HRS dan Produk Hukum Kolonialis Serta Komunis

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Habib Rizieq Shihab (HRS) menjadi Topik utama pembicaraan di seantero Indonesia dan juga seluruh Media, baik media mainstream ataupun media Sosial. Kasus HRS mengenai Protokol Kesehatan (Prokes) terus dijadikan alasan utama untuk “membungkam” sosok HRS.

Produk hukum untuk menjerat HRS adalah pasal 160 dan pasal 216 KUHP. Pasal ini menjadi sesuatu yang seperti dipaksakan untuk menjerat HRS. Padahal HRS sudah membayar denda sebesar 50 juta, seharusnya tidak perlu lagi ada pemidanaan bagi beliau. Banyak pakar hukum mengatakan bahwa dalam kasus HRS tidak bisa sama sekali menjadi pidana, karena tidak ada delik materilnya.

Kasus HRS seakan-akan memperlihatkan kebobrokan hukum yang dijalankan oleh aparat. Aparat seakan-akan memiliki kuasa penuh dalam menentukan siapa yang berhak menjadi tersangka atau tidak tersangka. Padahal dalam proses hukum haruslah ada prosedur yang sesuai sebelum seseorang tersebut dijadikan tersangka.

Apalagi jika kasus ini hanya sekedar pelanggaran Prokes, maka sangat tidak masuk akal jika dinaikkan menjadi tersangka.

Teuku Nashrudin SH MH sebagai pakar hukum mengatakan dalam wawancara di Channel Youtube Realita TV bahwa “Pasal 160 KUHP adalah pasal yang digunakan Kolonial pada zaman Belanda untuk menciduk atau menangkap para Pahlawan yang menyuarakan kebenaran dan melawan rezim Hindia Belanda ketika itu”.

Sungguh sangat disayangkan kalau Republik yang sudah dikatakan Merdeka 70-an tahun lalu masih mengadopsi Pasal-pasal Kolonialis. Pasal ini melegitimasi pemerintah dan negara untuk menghukum dan menindak mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Tentunya ini menjadi masalah tersendiri.

Proses Hukum HRS yang tak masuk akal juga memperlihatkan Cara politik komunisme yang tak sudi jika ada lawan politik yang terlalu vocal mengkritik pemerintah. Tidak boleh ada yang berusaha melawan kebijakan negara walaupun negara dalam sikapnya sangat jauh dari perikemanusiaan dan perikeadilan.

Pola hukum Komunisme dan Kolonialisme tampak sangat telanjang ditengah-tengah demoralisasi politik di tengah-tengah Eksekutif, legislatif dan Yudikatif saat ini. Moral bangsa ini sekali lagi diuji dengan penjajahan gaya baru bagi rakyat untuk tetap menyuarakan kebenaran. Dahulu ketika Soekarno diakhir kepemimpinannya ingin menerapkan pola Otoriter dengan konsep Demokrasi Terpimpin, lalu Soeharto dengan Rezim Orde Barunya juga ingin menerapkan hal yang sama di akhir masa jabatannya. Kini negara ini menjadi “latah” dalam mengikuti dua pola yang salah dari dua tokoh sejarah yang pernah memimpin di negeri ini.

Negara yang tentunya punya konsep Pancasila harusnya menjadi kuat dan dalam tatanan bernegara. Tapi pola Pancasila ternyata tak sampai pada tataran elit dan penguasa.

Kasus HRS harusnya menjadi renungan bagi bangsa ini untuk lebih giat dalam menyuarakan kebenaran, bukan malah ikut dalam sistem “Iblis” yang berusaha membungkam kebenaran dengan pakaian Aparat atau penguasa.

Negara ini sudah sangat lama dijajah Oleh kolonialisme dan pernah dijajah Fasisme Jepang. Negara ini tentu belum sampai 100 tahun untuk mengobati lukanya. Tetapi ternyata negara ini tetap merawat luka dengan bersikap semi otoritarianisme dan bersikap represif bagi rakyatnya. Padahal rumusan berbangsa dan bernegara sudah sangat baik dibangun oleh founding fathers kita.

Luka lama ini tercabik kembali dikarenakan adanya jejak-jejak kolonialisme dan komunisme dalam tindak-tanduk politik dan hukum kita. Hukum kita yang serba “karet” sangat memilukan bagi mereka yang berusaha keluar dalam status quo bangsa. Berusaha melawan “kebejatan” penguasa, berusaha menegakkan sebenar-benarnya demokrasi.

Hukum di negeri ini sudah menjadi alat politik untuk membunuh dan membungkam mereka yang kritis. Siapa yang tidak pro kepada pemerintah dianggap akan menyebarkan ujaran kebencian, provokator, penyebar hoax dan juga stimatisasi lainnya. HRS salah satu rakyat yang paling Vokal menolak segala tindakan “amoral” penguasa.

HRS yang pernah sangat getol menyuarakan untuk memenjarakan Ahok (pada tahun 2016 yang menistakan agama). HRS juga yang selalu menyuarakan anti kezaliman, anti korupsi, anti perzinaan, minuman keras dan lainnya. HRS menyentuh politik yang tidak biasa. HRS melawan petinggi-petinggi yang terganggu “bisnis”nya dalam dunia “gelap” itu. Selebihnya dia hanyala seorang ulama bagi komunitasnya, bahkan dia menjadi Ulama besar bagi umat Islam

HRS adalah sosok yang tidak biasa. Ditengah-tengah istana yang tak mempunyai legitimasi lagi bagi masyarakat, dan juga Partai Politik tidak mampu lagi hadir sebagai Oposisi bagi kepentingan rakyat, HRS hadir untuk menyuarakan “revolusi akhlak”. HRS hadir ketika rakyat membutuhkan figur pemimpin yang jujur serta tegas dalam menyuarakan kebenaran.

Oleh : Januari Riki Efendi, S.Sos.
Penulis adalah Pegiat Literasi

- Advertisement -

Berita Terkini