Solusi Indonesia Part 6, Al-Quran sebagai Pedoman Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

Oleh : Hasanuddin, MSi
Pengamat Sosial Politik

MUDANEWS.COM – Salah satu minat para antropolog dalam mempelajari peradaban di masa lampau adalah mummifikasi. Mummifikasi atau pengawetan jasad orang yang meninggal ini ditemukan di sejumlah peradaban kuna, dari tahun 3500 SM, hingga 500 tahun SM.

Bahkan di beberapa suku bangsa, hingga hari ini proses mummifikasi ini masih dapat ditemukan. Apa yang mendasari munculnya tradisi mummifikasi ini, tiada lain adalah ketidak percayaan akan hari kebangkitan.

Ketidakpercayaan bahwa Allah Swt mampu mengumpulkan kembali tubuh, tulang-belulang, yang telah lebur menjadi tanah itu. Allah Swt menjelaskan prihal ini pada surah Al-waqiah (56) ayat 47-48.

وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّا لَمَبْعُوثُونَ (47) أَوَآبَاؤُنَا الأوَّلُونَ (48

“Dan mereka selalu mengatakan, “Apakah apabila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami benar-benar akan dibangkitkan kembali? Apakah bapak-bapak kami yang terdahulu (dibangkitkan pula)?

Kecintaaan kepada dunia, (hubbudddunya) yang dihasilkan oleh paham materialisme, telah menyebabkan manusia pada fase peradaban tertentu memperlakukan manusia, nenek moyang mereka sebagai sesembahan mereka.

Mummifikasi sebab itu bukan semata upaya melestarikan jasad yang telah meninggal, tapi merupakan suatu keyakinan keagamaan yang didorong oleh ajaran yang menolak akan ke-Mahakuasaan Allah Swt membangkitkan kembali manusia di hari kemudian.

Allah melestarikan jejak peradaban manusia di masa lampau itu sebagai bentuk peringatan sekaligus bukti akan kebenaran risalah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya, agar menjadi pelajaran bagi mereka yang berakal. Demikianlah Allah menyampaikan tanda-tanda kekuasaan-Nya pada seluruh ciptaan-Nya, termasuk pada diri manusia.

أَفَبِهَذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ (81) وَتَجْعَلُونَ رِزْقَكُمْ أَنَّكُمْ تُكَذِّبُونَ (82

Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Qur’an ini? Kamu mengganti rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah). (QS. Al-Waqiah ayat 81-82).

Kehidupan di dunia ini sesungguhnya adalah gambaran tentang kehidupan akhirat. Alam syahadah dimana kita hidup saat ini, adalah alam gaib bagi kehidupan di akhirat. Demikian pula alam sebelum kita berada di dunia ini, itu telah berubah menjadi alam gaib bagi kita yang sedang berada di alam syahada ini. Namun perhatikanlah bahwa Allah Maha Kuasa untuk mengatur segala sesuatunya menurut qadr ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

Gambaran tentang para penghuni surga itu oleh Allah Swt disampaikan sebagai berikut;

لَا يَسْمَعُونَ فِيهَا لَغْوًا وَلا تَأْثِيمًا (25) إِلا قِيلا سَلامًا سَلامًا (26) }

“Mereka tidak mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia dan tidak pula perkataan yang menimbulkan dosa tetapi mereka mendengar ucapan salam”. (QS. Al-Waqiyah (56) ayat 25-26)

Dengan gambaran itu, sesungguhnya kita bisa menyaksikan gejala-gejala atau fenomena tentang siapa-siapa saja manusia yang saat ini hidup bersama kita, yang kelak di kemudian hari adalah penghuni surga.

Termasuk kita dapat mengukur diri kita masing-masing, sehingga dengan ukuran itu, kita bisa memilih, tetap ingin jadi penghuni surga, atau sudah cukup dengan menjadi penghuni neraka saja.

Tetapi Allah Maha Luas ampunan-Nya, Maha Mengetahui lagi Mahakuasa. Bukan amal perbuatan kita yang menentukan masuknya kita ke surga atau ke neraka.

Allah memasukkan ke dalam surga atau ke neraka siapa yang dikehendaki-Nya.

Sebab itu diturunkannya Alquran, bukan hanya agar menjadi petunjuk bagi manusia, namun juga sebagai batu ujian bagi kita semua. Mau taat kepada apa yang disampaikan Alquran, atau sebaliknya, membangkang terhadap ketentuan Allah Swt.

Allah telah menunjukkan pilihan yang benar, agar setiap manusia berada pada posisi “sami’na waatho’na” atas apa yang disampaikan-Nya melalui rasul-Nya itu, namun demikian bagi siapa yang mau ingkar, silahkan ingkar, siapa yang mau taat, itulah pilihan yang benar.

Tidak sedikit manusia yang lebih memilih ajaran nenek moyangnya, melakukan “mummifikasi” atas ajaran nenek moyangnya, dan menolak kebenaran petunjuk yang disampaikan para nabi dan rasul-Nya.

Realitas sosiologis ini, jika kita pahami secara bijaksana, akan membawa kita pada suatu sikap yang juga bijaksana. Respons terhadap fenomena penistaan terhadap Rasulullah Muhammad SAW yang terjadi berulang kali di berbagai belahan dunia, itu akan terus terjadi dari masa ke masa.

Jangan berpikir bahwa setelah kasus Charli Hebdo yang didukung oleh Macron itu didemo, dicaci maki, lantas kasus-kasus seperti itu akan berhenti. Tidak..! Penistaan kepada nabi dan rasul Allah itu, salah satu tanda-tanda kekuasaan Allah yang terus akan terjadi, agar menjadi batu ujian bagi mereka yang beriman kepada Allah, untuk merespons hal-hal semacam itu secara arif dan bijaksana.

Islam itu Allah telah tetapkan sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Satu-satunya jalan yang lurus. Yang hanya dapat dilalui oleh mereka yang mampu sabar dan khusyu’ di dalam menjalani kehidupannya.

Menyeru kepada kebaikan, mencegah terjadinya kemungkaran. Namun jika kemungkaran itu telah terjadi, maka seorang muslim mesti “menyeru kepada kebaikan”, agar dengan ini, kemungkaran lanjutan dari kemungkaran yang telah terjadi, dapat dicegah. Agar kemungkaran yang telah terjadi, tidak menimbulkan kemungkaran-kemungkaran baru dengan dampak yang lebih luas.

Kepada Allah Swt kita menyembah, dan kepadanya kita memohon pertolongan. “Sesungguhnya Allah senantiasa mengatakan kebenaran, dan senantiasa menunjukkan jalan” (QS. 33 ayat 4).

Penulis, Ketua Umum PB HMI 2003-2005
Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia

Billahitaufiq Walhidayah
Depok, Selasa 3 November 2020

- Advertisement -

Berita Terkini