17 Tahun Kematian Munir Aktivis HAM Menuju Daluwarsa

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Pada 7 September 2004 Munir Said Talib yang merupakan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) tewas dibunuh saat dalam penerbangan pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974 dari Jakarta menuju Belanda. Munir yang semasa hidupnya melakukan pengabdian berupa pembelaan terhadap sejumlah permasalahan yang dialami kaum-kaum tertindas.

Tercatat beberapa upaya Munir dalam memperjuangkan tegaknya hukum guna mendapatkan keadilan seperti menjadi penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator advokasi kasus-kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui Kontras. Selain itu juga aktif dalam kegiatan advokasi dibidang perburuhan, agraria, lingkungan, gender dan sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik.

Sungguh tiada yang menduga dan menyangka nasib yang dialami Munir begitu tragis dan tidak wajar. Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak dapat menggambarkan peristiwa kematian yang dialami Munir. Dikarenakan tujuan awalnya kenegeri kincir angin Belanda untuk melanjutkan pendidikan magister hukum. Akan tetapi berdasarkan autopsi yang dilakukan kepolisian Belanda terdapat “racun arsenik” didalam tubuh hingga menyebabkan Munir tewas. Aktivis HAM pendiri Imparsial tersebut tewas 2 jam sebelum mendarat di Bandara Schipol Amsterdam, Belanda.

Hingga 7 September 2021 peristiwa kematian Munir masih menjadi misteri. Karena pihak penegak hukum hanya memproses pelaku tunggal yaitu Pollycarpus yang merupakan Pilot Pesawat Garuda ketika itu cuti dan turut dalam penerbangan yang sama dengan Munir. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 20 Desember 2005 menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara dengan berpendapat bahwa racun arsenik dimasukkan kedalam mie goreng yang dimakan Munir bukan pada minuman orange juice sebagaimana didakwakan.

Setelah serangkaian upaya hukum dilakukan oleh Pollycarpus hingga Peninjauan Kembali pada 25 Januari 2008 dimana Mahkamah Agung menjatuhkan vonis hukuman 14 tahun penjara. Pollycarpus telah meninggal dunia diakibatkan terpapar Covid-19 Sabtu, 17 Oktober 2020.

Meskipun demikian, motif pembunuhan yang dilakukan Pollycarpus kepada Munir tidak terungkap pada fakta persidangan. Sehingga masih menimbulkan tanda tanya, siapa dalang dan apa kepentingan sehingga Munir harus dibunuh. Berbagai pihak seperti Istri Munir, Kontras, Imparsial, lembaga-lembaga yang memperjuangkan hak asasi manusia meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan investigasi hingga mengungkap kejelasan penyebab, dalang pembunuhan Munir.

Sempat menaruh harapan kepada Pemerintah yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk pengungkapan kasus kematian tersebut. Upaya dilakukan dengan membentuk Tim Pencari Fakta. Namun setelah transisi kepemimpinan dari SBY ke Presiden Joko Widodo, ditahun 2016 Komisi Informasi Pusat mengeluarkan keputusan agar Presiden Joko Widodo untuk membuka hasil penyelidikan yang dilakukan Tim Pencari Fakta.

Akan tetapi, Sekretariat Negara melakukan gugatan PTUN atas keputusan KIP tersebut dan dimenangkan Pemerintah pada 16 Februari 2017. Dan putusan kasasi MA memperkuat putusan PTUN pada 13 Juni 2017. Sehingga temuan Tim Pencari Fakta tidak dipublikasikan.

Tepat 17 tahun kematian Munir belum terungkap dalang dibalik pembunuhan keji tersebut, yang diduga berasal dari kalangan berpengaruh dan memiliki kekuasaan dan sampai sekarang belum diseret kepengadilan. Sehingga publik mempertanyakan komitmen pemerintah untuk melindungi pembela Hak Asasi Manusia (HAM).

Sementara jika tidak segera diungkap, kasus kematian Munir dapat dinyatakan daluwarsa. Daluwarsa atau verjaring adalah lewatnya waktu yang menjadi sebab gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.

Dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bahwa pada dasarnya semua pelaku (dalam arti luas) dari suatu tindak pidana harus dituntut dimuka sidang pengadilan pidana, akan tetapi baik secara umum atau secara khusus undang-undang menentukan peniadaan dan/atau penghapusan penuntutan dalam hal-hal tertentu, misalnya karena daluwarsa. Jelas Pasal 78 ayat (1) KUHP bahwas kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa: Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, jangka waktu daluwarsanya 18 (delapan belas) tahun.

Diharapkan Presiden Joko Widodo dengan mengerahkan segala upaya untuk mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa kelam tersebut. Dua periode Presiden SBY tidak mampu mengungkap kasus tersebut dan hingga periode kedua Presiden Joko Widodo juga belum terlihat titik terang siapa dalang dan motif pembunuhan terhadap aktivis HAM tersebut.

Semakin lama pengungkapan lewatnya waktu, maka semakin sulit untuk memperoleh alat-alat bukti. Semakin lama ingatan saksi semakin berkurang bahkan lupa tentang suatu kejadian yang dilihatnya atau dialaminya. Demikian juga benda-benda bukti, dengan waktu yang lama akan menyebabkan benda itu menjadi musnah atau hilang. Dengan berlalunya waktu yang lama memperkecil keberhasilan, bahkan dapat menyebabkan kegagalan dari suatu pekerjaan penuntutan

Terakhir jika kasus Munir tidak terungkap dan daluwarsa, maka pihak penegak hukum telah gagal untuk menegakkan hukum dan tidak memberikan keadilan sebagaimana diinginkan. Dan sudah tentu menambah catatan hitam lemahnya penegakan Hak Asasi Manusia di Negara Indonesia. Karena hingga tahun 2020 kasus-kasus HAM masa lalu seperti Tanjung Priok, Semanggi I dan II, Marsinah, orang hilang (Wiji Tukul) dan lain sebagainya belum terungkap.

Akan Tetap Ada dan Berlipat Ganda

Oleh : S. Rangkuti, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Asahan

- Advertisement -

Berita Terkini