Munir Masih Misteri

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tujuh September pukul 08.10 waktu Amsterdam, tepat tujuh belas tahun yang lalu, seorang penumpang pesawat GA-974 dengan nomor kursi 40 G, tujuan Amsterdam-Belanda, dikabarkan menghembuskan nafas terakhirnya di dalam pesawat dua jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol Amsterdam.

Tiga jam saat lepas landas dari Singapura (transit), tanda-tanda buruk sudah terlihat oleh awak kabin pada penumpang kursi 40 G tersebut. Awak kabin sempat melaporkan kepada sang pilot Pantun Matondang bahwa ada seorang penumpang yang bolak balik ke toilet. Sang pilot itu memerintah pada salah satu awak kabinnya untuk memonitor kondisi si penumpang tersebut. Melihat kondisi sang penumpang itu bertambah buruk, sang penumpang itu pun dipindah ke dekat seorang penumpang lain yang berprofesi dokter.

Sang dokter sempat merawat sang penumpang dengan kondisi yang meringis kesakitan tersebut. Akan tetapi, usaha sang dokter untuk menolong sang penumpang yang meringis kesakitan di dalam perutnya itu tak berhasil. Setelah memeriksa, Sang dokter menyaksikan bahwa sang penumpang telah tiada. Langit Amsterdam berduka, langit Indonesia (tanah air Sang korban yang meninggal dunia) mendung saat mendengar kabar, dan seluruh langit dunia Berbelasungkawa.

Jenazah sang penumpang itu pun diterbang ke negeri kelahirannya. Negeri yang sedang ia lindungi dari tangan-tangan tirani, otoriter, dan negeri yang banyak dihuni sekelompok yang ingin menyingkirkannya, sebab takut kejahatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) mereka terbongkar oleh sang penumpang semasa hidupnya. Tak diragukan lagi, kegigihan dan perjuangan sang penumpang itu semasa hidupnya membela HAM dan membongkar pembunuhan serta orang-orang hilang membuat ia harus disingkirkan.

Keberaniannya membongkar kejahatan ditaruhkan dengan nyawa, idealismenya tak runtuh dengan godaan materi dan jabatan, dan sosoknya dicintai banyak orang. Sampai jenazahnya dimakamkan, namanya tak pernah dilupakan, kematiannya dijadikan Hari Pembela HAM di negerinya tercinta, Indonesia. Nama Munir Said Thalib tak akan pernah dilupakan oleh para pejuang HAM di Indonesia, bahkan di dunia.

Dua bulan setelah kepergiannya untuk selamanya, pada tanggal 12 November 2004, dari pihak Polisi Belanda yang sempat memeriksa jenazah sang Pembela HAM itu di Institut Forensik Belanda, mengeluarkan kabar bahwa mereka menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum di dalam tubuh sang Pembela HAM tersebut setelah dilakukan otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Artinya ia meninggal bukan dalam keadaan berpenyakit, akan tetapi ia sengaja dibunuh dengan cara meracuninya lewat minuman yang diberikan. Bukti racun itu ditemukan dalam air seni, darah dan jantung sang penumpang itu. Pada saat itu, pembunuhnya belum diketahui.

Untuk mencari tahu siapa pelaku yang membunuh Munir, maka dilakukanlah penyelidikan. Alhasil, seorang pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, diketahui adalah orang yang menaruh racun dalam minuman Munir. Pada saat itu, Pollycarpus berada dengan Munir di pesawat yang sama. Satu tahun kemudian, 25 Desember 2005, Pollycarpus pun dijatuhi vonis hukuman 14 tahun penjara.

Akan tetapi, Pollycarpus ternyata bukan menjadi aktor intelektual dibalik pembunuhan Munir. Berdasarkan penyelidikan lebih lanjut, pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Purwoprandjono ditangkap dengan dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun, pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa. Akhirnya tidak diketahui secara pasti siapa otak intelektual pembunuh Munir. Ini menjadi sebuah misteri.

Kasus pembunuhan Munir ini terus menjadi misteri saat Presiden SBY juga membentuk tim investigasi independen untuk mencari siapa pelaku utamanya, tetapi, entah apa sebab, hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Tahun 2016 yang lalu, Komisi Informasi Pusat (KIP) mengeluarkan keputusan agar Presiden Joko Widodo mengumumkan ke pada publik hasil penyelidikan tim pencari fakta siapa sebenarnya di balik misteri pembunuhan Munir. Anehnya, Sekretariat Negara justru mengajukan banding atas keputusan KIP tersebut kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada 16 Februari 2017 gugatan banding itu dimenangkan oleh pihak Sekretariat Negara (pemerintah). Ini semakin misteri mengapa pemerintah tidak mengumumkan siapa pelaku utama pembunuhan Munir. Seharusnya, Negera dalam arti Pemerintah mengumumkannya dan menindak secara adil pelaku utama pembunuhan tersebut.

Harapan masyarakat kepada dua Presiden (SBY dan Jokowi) untuk menuntaskan kasus itu tak kunjung membuahkan hasil. Padahal, saat berkampanye, mereka sering mengatakan akan menuntaskan masalah HAM di Indonesia. Pada kenyataannya itu hanya retorika belaka. Kematian Munir akhirnya sama dengan kematian orang-orang yang ingin dibela Munir semasa hidupnya, seperti Marsinah, buruh kasar yang dibunuh, kasus HAM di Tanjung Priok, dan kasus orang-orang hilang di rezim Orde Baru (Orba).

Sampai kapan ini terus menjadi misteri. Dua periode SBY menjadi presiden, pembunuh Munir terus bebas. Saat ini, Jokowi memasuki dua periode, tapi kasus pembunuhan Munir belum dibongkar siapa pelaku utamanya. Ada apa dengan pemerintah saat ini? Hal ini perlu dipertanyakan.

Anehnya lagi, sebagaimana yang dilansir Tempo, Dokumen Laporan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan Munir hilang. Hilangnya laporan itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016. Ketika itu, KontraS mendatangi kantor Sekretariat Negara meminta penjelasan dan mendesak segera dilakukan pengumuman hasil laporan TPF. KontraS kemudian menggugat Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg). Pada Oktober 2016, KontraS memenangkan gugatan terhadap Kemensetneg. Majelis hakim memerintahkan lembaga negara itu segera mengumumkan dokumen TPF. Namun, Kemensetneg mengaku tak memiliki dokumen tersebut. Ini hal yang aneh, bukan?

Kasus Munir sudah berjalan 17 tahun dan bakal memasuki masa kedaluwarsa ketika sudah 18 tahun, satu tahun dari sekarang atau pada 2022 nanti. Penanganan hukum dalam kasus pembunuhan Munir ditangani dengan aturan hukum pidana nasional, sehingga berdasarkan aturan kasus ini akan ditutup dan tak akan bisa diusut lagi atau daluarsa jika sudah 18 tahun. Artinya, jika pemerintah berlarut-larut, tak kunjung membongkar siapa dalang pembunuhan Munir, maka pelanggaran HAM ini akan tenggelam bersama sejarah, dan pelakunya (dalang utama) bebas begitu saja. Ini menjadi hutang dan bobok buruk bagi negara Indonesia. Usaha terakhir kita adalah membawa kasus ini ke tingkat internasional.

Di hari mengenang sosok pejuang HAM, Munir Said Thalib, musisi Glen Fredly mengatakan, Munir bukan hanya milik masyarakat Indonesia, tetapi juga milik dunia. Kematiannya tragis, namun peristiwa pembunuhan itu justru menyebarkan semangat di antara kami semua. Perjuangan Munir tidak boleh mati,” ungkapnya.

Tentu. Dan harus. Perjuangan Munir harus terus hidup. Bukan hanya perjuangannya, tapi Munir harus terus hidup dalam diri anak-anak muda. Menjadi generasi Munir yang berani membela dan memperjuangkan HAM di Indonesia, maupun di seluruh dunia. Di tengah kondisi banyaknya pelanggaran HAM di Indonesia, maka jiwa, semangat dan keberanian Munir menjadi ruh anak-anak muda Indonesia. Selamat jalan Pahlawan HAM.[]

Oleh: Ibnu Arsib (Penggiat Literasi di Sumut dan Mahasiswa FH UISU)

- Advertisement -

Berita Terkini