Siswi SMA Hina Palestina Dipecat, Nadiem Makarim Ikuti Jokowi Bungkam

Breaking News

- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -
- Advertisement -

MUDANEWS.COM – Nadiem Makarim bungkam terkait pemecatan siswi SMA di Bengkulu Tengah, Provinsi Bengkulu. Kasus ini menjadi gambaran kekuatan kaum radikal di lingkaran pembisik Istana, dan lembaga pendidikan termasuk Kementerian Pendidikan.

Diamnya Nadiem terkait siswi dipecat, sama dengan diamnya Jokowi terkait pembantaian oleh teroris terhadap 4 WNI di Poso. Kejahatan yang kekejamannya melebihi bom Makassar.

Siswi di Bengkulu yang menghina Palestina dipecat dari sekolahnya. Sejatinya yang terjadi adalah adanya belenggu politik yang disebabkan kuatnya paham radikal di Indonesia.

Menjadi benar ASN (aparatur sipil negara) telah disusupi oleh paham intoleran. Itu dibuktikan dengan pengeluaran siswi yang dianggap merugikan sekolah.

Kepala Sekolah, Dinas Pendidikan Kabupaten Bengkulu Tengah, Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu, dan Kementerian Pendidikan di bawah Nadiem Makarim juga tidak seteril dari maraknya kaum intoleran. Ini terbukti dengan dipecatnya siswi SMA di Bengkulu.

Kompak mereka merusak masa depan siswa SMA, hanya gegara menghina Palestina – sebuah entitas hukum, bukan individu, yang tidak jelas. Sementara jika menghina bendera Merah Putih, menghina Jokowi, menghina polisi, hanya materai Rp10,000 masalah selesai.

Ada apa sebenarnya di balik sikap Nadiem Makarim dan Presiden Jokowi tersebut? Kenapa lingkaran pembisik Istana melarang Jokowi untuk berbela sungkawa atas dipenggalnya 4 WNI di Poso? Sementara Jokowi berduka-cita atas bom Makassar? Jawabannya adalah adanya belenggu politik dan kesempatan politik.

Kaum radikal, radikalisme, terorisme adalah kesempatan menguntungkan bagi kaum nasionalis. Adanya kaum intoleran, pengikut Khilafah, Ikhwanul Muslimin, ISIS, dan bahkan teroris bisa dimanfaatkan secara politis. Artinya, baik kalangan kadal gurun, partai agama, partai nasionalis, politikus memiliki kepentingan untuk mengambil manfaat dari aktivitas yang merusak Pancasila.

Oleh sebab itu, ketika ada kesempatan untuk menunjukkan solidaritas politik, seperti kasus Poso, kalangan pembisik Jokowi, secara sadar tak sadar, idiologi mereka tampak lewat keputusan yang diambil Jokowi. Dalam hal kasus Poso, perhitungan politiknya adalah kasus ini sensitif, karena menyangkut isu SARA.

Jelas diamnya Jokowi terkait kasus Poso merugikan Jokowi. Namun, kalangan pembisik yang merupakan proxy musuh Jokowi tentu merasa menang. Itulah solidaritas politik, yang akan nampak ketika ada peristiwa ekstrim.

Sama halnya dengan kasus Poso, kasus dipecatnya siswi SMA di Bengkulu Tengah adalah wujud solidaritas kaum kadrun, kaum penganut paham Ikhwanul Muslimin, dan pencinta Hamas – organisasi yang dicap teroris oleh Arab Saudi. Kalangan ASN yang selama ini terpapar paham radikalisme muncul ke permukaan, menyerang sosok terlemah sekali pun: siswi SMA yang harusnya dibina.

Karena fungsi kaum radikal memang bisa dimanfaatkan secara politik, dan jabatan, maka Nadiem Makarim pun akan tinggal diam. Nadiem Makarim akan dikeroyok oleh kaum kadal gurun. MA membatalkan SKB 3 Menteri untuk mengakomodir Perda dan aturan berbau SARA dan intoleran, terkait seragam sekolah. Kapok sudah.

Artinya, karena kepentinga politik proxy para pembisik Jokowi, dan juga kepentingan Nadiem Makarim, maka siswi SMA yang dipecat akan mendapatkan perhatian Nadiem Makarim. Sama persis dengan tewasnya 4 WNI yang dipenggal oleh teroris dilupakan Jokowi.

Wujud belenggu kaum radikal yang memiliki fungsi politis dan ekonomi, untuk jabatan, yang menguasai ASN dan proxy pembisik di linngkaran Istana. Sangat mengenaskan nasib Indonesia!

Oleh : Ninoy Karundeng

- Advertisement -

Berita Terkini