Kritik Vs Ujaran Kebencian

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Umumnya orang tidak suka dikritik, ini konsep atau filosofi dasar awal tentang kritik. Tetapi untuk membangun iklim demokrasi yang baik kritik diperlukan.

Perbincangan berkaitan dengan kritik kembali mengemuka setelah kritik tajam yang dilakukan oleh Pak Said Didu kepada pemerintah dan secara khusus yang ditujukan kepada Bapak Luhut Binsar Panjaitan, yang akrab disapa LBP, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi.

Tulisan ini tidak ditujukan untuk menganalisis apakah memang Pak LBP dapat dikatagorikan sebagai pengkhianat NKRI, atau dianggap lembih membahayakan dari virus corona. Tetapi tulisan ini mengkaji pada hal yang esensial dan substansial dari kritik dan ujaran kebencian.

Seribu Pendapat

Membicarakan masalah kritik, salah satu model kritik dan keterbukaan yang digagas begitu paling fenomenal adalah apa yang dilakukan oleh Mao (1957), tokoh revolusi China yang menyerukan terbukanya ruang bagi kritik dan perbedaan pendapat dibawah pemerintahannya.

“Biarlah seribu bunga berkembang, biarlah seribu pendapat bersaing.” Titahnya. Seluruh aparat pun patuh. Partai komunis ingin memperbaiki diri dan siap mendengarkan kritik dari bawah.

Ibu Liang dari kota Changsha, sebenarnya tak punya kritik. Ia cinta kepada partainya yang telah memberikannya pekerjaan di Biro Keamanan Umum, tetapi para atasannya mendesak agar semua berpartisipasi dalam ”Gerakan Seribu Bunga”.

Dan ibu Liang yang sangat ingin menjadi anggota partai, dan sangat ingin mengabdi, ikut mengajukan kritik. Ia –seperti jutaan orang lainnya tak menyangka bahwa ”Gerakan Seribu Bunga” mendadak dihentikan.

Kritik yang terdengar kepada partai rupanya jadi terasa terlalu keras. Dan angin berbalik: siapa yang pernah ikut dalam festival kritik itu dianggap berkhianat. Ibu Liang dapat cap ”kanan”, dan itu berarti segaris gelap yang panjang. Ia dibuang ke desa yang jauh untuk bekerja paksa bersama tujuh ratus ribu orang anggota kaum intelektual lainnya.

Memang, kemudian ia dibebaskan, pulang di sebuah malam yang larut, seperti seorang pengemis, tetapi di pintu ia dengan bangga menyatakan kepada suaminya: ”Liang Tua, Saya jadi manusia lagi.”

Tetapi nasib sudah tercoret: Suaminya, seorang wartawan yang ingin mengabdi kepada partai dan seorang bapak yang menyayangi anak-anaknya, memutuskan untuk menceraikannya.

Esoknya, di tepi danau yang tengah beku, si ibu memilih jalan sepi, mengucapkan kata selamat tinggal. Di malam harinya, si ayah mencoba menjelaskan apa sebabnya: ”kehidupan politik ibu kalian sudah selesai”, kata ayah yang sebenarnya penyayang kepada anak-anaknya.

Kisah yang diceritakan anaknya Liang Heng dalam ”Tragedi Anak Revolusi” ini merupakan satu realita bagaimana pemimpin dan partai politik mengakhiri kritik keras terhadap pemimpin dan partai dengan sebuah tragedi pahit yang menyelesaikan dan mengakhiri kehidupan politik seseorang di dalam partai politik dan kekuasaan atau jabatannya.

Sang Maestro jurnalis Indonesia terkemuka Goenawan Muhammad menuliskannya dengan amat menarik tentang fenomena kritik dan gerakan 1000 Bunga yang dilakukan oleh Mao.

Dalam iklim demokrasi yang semakin maju tentu saja kita tidak ingin terjadi proses kemunduran terhadap esensi dan substansi demokrasi dengan membungkam kritik dari kelompok yang berlawanan atau beroposisi secara pemikiran, pandangan dan perbuatan.

Tetapi kritik juga tidaklah sedemikian pula mengambil kebebasan yang tak terbatas bahkan mengarah pada ujaran kebencian atau bahkan menjurus pada fitnah akibat hoax yang melebihi batas.

Esensi Kririk

Hal paling esensi dan yang substansi tentang kritik adalah bahwa kritik itu ibarat obat, yang diberikan dokter pada orang yang sakit, meskipun pahit –ada juga yang manis– dengan takaran dan dosis yang tepat akan memberi kesembuhan.

Dengan begitu kritik juga perlu dosis yang tepat dan apakah anda memiliki kapasitas dan bila perlu pengalaman untuk memberikan obat (kritik) tersebut.

Intinya kritik itu akan menguatkan, menyembuhkan dan bermanfaat buat yang dikritik. Karena kritik yang dilakukan menyehatkan orang, sistem atau kebijakan yang dikritik sehingga memberi dampak terhadap perbaikan pelayanan dan kinerja organisasi publik.

Ujaran kebencian berbeda dari kritik, ia memberitahu tentang berbagai penyakit, kekurangan orang atau suatu institusi atau organisasi publik tetapi bukan untuk tujuan menyembuhkan tetapi memperparah penyakitnya bahkan seperti memberikan racun agar yang dikritik atau institusi atau organisasi publik itu mati atau hancur berantakan.

Ada juga yang berpandangan, mengapa mengkritik kok penuh dengan prasyarat. Mengkritik ya mengkritik saja, hanya memberikan atau menyampaikan kekurangan atau kesalahan atau memberitahu apa sakitnya dan soal obat atau solusinya apa silahkan cari sendiri.

Pikiran atau pendapat seperti ini boleh jadi benar tetapi sebagai orang yang beriman atau beragama anda belum mendapatkan nilai lebih sebagaimana seharusnya kritik itu seperti nasehat menasehati dengan kebenaran dan nasehat menasehati dengan penuh kesabaran.

Kembali pada gagasan dan tesis awal saya, sesungguhnya siapa pun –pada umumnya– orang tidak suka dikritik (tidak semuanya).

Meskipun demikian, tetaplah untuk melakukan kritik yang menguatkan (seperti obat yang menyembuhkan) apalagi bila kritik itu sebagai upaya untuk saling nasehat menasehati. Dan tentunya agama mengatur adab dari kritik atau nasehat menasehati itu bagaimana sebaiknya dilakukan.

Begitu juga dengan para pejabat publik, tetaplah terbuka dan berlapang dada untuk menerima kritik. Tidak perlu gusar, karena hal paling efektif untuk menjawab kritik adalah dengan kerja-kerja nyata dan prestasi untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Saya meyakini bahwa kritik keras Pak Said Didu dan mungkin pihak lain kepada pemerintah dimaksudkan seperti obat yang menyembuhkan dan menguatkan, meski dosisnya terkadang terasa berlebihan, seolah seperti dokter yang sangat khawatir tingkat akut pada pasien bernama Indonesia yang tengah mengalami sakit yang kronis akibat Corona Virus Disaese 2019 (COVID-19).

Saya juga meyakini Pak Luhut Binsar Panjaitan adalah salah satu tokoh bangsa Indonesia yang pernah sangat dekat dengan Gus Dur, akan selalu berjiwa besar, pro demokrasi, tidak akan menyeret Pak Said Didu yang melakukan kritik sampai berlanjut ke ranah hukum. Lake & Share. Semoga bermanfaat. Semoga! [WT, 05/04/2020]

Oleh: Wahyu Triono KS
Dosen FISIP Universitas Nasional

- Advertisement -

Berita Terkini