pandemi Covid-19 usaha yang kita lakukan lima tahun terakhir menjadi berantakan. Pengangguran kita naik dari 4,9 persen menjadi 7 persen atau 9,7 juta orang.

Selain itu, Sri Mulyani menyampaikan bahwa utang pemerintah pada akhir tahun 2020 mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun. Utang membuat defisit fiskal tembus 6,1 persen dari PDB pada tahun 2020.

Fenomena ini membawa petaka tidak hanya pada aspek kesehatan dan ekonomi akan tetapi bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat, terlebih sejak diberlakukannya social distancing yang kemudian diubah penamaannya menjadi phsyical distancing. Pada pemberlakuannya, masyarakat diimbau agar menjauhi kontak fisik antara satu orang dengan lainnya, selalu berdiam di rumah, menghindari kerumunan, selalu mencuci tangan, hingga selalu memakai masker.

Bahkan saat COVID-19 sedang gencarnya, muncul tagar “dirumahaja” di media digital sebagai aksi seruan agar tidak keluar rumah dan menghindari penyebaran virus. Semua kegiatan beralih fungsi dari yang asalnya serba tatap muka, menjadi daring atau dalam jaringan. Ibadah di tempat beribadah ditiadakan sementara, sekolah diliburkan sementara dan belajar online lewat media digital, pegawai kantor yang bekerja dari rumah.

Pandemi COVID-19 memberikan dampak dalam waktu yang cukup panjang. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan memperparah kemiskinan. Tateno & Zoundi (2021) memperkirakan jumlah penduduk miskin global akan bertambah menjadi lebih dari 130 juta selama pandemi Covid. McKibbin & Fernando (2020) menambahkan bahwa sekitar 49 juta orang akan mengalami kemiskinan ekstrem. Pembatasan wilayah, baik yang dilaksanakan secara penuh maupun sebagian memiliki kontribusi terhadap penurunan pendapatan keluarga miskin. Namun demikian, penurunan pendapatan justru diikuti oleh peningkatan pengeluaran karena anggota keluarga lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

Sekitar sepertiga keluarga miskin dengan anak mengalami peningkatan pengeluaran pada masa pandemi. Peningkatan kemiskinan di wilayah perkotaan cenderung akan lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Hal ini disebabkan terganggung suplai bahan makanan dari perdesaan ke perkotaan. Hambatan dalam suplai akan meningkatkan harga bahan makanan sehingga meningkatkan pengeluaran konsumsi di wilayah perkotaan.

Pandemi COVID-19 juga memiliki dampak tidak langsung, yaitu potensi penurunan kualitas generasi mendatang. Keluarga berpenghasilan rendah dengan tingkat pendidikan rendah relatif mengalami dampak yang lebih buruk dibandingkan keluarga berpenghasilan tinggi dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Selama masa pandemi, layanan pendidikan bagi anak menjadi terbatas.

Bagi keluarga dengan tingkat ekonomi rendah, hal tersebut menjadi suatu hambatan karena mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menyediakan layanan pendidikan di rumah. Selain pendidikan, keluarga dengan tingkat ekonomi rendah juga cenderung tidak mampu mengakses layanan kesehatan. Kondisi tersebut berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup masyarakat dan nantinya berdampak terhadap kualitas generasi mendatang.

Dari hal tersebut, Kinerja Covid-19 selama 19 bulan di Indonesia dirasa sudah pada tupoksinya, namun pertanyaan yang muncul bahwa Benarkah ada konspirasi pada suatu peristiwa wabah yang banyak merenggut jiwa manusia pada suatu masa, seperti wabah Covid-19 yang menimpa dunia hari ini? atau apakah wabah tersebut benar-benar terjadi tanpa ada konspirasi jahat di dalamnya? Kedepan pertanyaan itu mampu dirasionalisasikan melalui data yang sehat dan informasi yang akurat.

Penulis : Ramon Hidayat (Peserta Advance Training HMI Badko Riau-Kepri)

- Advertisement -

Berita Terkini