Tamu Kelaparan yang Tak Diundang

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Sehari sebelum puasa, hajatan pernikahan itu dihelat. Meski hanya mengundang kerabat terdekat tapi tidak mengurangi kesakralan pernikahan dua sejoli di tengah pandemi covid-19.

Tak ada tenda biru yang terpampang di halaman, pun tak ada pelaminan berhias bunga yang selama ini diidam-idamkan sang pengantin. Cukup meja sederhana tempat penghulu dan mempelai laki-laki yang menjadi sekat untuk melantangkan ijab qabul. Sementara pengantin perempuan menanti dalam kamar dengan wajah bersemu merah, dada bergemuruh menahan haru yang bertalu.

Setelah matahari tumbang di ufuk Barat, keluarga mempelai perempuan beberes membersihkan sisa jamuan. Piring-piring kotor disusun rapi, gelas-gelas air mineral disatukan dan beberapa sisa potongan kue dan lauk daging dipindahkan ke dapur.

Tak terasa jarum jam merambat ke pukul 21.00 malam. Seluruh kerabat sudah pulang. Sebagian besar membawa bungkusan untuk dihidangkan saat sahur perdana.

Tuan rumahpun sengaja menyimpan masakan daging untuk dinikmati sebentar sahur bersama sang mantu.

*
Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil dari halaman rumah. Orang tua sang pengantin saling bersitatap.

“Siapa?” lirih bu Dina pada suaminya.

Pak Bagas hanya mengangkat bahu.

“Atau teman Tiyas, anak kita?”

“Entahlah, Ma, samperin aja dulu.”

Baru saja bu Dina hendak membuka pintu terdengar suara salam dari luar.

“Assalamu Alaikuuuummm.”

“Wa alaikum salam, mari masuk, Pak, Bu, semuanya,” ucap bu Dina pada tamu-tamunya setelah membuka daun pintu sembari memperhatikan satu persatu wajah asing di hadapannya.

“Maaf, bu, mengganggu,” ucap seorang perempuan berperawakan agak tinggi. Tamu asing ini berjumlah lima orang, nampaknya satu rombongan keluarga.

Perasaan kami gak ngundang selain keluarga dekat, mereka ini siapa, yah? Kalaupun teman anak kami, kok datangnya sampai kemalaman kayak gini setelah hajatan kelar? Tumpukan pertanyaan memenuhi benak bu Dina.

“Silahkan duduk,” tawar bu Dina ramah pada tamu-tamunya.

“Maaf, bu, kami hanya mau numpang shalat isya, beberapa masjid yang kami lewati ditutup, sementara perjalanan kami masih jauh,” ucap laki-laki berjenggot tipis.

“Oohh, iya, iya, Pak. Efek corona jadi beberapa masjid memang ditutup. Kalau begitu mari silahkan ambil air wudhu,” ajak bu Dina.

Pak Bagas kemudian muncul juga di tengah-tengah mereka dan menyapa dengan hangat walau tidak mengenal sama sekali rupa yang mampir di kediamannya.

“Pah, tolong antar berwudhu, mereka mau shalat isya, sembari saya bikinkan teh panas.”

Tapi baru saja tamu-tamu itu hendak beranjak untuk berwudhu anak bontot yang berusia sekitar 6 tahunan mengeluh lapar. Seketika dua orang kakaknya bersamaan mencolek dan memberi kode agar diam. Ayah dan ibu merekapun nampak malu dan menatap lekat si bocah laki-laki yang mendadak jadi tersangka.

“Kan, tadi beberapa tempat makan yang kita singgahi pada tutup semua, Ummi, makanya kita belum makan apa-apa, Zidan gak bohong,” ujar si bontot membela diri dengan polos.

“Maafkan anak kami, Bu, Pak,” ucap Ibu mereka dengan wajah yang mendadak merah jambu.

Bu Dina hanya mengangguk sembari melengkungkan senyum.
*

Saat keluarga asing itu tengah melaksanakan shalat isya berjamaah, bu Dina dan suaminya berunding ekspres. Waktu berunding mereka tidak lama, keputusan kudu ketuk palu sebelum tamu-tamunya tasyahud akhir.

“Pah, gimana, nih, kasihan tamu kita. Sepertinya tak cukup jika hanya menjamunya dengan teh. Mereka sedang lapar. Butuh nasi.”

“Ya, sudah, kita jamu saja dengan makanan berat, tadi sore mama sengaja pisahkan sebagian hidangan lauknya, kan?”

“Tapi, Pa. Itu untuk sahur sebentar. Hanya cukup untuk kita berempat dengan Tiyas dan suaminya. Kalau diberikan ke tamu-tamu itu, saat sahur kita makan apa? Nasi, sih, banyak, Pa. Atau mama goreng telur aja buat mereka?” lobi bu Dina pada suaminya.

“Kelamaan, Ma, nungguin telur digoreng, berikan saja lauk yang mama simpan.”

“Tapi apa kata mantu kita nanti, Pa, baru pertama nginap di rumah mertua, pertama puasa pulak eeeeehhh makanannya gimanaaaa gitu,” ucap bu Dina.

“Ma, banyak dalil yang menganjurkan kita untuk memuliakan tamu, memuliakan tamu itu kewajiban tuan rumah, sedangkan mendapat jamuan terbaik adalah hak tamu. Coba kita berada di posisi mereka. Sementara shafar dalam keadaan lapar. Lagian memang banyak tempat makan yang tutup karena sepi pembeli, apalagi menjelang hari pertama puasa seperti ini. Gak usah kelamaan mikir, Ma. Mereka sudah hampir selesai shalat, tuh, buruan disiapin makanannya.” pungkas pak Bagas.

Dari arah dapur pak Bagas bergegas menjumpai kembali tamu-tamunya di ruang depan sembari istrinya menata makanan di meja makan. Persediaan untuk sahur dikeluarkan semua tanpa sisa.

‘Dasar tamu kelaparan yang tak diundang, datang malam-malam pulak,’ bisik iblis di kuping kiri bu Dina.

‘Justru ini kesempatan untuk mendulang pahala’ balas Malaikat di kuping kanan.

‘Siap-siap saja ditertawakan dan diprotes oleh menantumu, anakmupun akan merasa malu pada suaminya,’ lanjut iblis makin sengit.

‘Insya Allah menantumu laki-laki yang paham agama, tidak usah risau’ timpal malaikat berseru, sepotong hatinya menerima ujaran malaikat tapi sekeping hatinya yang lain membenarkan juga bisikan iblis.

Bismillah, insya Allah Allah maha melihat, tekad bu Dina sudah bulat untuk menjamu tamu-tamunya dengan jamuan terbaik.

**
Sementara di kamar pengantin, dua pasang manusia masih malu-malu kucing untuk saling menatap. Mereka tak tahu kedatangan tamu asing yang membuat orang tua mereka kelabakan. Maklum, kamar mereka di lantai dua.

(Yang ini diskip aja, yah. Hehehe).
**
Setelah tamu-tamu itu selesai menikmati jamuan, mereka berbincang sejenak. Ada haru luar biasa yang terpancar dari mereka. Keakraban mulai terbangun.

“Pak, Bu, terima kasih yang seeeebesar-besarnya, tidak salah kediaman bapak yang Allah takdirkan untuk kami singgahi menunaikan kewajiban shalat isya. Sebenarnya sebelum rumah Bapak, beberapa rumah kami coba singgahi tapi qadarullah pemilik rumah hanya menyibak gorden dari balik kaca jendela kemudian mengabaikan kami. Mungkin karena mereka tidak mengenal.

Masya Allah dengan keluarga Bapak dan Ibu, bukan hanya mengizinkan lantai rumah Bapak kami jadikan tempat bersujud malah dijamu dengan jamuan yang begitu istimewa. Sekali lagi terima kasih banyak.”

“Sama-sama, Pak, kami hanya mencoba mengamalkan syariat yang diperintahkan Allah, dan sedikit meneladani perilaku Nabi Ibrahim dalam memperlakukan tamunya, bahkan tamu yang tak dikenalnya sekalipun,” timpal pak Bagas menanggapi, tak ketinggalan tepi bibirnya melengkungkan sebaris senyum.

Para tetamu itupun pamit untuk melanjutkan perjalanan setelah mereka berbagi kontak telepon.
*
Tak berselang lama dari kepergian tamu tak dikenal tersebut, lagi-lagi terdengar pintu diketuk.

Spontan bu Dina mengalihkan pandangannya ke arah jam yang menggantung di dinding kamar.

“Setengah sebelas malam? Siapa lagi yang bertamu selarut ini?” gumamnya.

“Papa aja yang bukain pintu, gih!” serunya pada pak Bagas.

Pak Bagaspun bersegera membukakan pintu. Ternyata yang datang adalah Danu, anak pak Sutarno, juragan kaya raya di kampung mereka.

“Sebenarnya tadi Danu sudah ke sini, Pak, tapi sepertinya Bapak kedatangan tamu. Makanya bingkisan ini baru saya bawakan. Salam dari keluarga besar kami. Semoga yang kami bagikan ke seluruh warga bisa menemani saat bersantap sahur perdana sebentar,” ucap Danu sembari mengangsurkan tentengan titipan ibunya.

“Masya Allah, terima kasih banyak, Nak Danu, salam balik untuk bapak dan ibumu.”

Baru saja pak Bagas meletakkan bingkisan yang dibawa oleh Danu, ada pesan dari aplikasi hijau berbunyi.

[Terima kasih atas kemurahan hati keluarga bapak menerima kami dengan begitu ramah. Maaf, ada sedikit rezeki yang kami selipkan dalam lipatan sajadah yang kami pakai shalat isya tadi.

Semoga keluarga Bapak senantiasa dilimpahi keberkahan, Aamiin].

*
Pak Bagas bergegas ke ruang mushallah mini dan membuka lipatan sajadah. Sejurus ia terpaku, tubuhnya terasa kaku melihat lembaran merah yang begitu banyak. Tergesa tangannya menghitung, rasa gemetar tak bisa ia halau. Lembar demi lembar tersusun, lembar sukarno terakhir menggenapkan nominal 10 juta rupiah.

Pak Bagas masih tak percaya, seolah tengah mimpi. Iapun masuk ke kamar menemui istrinya yang sementara berbaring.

“Mah, ma, maaa.. Bangun. Rezeki bertubi-tubi mendatangi kita, lihat uang yang Papa pegang, 10 juta, Ma, sepuluh juta,” terang pak Bagas antusias.

Iapun menceritakan semuanya, termasuk bingkisan makanan yang dibawa Danu.

“Masya Allah, balasan Allah langsung cash, ya, Pa? Telepon balik bapak yang baik hati itu, ucapkan terima kasih. Ya Allah, terima kasih atas rezekiMu yang berlipat-lipat ganda, kekhwatiran akan lauk sahur kami telah Engkau ganti dengan bingkisan dari keluarga pak Sutarno, bahkan tamu asingpun yang tak kami kenal sama sekali menyelipkan rezeki yang tak terduga.”

Pak Bagas kemudian mencoba menelpon nomor bapak yang baik hati tersebut untuk berterima kasih namun nomornya tidak aktif.

Sungguh keluarga pak Bagas adalah keluarga bersahaja yang taat dan sholeh. Mereka tidak tau jika tamu asing yang mampir tersebut adalah malaikat berwujud manusia yang Allah kirim.

*
Sungguh tidak ada perbuatan baik yang sia-sia. Tidak ada kebaikan yang mubadzir, semuanya akan berpulang ke kita. Bahkan ketika kita berbuat baik sesungguhnya kita berbuat baik untuk diri sendiri.

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri”. QS. Al-Isra’: 7

Senantiasalah memuliakan tamu, berilah jamuan terbaik yang kita punya. Menyegerakan menjamu adalah akhlak terpuji. Ramahlah pada tamu dan jika tamu pamit antarlah ia sampai ke pagar atau halaman rumah.

“Barang siapa yang mengaku beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR Bukhari dan Muslim).

**Nurbaya Tanpa Siti

Makassar, 04 Mei 2020

Sumber pict: google

- Advertisement -

Berita Terkini