Beranikah KPU dan Bawaslu Tegas Menegur Jokowi Agar Netral Tidak Memihak?

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

 

Oleh: Agung Wibawanto

Sepertinya sudah bukan hal rahasia dan bukan sesuatu yang memalukan lagi ketika pelanggaran dilakukan. Sejak kasus keputusan MK yang fenomenal itu, satu persatu “pelanggaran” lainnya pun muncul dan seoalah biasa saja.

Bandingkan dengan sebelumnya. Presiden mengundang makan bersama ketua partai koalisi pemerintah saja sudah heboh minta ampun. Muncul kritik dari mana-mana.

Tetapi kini, publik sudah tidak tahu lagi mana pelanggaran mana tidak. Bahkan jika pelanggaran pun dianggap masa bodo. Hal ini karena ada pembiaran oleh lembaga-lembaga yang harusnya bisa menegur.

Dalam kaitan penyelenggaraan pemilu, mulai dari proses pendaftaran hingga nanti coblosan, KPU adalah lembaga yang diberi tanggungjawab penuh oleh negara.

Kerja KPU didampingi oleh Bawaslu sebagai pengawas. Dalam ketentuan UU Pemilu dan PKPU ada pula pihak-pihak yang diharuskan berlaku netral, salah satunya adalah presiden.

Presiden diibaratkan ketua KPK yang tidak boleh terlibat atau membantu bahkan mendekati orang yang berperkara. Tidak ada konflik kepentingan di dalam proses hukumnya. Begitu pun dengan presiden.

Peraturan yang membolehkan menteri berkampanye tanpa harus mundur sebenarnya juga peluang terjadinya conflict of interest antara presiden kepada menterinya.

Jokowi terkesan bebas bertemu dengan paslon Prabowo serta Ketum partai pendukung dengan alasan antara presiden dengan menterinya. Jika alasan itu, mengapa tidak bertemu khusus dengan Mahfud MD?

Mahfud MD adalah Menkopolhukam nya Jokowi, yang harusnya didengar jika alasan ingin mengetahui kondisi pemilu. Jokowi bicara pilpres dengan Prabowo, Airlangga dan Zulhas, mungkinkah bicara yang netral tidak memihak?

Mungkinkah bicara kemenangan bagi lawannya Prabowo? Publik tidak bisa dibodohi, dan mereka tahu Jokowi sebagai presiden sedang terlibat dalam pemihakan salah satu paslon.

Publik juga tahu, Jokowi sengaja blak-blak an mengadakan pertemuan itu agar dilihat publik. Publik pun paham Jokowi memihak Prabowo. Bukan sebuah simbol yang sulit dipahami.

Jokowi juga mengomentari debat yang sangat terlihat membela Prabowo yang pada debat memang babak belur. Jika Jokowi kemudian mengatakan dia bicara untuk semua paslon, publik juga tahu itu retorika murahan.

Jika ingin disebut negarawan dan bersikap netral, lihat apa yang disampaikan wapres Maruf Amin. Wapres tidak ingin mengomentari substansi debat dan membiarkan rakyat yang menilai.

Itu sebuah respon pejabat tinggi negara yang dipuji publik. Jokowi tidak bisa mangkir dan berlindung dibalik hal pribadinya dalam berpolitik. TNI-Polri dan ASN saja dilarang terlibat apapun dalam proses pemilu.

Padahal juga sama, sebagai pribadi mereka punya hak berpendapat. Jokowi juga sudah secara terang-terangan mengomentari apa yang menjadi kewenangan KPU yakni format debat.

Bahkan Jokowi meminta agar format debat bisa diubah. Usulan ini pun ditolak mentah-mentah oleh ketua KPU. Apa urusannya presiden memasuki pembahasan format debat?

Jauh sebelum itu, Jokowi juga kerap berseliweran di kamera kaca media televisi. Bukan mengampanyekan pemilu damai, tapi masuk dalam iklan PSI.

Jokowi jelas mengatakan “PSI Menang, Menang, Menang!” hingga diulang berkali-kali. Iklan tersebut juga menyebar hoax mengatakan sebagai partainya Jokowi. Sejak kapan Jokowi masuk dan atau memiliki partai PSI? Sesat informasi.

Tidak ada tanggapan sama sekali oleh media, KPU, Bawaslu apalagi pihak istana. Ini perilaku apa? Adanya pelanggaran ini dan beberapa kali, harusnya bisa menjadi pelajaran bagi presiden agar tidak turut campur dalam proses pemilu.

Jika bicara etika politik, harusnya Jokowi mendukung Ganjar dan PDIP, karena Jokowi adalah kader PDIP. Tentu ini adalah sebuah upaya politik Jokowi yang dilakukan secara sadar dan berencana.

Hal ini sangat riskan demi penyelenggaraan pemilu yang luber dan jurdil serta demokratis. Mengingat Jokowi masih memiliki kekuasaan yang melekat dalam dirinya, baik sebagai presiden maupun pribadi.

Pembagian sembako oleh presiden dengan gambar poster Prabowo-Gibran adalah salah satu bentuk abuse of power. Memanfaatkan kekuasaan agar elektabilitas Prabowo semakin tinggi.

Apabila diteruskan dan hanya dibiarkan, mengingat status Jokowi sebagai presiden, maka publik tidak akan mempercayai KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu.

Partisipasi pemilih bisa gagal mencapai target karena tingkat kepercayaan publik semakin menurun. Untuk itu, KPU dan Bawaslu tidak boleh takut karena memang itu sudah kewajiban dan tugas mereka.

Jangan ciderai proses pesta demokrasi rakyat ini dengan perilaku-perilaku kekuasaan yang menyimpang.

- Advertisement -

Berita Terkini