Gimik Politik Pejabat

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Akhir-akhir ini kita sering dipertonton lewat media tilevisi atau sebuah video di media sosial online berbagai atraksi yang dilakukan oleh para pejabat atau para politisi. Pejabat-pejabat tersebut banyak beratraksi bak seorang aktor yang terus mencari simpati penonton. Ada pejabat yang blusukan sampai ke parit jalan, masuk ke apotek menyamar sebagai penjual, mengangkat meja, menginap di rumah warga, menjumpai petani, ada yang sidak dan berbagai macam atraksi lainnya yang seharusnya itu tidak penting dilakukan oleh pejabat tinggi negara atau pejabat politisi. Anehnya, pintu dibuka agar diliput media dan dipertonton kepada seluruh khalayak.

Semuanya itu adalah gimik (gimmick), dan sekarang gimik sedang trand dipertonton oleh para pejabat di Indonesia ini. Dipublikasikan dalam bentuk tulisan dan video, disebarkan ke berbagai lini, dan mendajadi viral. Menurut saya, yang kita lihat itu adalah gimik. Gimik (sebagaimana kita kutip dari Wikipedia) adalah pemanfaatan kemasan, tampilan, serangkaian adegan untuk mengelabuhi, memberikan kejutan, menciptakan suatu suasana, atau meyakinkan orang lain. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gimik adalah gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran.

Gimik biasanya sering dipakai dalam dunia pemasaran (marketing). Gimik menjadi salah satu strategi marketing suatu produk dengan menggunakan cara-cara yang tidak biasa agar cepat dikenal dan banyak diminati. Gimik juga dapat merujuk pada fitur produk yang membuatnya lebih menarik tetapi tidak penting untuk fungsi produk. Hal ini juga dapat merujuk kepada jenis iklan tertentu, dimaksudkan untuk meningkatkan penjualan produk. Hal ini sering disebut gimik iklan.

Bukan hanya di dunia marketing. Gimik juga sering dipertontonkan dalam dunia hiburan dengan tujuan untuk menarik perhatian penonton dengan berbagai cara seperti melakukan adegan khusus, penampilan yang khas (memakai baju adat), dengan menggunakan musik, yel-yel dan nyanyian,. Dan pertunjukan dalam dunia gimik hiburan ini sudah diatur adanya penonton yang berteriak-teriak, bertepuk tangan untuk meyakinkan bahwa pertunjukan tersebut sangatlah meriah. Padahal, sebagian dari penonton ada yang telah dibayari untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut, seperti berteriak-teriak dengan penuh kehebohan dan keseruan, bertepuk tangan sesuai ritme yang telah diatur.

Nah, perilaku gimik iklan dan gimik hiburan di atas, terdapat juga dalam gimik politik yang dipertontonkan oleh para pejabat dan politisi kita, seperti yang kita sebutkan di awal tadi. Gimik para pejabat dan atau politisi dilakukan dalam sebuah peristiwa yang mengharukan, untuk menyentuh perasaan. Tujuannya untuk menarik simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Mengharapkan puja-pujian agar nampak terlihat bekerja, padahal peristiwa dan pertunjukannya sudah diatur sebelumnya.

Gimik politik para pejabat sudah diatur sedemikian rupa, media yang berguna untuk mempublikasikan sebuah pertunjukan sudah diatur dan jadwalnya sudah ditentukan. Seperti, hari ini sidak ke kantor A; minggu depan blusukan di parit jalan B; pakai baju khas C; menyapu kantor; mengangkat kursi; dan mencium wajah seoerang nenek; mencium wajah imut seorang bayi; dan semuanya sudah diorganisir.

Semakin banyak dan semakin sering para pejabat bergimik, maka tampaklah sebuah manajemen ditingkat pejabat itu sangat lemah. Padahal, semuanya sudah memiliki tugas dan wewenang masing-masing. Semakin bergimiknya para pejabat, maka semakin tampaklah bahwa tidak adanya keprofesionalan dalam bertugas. Menyapu kantor dan jalanan tidak perlu dilakukan seorang pejabat, padahal di rumah ia malas menyapu rumah. Ia beratraksi mencium wajah seorang anak, tapi anaknya sendiri di rumah jarang ia kecup. Toh sudah ada pekerjaan masing-masing.

Semakin banyak pejabat bergimik politik, nampaklah bahwa seorang pejabat tersebut tidak memiliki kepecayaan kepada bawahan yang seharusnya mengerjakan apa yang menjadi pekerjaan gimiknya itu. Ia (pejabat) seharusnya dapat mengevaluasi bawahannya apabila pelayanan pekerjaan tidak baik atau tidak maksimal dan kemudian memerintahkan agar bekerja lebih baik, tidak perlu bergimik. Untuk mengangkat meja di hadapan guru-guru, tidak perlu dilakukan oleh seorang pejabat Menteri dan seorang pejabat Walikota, toh sudah ada yang bertugas dalam hal itu. Saat disebarkan di media sosial online, sudah ada beberapa akun netizen disiapkan untuk menuliskan puja-pujian terhadap apa yang ditunjukkan (gimik) sang pejabat tersebut.

Gimik politik ini pun dengan mudah juga terlihat pada saat berkampanye. Seorang politisi banyak mendatangi lembaga-lembaga sosial, membantu masyarakat dengan memberikan sumbangan sembako, mendatangi para tokoh-tokoh pesantren dengan bersujud mencium kaki sang ustad atau kiyai, sanga pejabat itu shalat begitu sering padahal ia jarang shalat, membayar makanan orang-orang agar memilihnya, mencium anak kecil lagi, menjenguk orang sakit, dan kemudian mengumbanr janji akan ini dan akan itu jika terpilih. Setelah terpilih, janji hanya tinggal janji, gimik kembali ditunjukkan dengan cara lain.

Gimik politik para pejabat ini sudah menjadi hal yang lumrah dilakukan. Kita tidak boleh mudah terpengaruh dengan gampang menaruh simpati. Sebab, gimik politik itu dilakukan memang dalam rangka untuk menarik perasaan agar mengapresiasi mereka. Padahal mereka belum melakukan apa-apa kecuali hanya gimik, seolah-olah peduli pada rakyat. Pertunjukan itu sebenarnya menutup ketidak-becusan kinerja mereka selama menjabat. Gimik politik itu hanya muslihat atau tipu daya untuk mengelabui kekritisan pikiran masyarakat.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Profesor Azyumardi Azra berpendapat bahwa gimik (gimmick) digunakan untuk menghapus “dosa-dosa” yang telah diperbuat. Seoerang pimpinan, pejabat atau politisi salah satunya harus mempunyai political will, sebuah kebijakan yang konkret, bukan di luar dari tugas dan wewenang jabatannya.

Gimik politik juga dipertunjukkan oleh seorang pejabat untuk menenagkan publik. Sekali lagi kita tegaskan, seperti yang kita sebutkan di atas, tujuan gimik tersebut adalah untuk menarik perasaan simpati, merasa kasihan dengan kerja-kerja blusukan dan angkat-angkat meja, angkat-angkat sampah, dan masuk ke selokan. Sebenarnya itu tidak perlu untuk dilakukan oleh seoerang pejabat, tapi bukan berarti tidak peduli rakyat. Sangat mudah kita bedakan mana pejabat yang gimik, dan mana pejabat yang benar-benar peduli rakyat. Lihatlah kebijakan yang dibuatnya, pro pada rakyat atau pro pada korporat dan kelompok-kelompoknya?

Seorang pejabat tidak perlu bergimik. Kita sebagai rakyat tidak perlu mengapresiasi perilaku gimik mereka. Jika mereka bertugas dengan baik, sewajarnya sudah itu tugas mereka, tidak ada yang perlu diapresiasi. Tapi jika mereka penuh gimik, tapi banjir tak kunjung terselesaikan, percuma turun ke selokan. Tidak perlu seorang pejabat mengecup wajah seorang anak miskin, jika sampai saat ini banyak anak miskin yang putus sekolah. Tidak perlu seorang pejabat mengecup wajah seorang nenek yang sakit, jika jaminan masa sehat sampai tua tetap mahal. Daripada bergimik, lebih baik menjalankan program kemasyarakat dengan benar-benar dan adil. Hal ini lebih dibutuhkan oleh rakyat kita di Indonesia saat ini. Sekali lagi kita tidak butuh gimik politik para pejabat.[]

Oleh: Ibnu Arsib (Peggiat Literasi di Sumut)

- Advertisement -

Berita Terkini