Gabungan Mahasiswa dan Masyarakat Sipil, Gelar Aksi Kamisan Lhokseumawe

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Lhokseumawe – Gabungan Mahasiswa dan masyarakat sipil menggelar aksi kamisan yang ke-2, pada Kamis (04/07/2019) di Taman Riyadah, Lhokseumawe.

Tujuan pelaksanaan aksi untuk menuntut penyelesaian masalah hak asasi manusia (HAM) Aceh.

Koordinator aksi, mengatakan, kegiatan aksi kamisan ke-2 kali ini tema diangkat Kabut Prahara di Bumi Aulia tentang tragedi Tgk Bantaqiah Beutong Ateuh.

“Tragedi Tgk Bantaqiah terjadi pada hari jum’at, 23 Juli 1999, pukul 08.00, pasukan TNI mulai memantau pesantren dari seberang sungai. Pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya kira-kira 100 meter di sebelah timur pesantren,” ungkap Abdul Hafiz, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (05/07) Sekira Pukul 10.13 WIB.

Jelasnya lagi, Bahwa pasukan tersebut berseragam dan bersenjata.

“Pukul 10.00 pasukan tersebut mulai mendekati pesantren. Pukul 11.00 pasukan berseragam dan bersenjata lengkap mulai memasuki pekarangan pesantren Babul Al Nurillah. Mereka memiliki ciri lain: wajah sebagian dari mereka berpulas cat hitam dan hijau. Pukul 11.30 mereka mulai berteriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka,” jelasnya tentang sejarah Tragedi.

Pada saat itu semua santri laki-laki disuruh turun oleh tentara, lalu dikumpulkan di tanah lapang dan diperintahkan berjongkok menghadap sungai Beutong. Santri perempuan tetap di lantai atas Bangunan pesantren. Lalu Tengku Bantaqiah diminta menyerahkan senjata yang ia miliki. Karena ia merasa tidak pernah memiliki senjata yang dimaksud tentara, ia membantah keras tuduhan tersebut. Pernyataan sang tengku ternyata tidak membuat mereka puas. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren ikut dipertanyakan.

Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan. Melihat perlakuan kasar terhadap putranya ini, Bantaqiah tak tinggal diam, Ia mencoba menghampiri putranya. Di saat itu pula, terdengar aba-aba menembak. Bantaqiah diberondong dengan senjata pelontar bom.

Lalu Pasukan lantas mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri, membabi-buta. Lima puluh enam orang meninggal seketika. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah.

Gabungan Mahasiswa dan Masyarakat Sipil
Terus menyampaikan orasi nya tekait pelanggaran HAM

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang.

Pada pukul 16.00, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad Bantaqiah, putra, dan murid-muridnya. Sedangkan santri perempuan dan istri-istri almarhum digiring menuju mushola yang berada di seberang sungai. Mereka dilarang menyaksikan penguburan itu. Belum puas hati mereka, pasukan ini lantas membakar kitab-kitab agama dan Alquran di pesantren.

“Banyak korban terjadi di tragedi Tgk Bantaqiah belum terpenuhi hak nya oleh negara, harta bendanya hilang saat konflik tidak dikembalikan oleh negara,” tandas Abdul Hafiz. Berita Lhokseumawe, AR

- Advertisement -

Berita Terkini