Catatan Perlindungan Hak Anak Tahun 2018

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Tahun 2018 adalah tahun yang penuh dengan dinamika dimana hampir di seluruh wilayah di Indonesia mengalami bencana alam. Dimulai dengan Erupsi Gunung Agung Bali (3.200 pengungsi), Lalu Gempa Lombok (563 korban meninggal, 1.447 korban luka, 417.529 pengungsi), disusul Gempa, Tsunami dan Likueifaksi di Sulawesi Tengah (2.113 korban meninggal, 10.679 korban luka, 82.775 pengungsi) dan saat ini kembali Indonesia dihadapkan pada bencana Tsunami di Selat Sunda yang berdampak pada 2 wilayah Banten dan Lampung yang kembali merenggut 426 korban meninggal, 7.202 korban luka dan 40.386 pengungsi. Di Sumatera Utara sendiri, bencana alam juga merenggut korban jiwa dalam beberapa wilayah seperti bencana alam longsor di Nias Selatan yang merenggut korban jiwa sebanyak tujuh jiwa, banjir bandang di Kabupaten Mandailing Natal yang merenggut jiwa sebelas orang pelajar.

Yayasan PKPA sebagai lembaga yang fokus pada perlindungan anak turut berkontribusi pada penanganan dan pemulihan korban terdampak khususnya kelompok rentan (perempuan dan anak). Dalam proses penanganan tersebut, Yayasan PKPA mencatat bahwa kelompok anak merupakan kelompok yang paling terdampak dari bencana yang terjadi dikarenakan minimnya pemahaman terhadap kesiapsiagaan bencana. Lebih parah lagi, kelompok anak juga terpisah dari orang tua dan hal ini menimbulkan kerentanan baru. Selain itu, program pemulihan yang dilakukan seperti pembangunan hunian sementara (huntara) tidak merefleksikan kebutuhan kelompok rentan terutama perempuan dan anak. Untuk itu kebencanaan harus menjadi program strategis dalam perencanaan pembangunan, mulai dari tingkat nasional sampai tingkat desa.

Bicara tentang program strategis, Yayasan PKPA juga melihat bahwa perlindungan anak, baik dalam situasi bencana maupun situasi yang membutuhkan perlindungan khusus lainnya dapat dikawal oleh Pemerintah Daerah melalui peraturan daerah perlindungan anak. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah seharusnya dapat menjamin pemenuhan hak anak mulai dari Hak Sipil dan Kebebasan, Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Hak Pendidikan, Pemanfaatan Waktu Luang, dan Pemanfaatan Seni Budaya dan Hak Perlindungan Khusus, dimana situasi tanggap darurat masuk di dalamnya. Peraturan daerah ini juga dapat mengantisipasi persoalan perlindungan anak lainnya yang dipotret oleh Yayasan PKPA. Seperti kekerasan terhadap anak, perkawinan anak, minimnya akses terhadapan layanan publik dalam hal kesehatan, sosial dan pendidikan. Tentu hal ini masih butuh kerja keras, karena saat ini baru 349 kota/kabupaten dari total 516 kota/kabupaten di Indonesia yang telah menginisiasi kebijakan perlindungan anak.

Inisiasi kebijakan perlindungan anak diatas haruslah menjadi prioritas bagi daerah-daerah lain yang belum memiliki kebijakan perlindungan anak, karena selain persoalan kebencanaan dan masih terbatasnya pemenuhan terhadap hak anak di atas, generasi muda Indonesia juga menghadapi tantangan. Teknologi yang terus berkembang pesat saat ini menghadirkan revolusi industri 4.0, era industri akan memasuki dunia virtual serta akan semakin marak penggunaan mesin-mesin yang terintegrasi dengan jaringan internet. Efek dari penerapan revolusi industri ini adalah meningkatnya efisiensi produksi, produktifitas meningkat, dan meningkatkan daya saing Indonesia di mata Dunia.

Namun, ibarat dua sisi mata pisau, revolusi 4,0 juga merupakan tantangan bagi generasi muda indonesia. Saat ini sistem pendidikan harus berupaya untuk meningkatkan kemampuan generasi muda dalam mengikuti perubahan yang terjadi dengan cepat. Pendidikan yang berorientasi pada life skill akan sangat membantu generasi muda untuk lebih siap menghadapi era perubahan. Disisi lain, perubahan ini juga berkontribusi pada model-model kekerasan baru yang harus segera diantisipasi.

Dari pemantauan Yayasan PKPA, terjadi peningkatan untuk kasus cyberbully sebesar 22,4% untuk korban dan 25,5% untuk pelaku anak. Angka ini menunjukkan bahwa kecenderungan anak untuk melakukan kekerasan di dunia maya semakin meningkat. Selain itu, kasus eksploitasi seksual berkembang dengan metode-metode baru yang cenderung menggunakan pendekatan media sosial. Yayasa¬n PKPA mencatat kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan sebesar 26% dari tahun 2017.

Walaupun tidak dapat dipungkiri, kesadaran dan empati masyarakat juga meningkat dikarenakan mudahnya mengakses informasi. Hal ini dapat dilihat dari respon dan penanganan yang dilakukan setelah kasus tersebut diviralkan oleh masyarakat melalui internet dan sosial media.

Peran serta masyarakat ini haruslah dibangun dalam sinergi dan harmoni dimana ada kontribusi tidak hanya dari masyarakat namun ada tanggung jawab pemerintah dan sektor swasta di dalamnya. Sinergi ini telah diinisiasi dalam Business and Child Right Working Group (BCRWG). Working group ini menjadi wadah bagi para pelaku bisnis, perwakilan masyarakat dan pemerintah untuk berkontribusi pada perlindungan anak termasuk dalam situasi kebencanaan, pemenuhan hak anak dan mendorong kesiapan generasi muda dalam menghadapi peluang dan tantangan yang ditimbulkan oleh revolusi 4.0.

Yayasan PKPA yang berkantor pusat di Sumatera Utara khususnya di kota Medan, adalah salah satu lembaga perlindungan anak yang turut andil dalam beberapa isu terkait hak anak di Indonesia. Isu utama yang diusung oleh Yayasan PKPA sepanjang 2018 adalah promosi prinsip bisnis dan hak anak khususnya di sektor kelapa sawit serta pemberdayaan masyarakat marginal dan pengarusutamaan perlindungan anak dalam kebijakan baik dalam lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan. Selain itu, lembaga yang memiliki kantor cabang di Pulau Nias ini juga melakukan respon bencana alam di Lombok, Sulawesi Tengah dan Selat Sunda. Dan untuk layanan kepada anak yang berkonflik dengan hukum, Yayasan PKPA juga memberikan pendampingan hukum sampai pada proses peradilan. (*)

Oleh Yayasan PKPA

- Advertisement -

Berita Terkini