Menuju Pilkada Tanjung Balai, Konflik Horizontal Harus Selesai

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM, Tanjung Balai – Tak lama lagi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak dibeberapa daerah Sumatera Utara akan digelar, termasuk Kota Tanjung Balai. Pesta Demokrasi tersebut akan digelar pada 9 Desember 2020 mendatang.

Masih melekat dipikiran kita konflik pembakaran Vihara di Kota Tanjung Balai pada tahun 2016 lalu. Pemicu konflik dan berujung pada pembakaran itu karena adanya protes dari warga keturunan Tionghoa Meliana (Budha) yang menegur takmir mesjid untuk mengecilkan volume suara adzan.

Menanggapi hal tersebut, pendiri Unity Institute Wahyu Panjaitan mengatakan bahawa kejadian tersebut harus menjadi perhatian dan pencegahan secara serius oleh Kepala Daerah yang terpilih pada Pilkada Desember 2020 nanti.

“Peran penting Kepala Daerah sebagai pemangku kekuasaan dalam merajut kerukunan ummat beragama dan pencegahan konflik horizontal di Tanjung Balai sangatlah besar, ini harus menjadi tugas besar Kepala Daerah yang akan terpilih pada pilkada Desember 2020 mendatang,” katanya kepada mudanews.com, Jumat (17/07/2020).

Lebih lanjut, Putra Daerah Kota Tanjung Balai ini juga menjelaskan bahwa Konflik yang terjadi beberapa tahun lalu bukan hanya sekedar alasan ekonomi atau kepemilikan alat produksi, namun konflik tersebut juga terjadi karena aspek konsumsi, life style, status dan juga keagamaan (religiusitas).

“Ada banyak faktor pendorong terjadinya konflik di Tanjung Balai, ekonomi, life style, status dan keagamaan. Faktor keagamaan adalah salah satu masalah sosial terbesar di Tanjung Balai, sebab kejadian seperti ini sudah terjadi berulang kali. Ini mengganggu stabilitas keamanan, hubungan masyarakat Tanjung Balai serta menghambat kemajuan daerah,” jelasnya pendiri Organisasi Persatuan ini.

Menuruttnya faktor demikian harus diperkecil dengan aktivitas-aktivitas sosial yang melibatkan semua suku, ras dan agama. Karena ia menilai, konflik antar agama di Tanjung Balai Sumatera Utara tahun 2016 lalu adalah sebuah representasi toleransi beragama mengalami deeskalasi.

“Kejadian tersebut menunjukkan bahwa toleransi beragama sudah mengalami deeskalasi atau menurunnya aktivitas yang berorientasi sosial. Perkuat aktivitas sosil yang mampu mengikat persaudaraan dan kerukunan, sehingga masyarakat memiliki rasa saling memiliki, sepenanggungan dan menghormati,” katanya.

Dijelaskannya, keragaman suku, agama, ras dan budaya adalah sebuah keniscayaan yang dimiliki bangsa Indonesia terkhusus Kota Tanjung Balai sehingga menjadi simbol bahwa Indonesia, termasuk Kota Tanjung Balai adalah bangsa majemuk yang unggul dibandingkan dengan negara atau daerah lain. Ia mengatakan hal demikian harus dirawat demi untuk kemajuan daerah.

“Bila dilihat dari kemajemukan, Tanjung Balai adalah kota yang unggul dibanding yang lain, miniatur Indonesia soal kemajemukan ada di kota Tanjung Balai. semua agama dan berbagai suku ada disini, itu harus dijaga dan dirawat demi kemajuan kota, kekompakan adalah kunci utama dalam kemajuan daerah, masyarakat Tanjung Balai harus kolektif, tak boleh lagi ada konflik horizontal,” jelasnya.

Menurutnya, selain Kepala Daerah (Walikota) peran penting Polisi Resort Tanjung Balai sebagai pemegang otoritas keamanan perlu menganalisa secara komprehensif supaya dapat meningkatkan peran dan tanggung jawabnya untuk mengintervensi konflik ditanjung balai sehingga dapat dicegah dan ditangani dengan baik.

“Pihak Polres dan pihak-pihak keamanan di kota Tanjung Balai harus terus aktif menggaungkan kerukunan, toleransi dan kekompakan, jangan beri ruang intoleransi di kota beradat dan berbudaya itu, Tanjung Balai adalah aset besar Indonesia, keragaman harus memproduksi perdamaian dan merawat kebudayaan bukan malah menghasilkan konflik yang dapat membiaskan secara maknawi prinsip Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara,” ujarnya.

Terakhir Wahyu juga sebut keterlibatan pemuka agama, aktivis sosial dan pemuda Tanjung Balai juga harus aktif dalam mengkampanyekan perdamaian dan kerukunan, sebab ia menilai pencegahan dan penyelesaian konflik horizontal yang terjadi pada masyarakat harus diselesaikan oleh kelompok grassroots (akar rumput) itu sendiri serta mengutamakan kearifan lokal masyarakat.

“Libatkan grassroots (akar rumput) dalam konflik horizontal masyarakat, sebab menyelesaikan konflik horizontal masyarakat lebih efektif dilakukan oleh masyarakat atau kelompok akar rumput itu sendiri, maka harus diperkuat peran pemuka agama, aktivis sosial dan juga pemudanya, bekali ilmu dan akhlak yang baik serta kedepankan kearifan lokal, karena kearifan lokal itu menyediakan adanya aspek kohesif berupa elemen perekat lintas agama, lintas warga dan kepercaayaan,” tandasnya. Berita Tanjung Balai, red

- Advertisement -

Berita Terkini